Jumat, 30 Desember 2011

Tinta Pembunuh Asa

Ada sejengkal bait yang kusesali ketika tangan ini menandatangani hitam di atas putih perjanjian non verbal mengenai kami.

Ralat, aku dan dia. Bukan kami.

Tinta yang mematikan setiap asa yang muncul di kemudian harinya.

Dengan penuh kesadaran aku menyanggupinya. Soal iya atau tidak waktu yang menjawab.

Musim berganti, aku coba menganalisis. Apa yang sebenarnya kusesali?

Ternyata bukan pupusnya asa. Kecanggungan yang berbalut dalam kasa transparan.

Hangat yang makin menguap. Malah membuatku menggigil dalam pekat.

Aku sendiri dalam bingkai imaji.
Aku tersembunyi pada rubiks yang kuacak sendiri.
Aku terlempar dari garis edar.
Sampai fajar membuatku tersadar.

Kini apa yang terjadi? Lihat saja nanti.


(?)

Perangkap

Perangkap telah kupasang. Dari balik selimut mataku tak pejam memperhatikan tiap garakan. Tiap tanda.

Ouch! Aduh. Kau pegang kakimu yang terlilit dalam simpul.
Yeay! Hore. Aku tersenyum senang. Kamu mulai terjerat.

Perlahan kupagari sekeliling dengan patok-patok berrenggang. Sengaja, agar kau masih bisa bernapas.

Dedaun mulai merambat di beberapa sisi. Entah dari mana asalnya. Kubiarkan saja.
Lamat-lamat mulai memenuhi seluruh pagar.

Kamu terus bergerak di dalamnya. Kadang sedikit mengintip keluar. Bunga-bunga yang mulai bermekaran makin menutupi dunia luar.

Kadang kau berlari-lari. Entah kenapa, aku yang terengah-engah. Simpul yang terikat mungkin jua menarik peparuku.

Senyumku mengembang, menunggu temali yang merangkak menuju hatimu dan menelusup hatiku. Mengikatnya dalam satu komitmen.

Selasa, 27 Desember 2011

Wonderfull Tuesday

Spending time with my besties, being silly and laughing about nothing.

Akhirnya kami ketemu lagi, di penghujung tahun, berempat, masih dengan rasa (dan kelakuan) yang sama dengan sepuluh tahun yang lalu.

Janjian di tempat biasa, baru ketemu beberapa menit sikap labilku muncul. Beli baju dan langsung kita pake. langsung digeret ke salon terus kita foto-foto.

Dua dari kami sudah menikah. Sisanya mudah-mudahan tahun 2012 -aminnya please-. Tapi seperti yang kubilang tadi, rasa dan kelakuan kami masih sama. Kami masih saling sayang, masih gila, masih kurang ajar, masih labil...

Kuantitas pertemuan yang sangat minim gak ngerubah sikap kami. Yang satu di Bali, nah kami yang bertiga ada di satu kota pun nyaris gak pernah ketemu. Untunglah aku dan wanita yang bertetangga beda benua itu masih kadang bisa menyempatkan waktu untuk melepas rindu.

Satu yang pasti, aku selalu menjadi diriku sendiri di tengah mereka. And I love them so much. Indeed.





ayo tebak mana yang sudah married dan belum??

Senin, 19 Desember 2011

Rasa dan Masa yang Tak Seirama

"Apa? Tak terjangkau? Gila kamu! Ngaca. Mas yang gak pernah bersungguh-sungguh mendapatkan aku. Sedikit aja kamu berusaha mas untuk aku.. Gak ada mas, gak ada. Kamu yang membiarkan aku pergi. Kamu yang lepasin aku!"

Umar tertegun. Tanpa jeda kubombardir dia dengan rasa yang setahun ini menyesak di dada.

"Dik.."

Aku membuang muka. Tetesan hangat mengalir melawati pipi. Terisak.

*
Kami berkenalan ketika syukuran empat bulan kehamilan kakakku. Papa mengundang sahabatnya, Gus Noor seorang pimpinan pondok pesantren di Jawa Timur beserta istri dan putranya, Umar.

Namanya juga anak ustad, pakaiannya rapi, mukanya bersih dengan sedikit rambut halus di dagunya, ada sedikit tanda di dahinya barangkali saking seringnya ia merendahkan kepalanya di hadapan Tuhan.

Bukan tanpa tujuan mereka diundang khusus oleh papa. Selain untuk memberi tausiah, mereka berniat menjodohkan kami. Papa dan mama tahu benar aku sedang dalam masa patah hati setelah ditinggal pergi Viky. Pria yang memacariku lebih dari tiga tahun ini.

Aku memandang sinis. Dia memberiku senyuman manis. Ck! Kulepaskan pashmina yang disangkut asal-asalan di kepala. Tanda bahwa aku tak menerima perjodohan ini. Aku anak nakal. Tak cocoklah dengan santri macam dia. Kuharap mereka mengerti.

Rupanya mereka tak patah arang. Dengan alibi sedang ada proyek bersama papa, Umar tak ikut kembali ke kampungnya. Dia mengontrak sebuah rumah yang hanya lima belas menit jaraknya dengan rumahku. Aku makin sebal.

Entahlah. Aku masih patah hati. Ini kesekian kali aku putus dengan Viky. Tapi sepertinya saat ini dia benar-benar pergi. Di malam tahun baru aku menangis menjadi-jadi.

Untunglah aku punya sahabat-sahabat yang begitu hebat. Ramai-ramai mereka memelukku dengan hangat. Menyemangatiku bahwa masih ada masa depan yang lebih baik sekalipun tak bersama si keparat.

Seperti air yang menetesi batu, perlahan aku mulai luluh. Di tengah hatiku yang pilu, apakah dia yang Tuhan pilihkan untukku? Apakah ini pintu menuju kebahagiaanku, di awal tahun baru?

Aku yang awalnya sengaja bertingkah menyebalkan di depan Umar kini mulai menjinak. Memakai celana panjang dan cardigan jika bertemu dengannya, bahkan aku mulai memberikan senyum untuknya.

Sekali waktu pulang kerja ia menjemputku. Di tengah kemacetan, adzan maghrib berkumandang. Ia memanggil seorang pedagang asongan.

"Aqua satu, pak." Dia menyerahkan selembar sepuluh ribuan. "Minum dik?" Tawarnya padaku. Aku menggeleng. Dia melambaikan tangannya ketika pedagang asongan itu hendak memberikan uang kembalian. Pria itu tersenyum, "terimakasih mas."

Umar membuka segel minumannya. Samar kudengar dia membaca doa berbuka puasa. "Mas puasa?" Tanyaku. Dia mengangguk, "Kemis dik." Hoo, aku ikut mengangguk. Entah apa arti anggukanku.

Dak dik dak dik. Cuma dia yang memanggilku 'dik', kependekan dari 'adik'. Dan entah kenapa aku memanggil dia mas. Awalnya canggung, lama-lama aku suka juga dengan panggilan itu. Bosan aku dengan panggilan sayang macam 'yang', 'beb'... Tunggu... Panggilan sayang? Emangnya 'dik' itu panggilan sayang dia ke aku? Sayang? Sayang oppooo tho nduk! Lha kok aku malah boso jowoan??

Tetiba mukaku merona, berkutat dengan khayalan dan analisaku sendiri. "Kenapa dik?" Umar membuyarkan lamunanku. Mukaku makin memerah. Aku menggeleng tegas. "Mo buka puasa dimana?" Mengalihkan pembicaraan.

"Adik mau makan apa?" Dia balik tanya.
"Terserah." Jawabku, standar.

Dia membelokkan setirnya, di sebuah rumah makan khas Jawa Timur. Sepertinya dia kangen kampungnya.

Sesaat setelah mencari meja dia pamit shalat. Tak sedikitpun ia menyuruhku ikut shalat.
"Bareng. Aku juga lagi shalat kok." Kataku, membuntutinya. Dia tersenyum. Eh tumben aku mau shalat tanpa disuruh.

Setelah meminjam mukena pegawai restoran, aku berdiri dua shaf di belakangnya, agak sebelah kanan. Mushola sudah kosong, karena jarum jam sudah hampir menunjuk angka tujuh. Lirih tapi jelas dia mengucap takbir. Aku mengikutinya.

Kulihat setiap gerakannya. Kepalanya menunduk ke arah sajadah ketika melantunkan fatehah dan tabarok. Punggungnya lurus ketika ruku', dahinya rata menyentuh sajadah, bibirnya sedikit mengangkat, bisa kudengar samar tasbihnya, jarinya kakinya melipat sempurna ketika duduk di antara dua sujud. Astaghfirullah, kenapa aku malah memperhatikan dia. Jauhlah aku dari khusyu'nya shalat.

Selepas salam dia mengadahkan tangannya. Matanya sedikit terpejam lalu tangannya mengusap muka. Amin. Dia berbalik, tanpa komando aku salim padanya.

Ini salim pertamaku terhadap seorang pria. Salim pertama yang dilakukan setelah shalat berjamaah pula. Padahal tak ada seorangpun yang menyuruh. Umar sekalipun.

Sahabatku bilang semenjak malam itu aku berubah. Penampilan, sikap, gaya hidup.. Aku memang tidak menjadi berkerudung, tapi setidaknya jika akan bertemu Umar aku tidak akan memakai mini dress atau kaos lengan pendek seperti yang biasa kukenakan.

Ini bukan masalah pakaian saja, tapi kemauanku untuk berpakaian sopan di depan Umar. Itu kata sahabatku. Aku mau berubah hanya demi seorang Umar.

"Umar yang nyuruh lo pake baju rapi gitu?" Tanya Wina.
"Enggaklah, dia gak pernah nyuruh-nyuruh atau ngelarang gue apapun"
"Iya sih, gue kenal lo, lo ga kan mau disuruh atau dilarang kaya gitu. Makanya gue heran kok lo mau berubah buat dia. Lo suka dia ya?"

Suka? Masa sih? Umar benar-benar bukan tipe pria idamanku. Viky dan mantan-mantanku yang lain benar-benar berbeda dengannya. I'll always fallin in love with a bad boy. Cowok alim, ikhwan macam dia gak pernah ada di kamusku.

Entah bagaimana, ceritanya kami masuk dalam fase taaruf. Pengenalan, penjajakan, semacam itulah. Boro-boro ada kecupan hangat, pegangan mesra aja gak ada. Satu-satunya masa kulit kami bersentuhan adalah jika aku salim padanya. Seusai shalat.

*
PING!
Godaan mulai menerpa. Sebuah seruan dari seseorang yang kukira sudah pergi jauh. Viky.

Batinku berkecamuk. Tak bisa kupungkiri. Aku masih mencintainya. Dan sepertinya masih ada harapan untukku bersamanya. Tapi bagaimana dengan Umar?

Dia tahu sekali kelemahanku. Ketika tahu aku sedang dekat dengan Umar, semua jurus dikeluarkannya. Kata-kata manis menyebar di setiap notification bb. Sms, bbm, twit. Jemputan di pagi hari, ajakan makan siang.. Aku sampai tak bisa bermapas dibuatnya!

Umar mulai mencium gelagat tak baik. Tak berapa lama dia kembali ke kampungnya. Setelah menyudahi hubungan kami. Aku putus dengan Umar. Eh, putus itu kalo pacaran ya? Kalo penjajakan gitu apa namanya? Ahh pokoknya semacam itulah.

Beberapa bulan kemudian aku kembali berpacaran dengan Viky. Dia memang berubah. Mama dan papa akhirnya menerima kembali Viky setelah dia membawa orang tuanya untuk bersilaturahim.

Hubungan kami makin serius. Bahkan orangtuanya sudah merencanakan lamaran. Insya Allah awal tahun depan akan dilaksanakan.

*
Sebelum natal aku ditugaskan ke Pacitan. Kira-kira tiga hari aku disana. Bukan masalah tiga harinya, tapi Pacitan. Disana Umar tinggal.

Keluarganya masih berhubungan baik dengan keluargaku. Termasuk Umar. Dia bahkan sengaja datang ke rumah untuk mengundang kami di pernikahannya. Iya, beberapa bulan lalu Umar menikah. Tentu saja aku tak ingin datang. Entah dimana akan kutaruh mukaku untuk menghadapi orangtuanya.

Mama dan papa mengira bahwa keputusan Umar meninggalkanku adalah karena aku yang sengaja membuat ilfeel Umar, aku bertingkah macam-macam di depannya. Ya Tuhan, tak adakah yang percaya bahwa sesungguhnya aku benar-benar berubah?

Sebuah sms masuk ketika turun dari kereta. Dari Umar.
"Assalamualaikum, apa kabar dik? Saya dengar adik hari ini ke Pacitan ya. Kalau sempat kita silaturahim."
DEG. Hatiku tak keruan sepanjang perjalanan ke hotel. Aku bahkan masih terlihat bloon ketika bertemu dengan kolega siang harinya. Silaturahim? Ketemu dengan Umar? Umar.. Umar.. Hanya itu yang ada di kepalaku di ruang meeting.

*
Entah bagaimana, malam itu aku sudah berada di mobil Umar. Dia mengajakku mencicipi restoran favoritnya di Pacitan. Seperti dua orang sahabat, walau awalnya canggung, kami bisa menguasai keadaan. Obrolan ringan seputar hidup, pekerjaan mengiringi perjalanan pulang menuju hotel.

"Bulan depan aku lamaran mas."
"Dengan Viky? Selamat ya. Alhamdulillah.."
"Iyalah, sama Viky. Siapa lagi.."
"Iya, akhirnya kamu bersama lagi dengan pria yang kamu cintai dik."
"Maksud mas?"
"Viky memang tak tergantikan. Dia selalu di hatimu kan."
Dahiku mengernyit. "Maksud mas apa?"
"Aku sadar diri dik. Kamu sangat mencintai Viky. Aku gak akan pernah bisa dapatin kamu. Gak kesampaian.."
Dadaku sesak. Merasa dipersalahkan. Kuluapkan semua rasa yang kusimpan selama setahun. Kubombardir dia tanpa jeda.
"Apa? Tak terjangkau? Gila kamu! Ngaca. Mas yang gak pernah bersungguh-sungguh mendapatkan aku. Sedikit aja kamu berusaha mas untuk aku.. Gak ada mas, gak ada. Kamu yang membiarkan aku pergi. Kamu yang lepasin aku!"

Umar tertegun.

"Aku mencintaimu, mas."

Di basement hotel, dengan mata yang masih basah aku turun tanpa sepatah kata. Kubanting pintu mobilnya. Dia segera mengejar.

"Dik.. Tunggu.." Tanganku ditariknya. Padahal dulu tak pernah ia menyentuhkan kulitnya padaku, selain ketika salim setelah shalat. "Apa benar kamu mencintaiku? Pernah mencintaiku?"

Aku menatap matanya. Tanda bahwa aku tak berbohong. Air mata lagi-lagi meleleh ke pipiku. Aku memeluknya. Meluapkan semuanya. Bibir kami berpagut. Begitu hangat. Seolah ingin membayar rindu dan napsu yang sempat terbelenggu. Dia mencium dahiku.

Astaghfirullahaladzim. Dia mundur selangkah. Pun aku segera tersadar. Apa yang telah kulakukan? Aku berciuman dengan seorang ustad. Suami orang.

"Jangan pernah ketemu aku lagi mas." Kataku menunduk lemah.
"Iya." Jawabnya lirih.
Aku berbalik meninggalkannya sendirian.


Hatiku perih. Rasanya lebih sakit dibanding saat dulu aku ditinggal Viky. Entah apa namanya ini.

Jumat, 02 Desember 2011

Terjebak di Ruang Nostalgia

"Wake up baby.."
Sebuah sentuhan lembut menerpa pipiku. Dengan berat aku membuka mata. "Ouch!" Damned, sepertinya hangover.

Iman memberikan segelas air putih. Patuh segera kuteguk setengahnya.

"Tektek bengek menjelang pernikahan kayanya emang bikin kamu stres ya sayang.. Maaf ya, kamu jadi kubuat begini."

Aku menggeleng lemah. Gelas kutaruh di meja samping tempat tidur. Kutarik lengannya, kusimpan di antara pipi dan bantal. Dia jadi sedikit membungkuk. Ciuman hangat mendarat di dahiku. Lalu bibirnya bergerak agak ke bawah. Segera mulut kututup dengan telapak tangan. Tak mau sisa bau alkohol menempel padanya.

"Aku pasti jelek banget."
"Iya, jelek banget! Tapi kok aku mau ya nikahin kamu"
Aku mendengus manja. Dia tersenyum.
Iman menoleh jam di tangan kirinya. "Sudah jam 11, aku harus ketemu klien dulu. Bibi lagi angetin bubur, ntar makan ya. Jangan lupa mandi. Nanti malem aku jemput."
Cerocosnya tanpa menghiraukan kerlinganku yang masih menginginkan dia untuk tetap disini.

****

Aku dan Iman akan menikah minggu depan. Dua bulan lebih cepat dari rencana awal. Semua dipersiapkan secara instan. Bukan, bukan karena aku hamil duluan. Tapi karena bulan depan kami akan segera kembali ke New York. Iman mendapat posisi yang diinginkannya setelah "diplonco" selama enam bulan di Indonesia.

**

Kami bertemu satu setengah tahun yang lalu di Golden Gate, San Francisco. Aku bersama rombongan Outstanding Student for The Kementrian Luar Negeri berkesempatan melihat jembatan merah yang menjadi icon di kota ini.
Kabut pagi menambah indahnya pemandangan dari Marin Side. Iman menjadi pendamping rombongan yang disewa kedutaan besar.

Jembatan Golden Gate pagi itu belum begitu ramai. Kabut datang bergelombang. Kadang tebal, kadang lamat-lamat. Penampakan Golden Gate menjadi seperti jembatan di atas awan. “Kabut itu hanya di atas jembatan, tidak mengganggu jarak pandang,” jelas Iman.

Aku sibuk foto-foto sementara Iman menjelaskan hal-hal mengenai Golden Gate. "Jangan terlalu pinggir mbak, disini udah banyak yang meninggal", aku mundur segera, "disini tempat favorit yang mau bunuh diri." lanjutnya.
"Hmmm." aku berlalu menganggap omongannya hanya guyon murahan.

Esoknya Konjen RI di SF dan Chief of Protocol for San Francisco mengundang kami untuk dinner di Balai Kota. Ternyata Iman juga hadir. Gayanya yang hangat berhasil memikatku yang kemarin sempat jengkel dibuatnya.

Delapan bulan kemudian aku berhasil mendapat pekerjaan di Manhattan. Aku mulai berhubungan lagi dengannya. Dan sepertinya kami jatuh cinta. Ia bahkan rela menempuh jarak lebih dari 4000 km untuk menemuiku.

Iman mencoba mengirimkan CV ke beberapa company di Manhattan, tak lain agar kami menjadi lebih dekat. Dengan beberapa link dari keluarganya ia berhasil mendapat pekerjaan di sebuah multinational company yang berbasis di NYC. Tak apalah, setidaknya kini kami lebih dekat.

Melihat latar belakang keluarga Iman, perusahaannya memberikan tawaran untuk "magang" di Indonesia. Mencoba system baru yang sudah sukses di US dan mencoba menerapkannya di Indonesia.

"Sayang, Tuhan memang Super Baik, aku akan segera dipindah ke Indonesia. Kita bisa balik for good!"

"Balik ke Indonesia?"
"Iya, Jakarta sayang, kita pulang trus nikah dan hidup disana bersama keluarga"

**

Balik? Tinggal di Jakarta lagi? Gak bisa. Susah payah aku cari kerja di US dan sekarang Iman minta aku balik ke Indonesia. Dan apa tadi katanya, nikah dan hidup disana? Gak. Ini gila! Aku gak mau balik ke Jakarta!!

Iman tak tahu kalau aku begitu membenci kota itu. Kota penuh kenangan. Kota dimana aku tumbuh dan mengenal cinta. Terbuai dalam angan akan cinta yang sempurna. Kota dimana aku dicampakan begitu saja setelah bertahun-tahun berpacaran dengan Rizki.

