Senin, 03 Oktober 2011

Melepasmu (bukan lagunya Drive)

Arggh! Jalan macet parah. Seperti biasa, setiap weekend jalanan dipenuhi mobil berplat nomor luar kota. Motor berseliweran di kanan kiriku. Angkot seenaknya berhenti dan ngetem dimana saja. Inilah sebabnya aku agak sebal ketika dua minggu lalu aku dipindahtugaskan ke kota ini. Tidak hari kerja atau weekend, selalu macet. Aku menghela napas. Kubelokkan mobil ke jalan kecil, jalannya memang tidak terlalu bagus tapi setidaknya aku terbebas dari suara klakson para pengendara yang tidak dianugerahi kesabaran.

Jalan ini dulu sering kulalui bersamanya. Dia sangat suka jalan ini. Teduh, katanya. Walau perjalanan kami akan jadi sedikit lama karena mobilku harus hati-hati berjalan di antara lubang-lubang. Tapi kurasa dia memang senang berlama-lama dalam mobilku. Berdua.

Kulirik jok sebelah, biasanya dia sedang tertawa sambil sedikit berteriak seolah kami sedang arung jeram. “Awas ay, jeram di depan cukup deras!” atau “Hati-hati ay, batunya akan membalikkan perahu kita!” lalu aku akan tersenyum, menanggapi celotehannya.

Tapi kali ini tidak, jok itu kosong. Tidak ada celotehan konyolnya.

Wiper terus menghalau air hujan yang terus mengguyur sedari siang. Kaca mobil sengaja kubiarkan berembun, karena biasanya dia akan membuat tulisan atau gambar seperti anak kecil. ‘Ay-Yank’ begitu biasanya ia tulis, tak lupa gambar hati dan bintang. Ya, dia memang tak pandai menggambar.

Tapi kali ini tidak, kaca jendela masih buram, dipenuhi embun. Tidak ada tulisan konyolnya.

Perut sedikit sakit, maagku kumat sepertinya. Aku lupa, hanya secangkir kopi yang masuk perutku. Kubelokkan mobil ke arah selatan, ada nasi padang yang enak disitu.

Aku pesan ayam pop dan udang goreng, tak lupa minumnya teh botol sosro. Aku terdiam sejenak, biasanya petugas kasir harus menunggu untuk menghitung pesanan karena makanan kami belum kumpul semua, ia masih akan memilih-milih apa yang akan dimakannya, walau sudah pasti ia akan mengambil ayam dan terung lado. Petugas kasir membuyarkan lamunanku, “Ada yang lain, mas?”. Aku menggeleng, tersenyum.

Kuhampiri meja pojok, duduk membelakangi kolam ikan. Karena ia pasti akan duduk tepat menghadap kolam, ia suka makan sambil memperhatikan ikan-ikan disana. Agak aneh aku langsung menyentuh makananku, biasanya aku harus mencabik-cabik ayam ladonya dulu. Ia tak suka makanan panas jadi aku suka memotong dan mencuili makanannya sebelum akhirnya ia makan.

Aku segera pergi setelah minuman habis, makanan di piring masih tersisa, aku tak terlalu napsu makan. Lebih baik aku pulang saja.

Hatiku masih tak keruan. Kubuka inbox hape, sms darinya masih ada.

‘km dmn?bisa ketemu gak?’
From: +628172***72
Fri 07/01/11 15:47

Dua bulan yang lalu. Pulang kantor aku segera menemuinya, menempuh jarak puluhan kilometer, perasaanku tak enak, teleponku tak diangkat.

Matanya sembab, bibirnya terkunci rapat. Kami hanya duduk terdiam dalam mobil selama lebih dari satu jam.

“Kita harus udahan” katanya tertahan. Aku terserentak, “Kenapa?” tanyaku.
“Aku capek ay” jawabnya lemah seraya membuka pintu mobil. Aku mengejarnya “Yank!”

Ia mencoba melepaskan genggamanku. Sedikit meronta akhirnya ia memelukku, erat. Lalu menangis tersedu-sedu. Untunglah jalanan sudah sepi, jarum jam sudah menunjuk angka sebelas. Hanya ada beberapa mobil yang lewat. Aku menariknya lagi masuk mobil, ia tak mau.

“Jangan temuin aku lagi, kamu harus lepasin aku.” Katanya tegas. Lalu ia berbalik meninggalkan aku sendirian. Sejak itu tak ada lagi telepon private number atau sms ‘kangen!’ darinya. Kucoba mendatangi rumahnya, ibunya bilang ia sedang ke luar kota. Aku hanya bisa tahu kabarnya melalui facebook. beberapa status updates menjelaskan keadaannya sekarang. ‘capek’, ‘hampa’, ‘kuat’, ‘ikhlas’.
Maafin aku yank..
***


Tak terasa sudah sampai rumah, aku bergegas masuk, hujan masih mengguyur. Istriku segera menghampiri, membawakan handuk. “Mandi dulu ya, biar gak masuk angin.”
---ooo---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar