Kamis, 23 Januari 2014

Keajaiban Kecil di Baitullah

Sekali lagi kubilang, mimpi aja aku gak pernah bisa menginjakkan kaki ke Baitullah. Ka’bah yang selama ini cuma kulihat di sajadah ketika bersujud menghadap-Nya, kini berdiri tepat di hadapanku.
*

Mengambil miqat dari Bir Ali, perjalanan umrah dari Madinah ke Mekkah dimulai selepas shalat Zuhur di Masjid Nabawi. Perasaanku tak karuan, takut sekali jika melakukan kesalahan. Istighfar dan talbiyah dilantunkan bergantian di dalam hati, sering air mata tiba-tiba mengalir begitu saja.

Sampai di Mekkah kami langsung ke hotel untuk bersiap, karena sudah dalam keadaan ihram maka tidak disarankan untuk mandi, jadi kami hanya makan dan mengambil wudhu. Setelah semua siap, tepat tengah malam kami berjalan menuju Masjidil Haram, formasi barisan untuk tawaf disiapkan, pria berdiri di barisan luar untuk menjaga sepuh-sepuh. Aku? Karena kebanyakan jamaah di rombonganku adalah perempuan yang sudah lanjut usia, jadi aku juga ditaruh di barisan luar, ikut menjaga rombongan.

Di depanku seorang bapak membawa ibunya yang sudah sepuh. Si Nenek ini sengaja dibelikan kursi roda ketika akan berangkat umrah, tapi beliau bersikeras bahwa ketika tawaf ingin berjalan, tak mau didorong. “Ngke wae mun sa’i.” Nanti aja kalau sa’i. ketika di Gate 1 Masjidil Haram, Askar mengambil kursi rodanya, karena kursi roda hanya diijinkan di lantai atas. Si Bapak menyerahkannya pasrah, karena sang ibunda keukeuh ingin ikut rombongan tawaf di bawah.

Beberapa jamaah memelukku dan menangis terharu, “Neng, Ibu bisa liat langsung Baitullah..”. aku hanya memeluknya, ingin rasanya ikutan menangis tapi kutahan saja. Setiap langkah diiringi talbiyah hingga kami sampai tepat di hadapan Ka’bah. Air mata yang kutahan sedari tadi tak bisa kubendung lagi, semuanya tumpah ruah, rasanya campur aduk.



Tak ada yang keluar dari mulutku selain rasa syukur, lagi, doa yang sudah disiapkan lupa semuanya. Aku hanya bisa bersyukur, bersyukur dan bersyukur. “Makasih ya Allah sudah dikasih kesempatan bisa lihat Ka’bah..”

Tawaf di malam hari memang tidak sepenuh pagi atau sore hari, tapi bukan berarti lowong. Kami tetap berdesakan, terutama ketika menuju Hijr Ismail. Melihat kerumunan yang berjejal, sempat merasa tidak yakin, apalagi di sampingku banyak ibu yang sudah sepuh. Bismillah kulangkahkan kaki menyusuri batas marmer itu. “Terus pegang sini ya bu, ikutin Yayang.” Kataku pada mereka.

Setiap ada space untuk shalat kusuruh mereka isi, lalu ada space di sebelah wanita Arab yang duduk di kursi sambil berdoa. Kutunaikan shalat sunat dua rakaat, kulantunkan doa dalam sujudku secepatnya, karena takut jika ada yang mendorong atau menginjak. Sampai kututup amiin, tak ada satupun yang bahkan mendorongku, kulihat di sebelah, ternyata ada dua perempuan Arab juga yang memakai kursi diam di sisi kiri dan belakangku. Aku jadi terlindungi oleh mereka. Kesempatan ini tak disia-siakan, kuteruskan doa dan syukur kepada-Nya.

Lalu aku bergerak ke Multazam, aku tidak ikut dorong-dorongan seperti yang lain. Ingat pesan atasanku di kantor, “Jangan memaksakan diri ingin duluan, yang duluan belum tentu baik. Sabar.” Aku mengikuti gerakan massa, benar, tak lama ada space kosong dan aku bisa berdiri menyentuh Multazam. Sebenarnya pintu Ka'bah ini cukup tinggi, kalau dilihat secara logika, tak mungkin aku bisa menggapainya. Tapi entah karena dorongan dari mana, aku bisa menyentuh dan berdoa cukup lama. Di sampingku ada salah satu nenek yang satu rombongan denganku. Nenek yang kursi rodanya diambil Askar.  “Ibu mau maju?” beliau mengangguk. Bismillah, kutarik beliau dan ternyata beliau juga bisa sampai menyentuh Multazam. Alhamdulillaah.

Selesai di Multazam, peer berikutnya adalah keluar dari Hijr Ismail, jamaah semakin penuh. Aku harus bawa nenek ini keluar area tawaf. “Bu, peluk Yayang ya, kita keluar lewat sini.” Kataku memintanya memelukku dari belakang. Beliau mengangguk, lalu melingkarkan tangannya ke dadaku. Kukepit erat lalu berjalan menerobos lautan jamaah. Rasanya seperti terbang, dengan istighfar dan keyakinan kepada-Nya kami bisa sampai ke luar area tawaf. Si Nenek memelukku sambil menangis, “Nuhun nya, Neng..” Aku mengangguk dan memeluknya. “Emak teh, da teu tiasa papah. Ieu sampean teh nyeri. Tapi di dieu jadi tiasa papah deui..” Emak sebenernya gak bisa jalan karena sakit kaki tapi di sini jadi bisa jalan lagi.