Iya, Rizki namanya. Dia adalah alasan terbesar aku pindah ke US. Sebenarnya aku ingin pergi kemana saja, asal tidak di kota itu. Tidak di negara itu.

Aku berpacaran dengannya sejak kelas 1 SMA. Dia kakak kelasku. Semuanya nampak sempurna sampai dia lulus kuliah dan tiba-tiba saja melarangku untuk hadir dalam wisudanya.

Sungguh aneh. Dengan perasaan tak enak aku diam-diam tetap datang. Lagipula ini kesempatanku untuk bertemu dengan kedua orangtuanya. Enam tahun lebih berpacaran, belum pernah aku bertemu dengan mereka.

Dahiku mengernyit. Seorang wanita memakai kebaya pink ada di antara Rizki dan orang tuanya. Yang kutahu Rizki anak tunggal, jadi tak mungkin itu adiknya. Tangannya mengapit erat wanita itu. Senyumnya merekah. Aku memberanikan diri mendekat. Sedikit menguping pembicaraan mereka di antara riuhnya Aula.

"Lulus sudah, pekerjaan sudah ada tinggal kami datangi keluarga Maggie ini." Ujar ibunya.
Rizki tersenyum, wanita itu tampak malu-malu. Aku tahu kalau Rizki didapuk meneruskan perusahan bapaknya. Tapi mengenai wanita ini aku tak tahu sama sekali.
Tak mungkin aku salah dengar. Sekuat tenaga aku menghampiri Rizki, tersenyum seolah tidak ada apa-apa.

Rizki tampak sangat terkejut. Wajahnya pucat pasi. Dia segera melepaskan pegangan Maggie.
"Selamat Riz.." Kataku sembari mengulurkan tangan.
"Makasih.." Sahutnya.
Ibunya tersenyum padaku. "Siapa Riz?"
"Te..temen bu"
Hatiku mengkerucut. Sakit sekali rasanya. Aku berusaha tetap tersenyum lalu bersalaman dengan ibu bapaknya. Juga Maggie.

Ingin mati rasanya saat itu. Terjawab sudah keganjilan selama ini. Kini aku juga mengerti kenapa Rizki tak pernah memperkenalkan aku pada orang tuanya.

Malam harinya ia datang ke rumahku. Menjelaskan semuanya, meminta maaf karena selama ini merahasiakan hubungannya dengan Maggie. Mereka dijodohkan sejak kecil. Itu katanya. Entah benar atau tidak yang kulihat hanyalah dia tidak berusaha untuk membawaku ke dalam rencana masa depannya. Aku telah dibohongi. Dibodohi. Bertahun-tahun.

Tiga hari aku tidak keluar kamar. Aku menangis hingga sepertinya habis air mata ini. Untunglah ada Wina sahabarku yang mendampingi. Memberi pengertian pada orang tuaku.

Kudengar Rizki sempat dipukuli oleh Kakakku. Entahlah, aku tak mau lagi mendengar tentang dirinya.

Patah hati justru sepertinya berdampak baik pada studyku. Aku hanya kuliah kuliah dan kuliah. IPK ku menyentuh angka 3.8 semester ini. Bahkan aku mendapat hadiah study tour ke Amerika setelah mengikut sertakan makalah mengenai public transportation berbasic go green.

Makalah yang membuatku terbang ke San Francisco, bertemu Iman. Lalu dengan semangat tinggi aku mencari pekerjaan di luar negeri. Iman lah yang membawaku sampai di Manhattan. Agar aku bisa melupakan Rizki, jauh dari segala berita tentangnya.

Kini Iman mengajakku kembali ke Jakarta. Tidak, hatiku rasanya belum mampu. Telepon dan email dari keluarga dan Wina yang gembira mendengar berita dari Iman sedikit menggoyahkan pendirianku.

Sampai kapan aku harus lari dari masa lalu?

Aku mengajukan cuti jangka panjang dari kantor. Sengaja aku tak memberikan surat resign karena hati kecilku masih berharap kami akan segera kembali kesini.

Setelah menempuh penerbangan selama ± 35 jam rasanya badan rontok semua. Hati sih yang sebenarnya kalang kabut. Aku tidur seharian. Mama membangunkanku dengan segelas milo di tangannya.

"Gak kangen apa sama mama, nyampe Indonesia cuma tidur doang"
Aku mencium keningnya lalu segera menyeruput coklat hangat yang dibuatnya. Semalaman aku tidur dengan mama papa. Hangat sekali rasanya.

Keesokan harinya giliran Wina yang membangunkanku. Memeluk dengan agresif diselingi kelitikan membabi buta. Sepertinya dia ingin membunuhku!

Kami membuat janji makan siang. Aku, Wina dan Iman. Di sebuah resto di bilangan Jakarta Selatan yang sedang in. Cafe ini milik Wina dan seorang temannya. Menyajikan pasta dan pancake. Makanan favorit kami.

Beberapa minggu di Jakarta aku tak pernah kemana-mana. Paling sesekali mengunjungi resto milik Wina atau ke rumah Iman. Selebihnya aku hanya diam di rumah. Menulis blog, atau sekedar chatting dengan temanku yang insomnia di Manhattan sana.

Sabtu siang Iman berhasil memaksaku untuk keluar. Aku sudah seperti vampir yang takut pada sinar matahari. Pada dunia luar. Sebenarnya aku hanya takut jika tak sengaja bertemu dengan Rizki.

Rizki lagi. Sakit rasanya harus mengakui bahwa nama itu begitu menggores luka yang teramat dalam. Mengingatnya seperti mengorek luka lama.

Kami melewati beberapa tempat yang dulu pernah aku dan Rizki datangi. Setiap jalan sepertinya ada cerita. Semua sudut menguak semua memori. Ahh!!

Apa yang kutakutkan benar-benar terjadi. Aku melihat sosok yang begitu kuhapal ketika baru saja selesai memesan makanan di sebuah resto hotel bintang lima. Sosok itu datang dari balik pintu berjalan tersenyum ke arah seorang wanita yang duduk di dekat jendela.

Kenapa aku harus bertemu Rizki dan Maggie lagi?! Karena panik tak sengaja gelas tersenggol oleh tanganku. Semua orang melihat ke arahku. Termasuk Rizki. Damned!

Pertemuan yang membawa bencana. Rizki mencoba menghubungiku. Kenyataan bahwa aku kembali tinggal dengan orang tua, di rumah yang sama ketika kami masih berpacaran tentu saja tidak menyulitkannya.

Bodohnya aku, terjebak lagi pada perasaan yang dulu menguasaiku bertahun-tahun. Awalnya memang aku begitu marah padanya. Tamparan, makian habis kualamatkan di depan hidungnya.

Dia tak banyak berubah, masih Rizki yang tak pernah patah arang dalam mendapatkan keinginannya.

Aku berhubungan lagi dengannya. Walau kutahu dia sudah menikahi Maggie.

Dia bilang padaku bahwa akan segera menceraikan Maggie. Dia tak pernah mencintainya. Tak lupa, mimpi-mimpi kami dahulu yang sempat terbang mulai ia simpul kembali. Aku sempat terbuai olehnya.

Sampai satu titik aku merasa ini tidak benar.

Aku harus melepaskan Rizki.

***

"Kita percepat aja tanggal nikahnya"
"Loh kok?" Mama dan papa terheran.
Begitupun Iman.
"Iya, gak usah besar-besar lah, aku mau nikah di KUA aja. Secepatnya. Lalu kita balik ke US"
'Kamu hamil??" Tanya mamaku.
"Ya enggaklah. Aku cuma gak mau heboh-heboh gak jelas, mending duitnya dipake bulan madu. Keliling eropa. Iya kan sayang?" Jawabku. Iman masih bingung, tapi cukup dapat menguasai keadaan. Dia tahu aku hanya ingin pernikahan sederhana.

"Oke kalo kamu maunya sederhana, tapi gak usah di KUA segala kali. Kita cari tempat lain, yang gak terlalu besar, yang cukup seratusan orang" seru mama.

"Seratus kebanyakan ma, aku cuma mau kita aja keluarga inti. Cukup."

"Kamu gak ngehargain nenek, kakak dan pakde mu? Trus keluarganya Iman?"

"Oke, kita cari jalan tengah aja gimana sayang? Mama? Kita cari tempat yang pas, yang enak buat mama, papa, nenek, juga keluargaku? Gak usah di gedung besar juga gak di KUA." Tengah Iman.

Aku mengangguk. Lalu segera menelepon Wina. Mencari bantuannya.

Akhirnya kami sepakat melangsungkan pernikahan di sebuah villa di puncak. Pemandangannya indah, sejuk. Sesuai dengan keinginanku.

Kemarin aku dibawa Wina ke sebuah rumah mode. Baru dua kebaya kucoba, aku memberontak.
"Aku mo pake dress biasa aja. Yang ini nih.." Kataku sambil menunjuk asal gaun pengiring pengantin. Gaun pendek model tube dress berwarna putih pucat.
"Maksud kamu?"
"Ya biasa aja, toh acaranya juga santai. Aku gak mau ribet pake kebaya kaya gini. Menjuntai-juntai, penuh payet dan batu swarovski. Berat!"
"Kamu tu mikir dikit kenapa sik? Yang nikah bukan kamu doang, tapi Iman juga. Coba ya sedikit aja ngurangin ego kamu. Hargai Iman dan keluarganya. Masa hari pernikahan kalian kamu cuma pake dress kaya gini?!"

Aku mendengus kesal. "Win, aku cuma gak mau berlebihan, aku cuma pengen pernikahan yang simpel. Aku gak mau seolah mewujudkan impian pernikahanku dengan Rizki. Gedung mewah, kebaya panjang menjuntai, undangan ribuan orang dari semua keluarga besar. Aku gak mau!"
"Apa tadi kamu bilang? Rizki?"

"Iya Rizki! Itu rencana yang kususun bertahun-tahun. Sampai akhirnya hancur. Kamu pikir aku gak sakit apa mesti nyusun pernikahan impian kaya gitu? Gak sakit apa harus nyembunyiin perasaan yang masih bergejolak disini" aku berteriak sambil menunjuk dada. Aku hilang kontrol. Wina menyeretku ke toilet.

"Kamu kira aku gak sakit harus nyembunyiin hubunganku dengan Rizki. Karena takut akan dihakimi oleh kamu, kakak, mama papa, Iman? Aku gila Wina..." Seruku lirih.
"Ya Tuhan, kamu berhubungan lagi dengan dia?"

Aku mengangguk pelan. Bersiap menerima makian Wina. Tapi dia malah memelukku. Lama sekali.

Sampai akhirnya aku terbangun oleh sentuhan hangat Iman. Semalam aku mengambil minuman dari lemari papa. Entah berapa botol yang kuteguk.

***
Kantor di US berniat menarik Iman kembali ke NYC. Merasa mendapat alibi segera kuminta untuk mempercepat pernikahan kami. Agar bisa segera kembali kesana. Agar aku bisa benar-benar meninggalkan masa laluku.

Aku tak bisa selamanya disini. Tak bisa terus menerus terjebak di ruang nostalgia.

Kulihat dari jendela, Iman berjalan menuju mobilnya. Tinggi tegap berwibawa. Tak ada yang kurang darinya. Tuhan telah mengirimkan malaikatnya untukku. Tak ada alasan aku menoleh ke belakang.

**
Dengan kebaya putih dan kain batik aku berjalan menuju meja ijab qobul. Make up kupoles sendiri. Wina membantuku mencepol rambut dengan sederhana. Tanpa hairspray ataupun sasak rambut.

Iman menoleh ke arahku. "Cantik" katanya. Aku menunduk malu. Ia melafalkan janji pernikahan dengan lugas kepada ayahku. Air mataku menetes. Saat dia dipersilakan mencium keningku aku menatapnya. I love you..


*beberapa deskripsi diambil dari tulisan radar sukabumi. Lupa sourcenya, tapi kenapa radar sukabumi ya? 'au deh..judul emang sengaja dibikin buat menyasarkan orang yang googling lagu tersebut (disamping saya memang suka sekali lagunya)*