Sampai kami kembali ke Indonesia, kursi roda itu tak kembali, tapi si Nenek bisa berjalan kembali. Keajaiban? Kurasa.


Ps: Foto-foto lainnya bisa dilihat di IG: @tetehna9a

Rabu, 22 Januari 2014

Jatuh Cinta di Madinah

Jujur aja, umrah gak termasuk di list teratas rencana perjalanan gue. Cap paspor dan visa pertama yang gue bayangkan bukan dari kerajaan Arab Saudi. Dengan ekspektasi yang tidak besar maka berangkatlah gue awal tahun 2014 ini.

Pertengahan tahun 2013 gue agak kepikiran sih untuk umrah, kayaknya lucu gitu, belon kewong tapi udah bisa umrah, tapi perginya entah kapan, untuk itu iseng bikin tabungan umrah di salah satu bank syariah terkemuka di Indonesia. Rencananya mungkin 2 tahunan lagi lah, sama Ayah kalo bisa.

Sekitaran Agustus, alhamdulillaah dapet rezeki yang agak lumayan, langsung dong ngerencanain liburan. Ada beberapa Negara yang menjadi bidikan, temen seperjalanan pun sudah diwacanakan. Tiba-tiba Mamah ngomong gini: “Kenapa gak umrah aja, Yang?”. Tanpa pikir panjang gue jawab: “Oh, gitu ya? Ya udah jalan-jalannya ke Mekkah dan Madinah aja deh!” –begitulah si impulsive bertindak-

Gue sih penginnya berangkat bulan Oktober-November, jadi ceritanya ulang tahun di Mekkah. Hahahaha! Tapi yang gak gue tahu, bulan itu ada hajian, jadi semua travel baru ada jadwal umrahnya paling enggak akhir Desember. Trus temen gue bilang, Desember itu puncak musim dingin, lebih baik gue berangkat Februari-Maret. Laahh lama amat? Keburu gak semangat lagi >.<

Long short story, takdir mempertemukan gue dengan travel milik kerabat keluarga. Harga oke, paket oke dan jadwalnya Januari, lumayanlah gak lama-lama amat, sekalian nyiapin diri aja gitu sambil nunggu keberangkatan.

Hari pengajuan cuti pun tiba, gue menghadap sang manajer.

Gue: Pak, mo ijin cuti
Manajer: Mo kawin?
G: Bukan, mau pergi
M: Pergi ke mana?
G: Umrah..
M: HUAUHAUHAHAHAHAHAHAAHAHHAHAHAA
G: Pak…
M: Gak usah bohong lah sama saya, emangnya kamu mau ke mana sih? Jalan-jalan kan? Ke mana? Ostrali?
G: *geleng-geleng*
M: Oh, itu ya.. Kalimantan, Derawan?
G: Bukaan…
M: Hmmmm Saya tau, pasti mo diving ke Raja Ampat!
G: Suer pak, saya bukan..
M: Halah, saya tau kamu tuh tukang ke pantai, mau diving, pasti ke Raja Ampat. No! gak boleh.
G: Sueerrr…. Saya mau umrah atuh Pak..
M: *mendelik* Elu mah ga ada tampang mau umrah.. *kemudian berlalu*
G: …………………..

Begitulah percakapan ketika gue mau mengajukan cuti kepada sang manajer. Dengan tampang memelas, gue nyoba menyakinkan lagi.
G: Nanti dibeliin oleh-oleh deh.
M: Bisa beli di Pasar Baru
G: Nanti aku poto-poto di Ka’bah
M: Kamu mah jago potosop, palingan entar ngedit-ngedit.
G: …………………………………………………………

**
Surat izin cuti di tangan, semua kelengkapan dokumen perjalanan juga sudah siap. Mental gimana mental?
Diiringi isak tangis haru keluarga, gue berangkat dari Bandung jumat pagi, sepanjang hidup tiap jalan-jalan kemanapun rasanya gak pernah sampe seterharu ini, entah kenapa..

Flight dari Cengkareng pukul 18:35 menggunakan Qatar airlines, transit di Doha selama 1 jam yang berarti turun pesawat, langsung naik bus transit dan langsung masuk boarding gate cus ke pesawat selanjutnya menuju Jeddah.

Sampai di Jeddah jam 3 subuh, barisan imigrasi perempuan jauh lebih cepat dibanding barisan laki-laki. Jadi kami gadis-gadis cantik ini menunggui rombongan laki-laki sampe kurang lebih satu setengah jam. Jam menunjukkan pukul 04:35 waktu setempat, dengan sotoy kami pun mengambil wudhu dan shalat di bandara. Arah qiblat diberi tahu oleh Aa Wifi

Jam setengah enam semua rombongan udah berkumpul, kami akan segera lanjut ke Madinah. Keluar bandara ada suara azan. Azan??

Pembimbing di Madinah ngasih tau kalo azan di sana jam enam-an gitu. Jadi tadi kita shalat apa?? Hahahahaahahaha! Dan kenapa si aa wifi ngebiarin kita shalat? Ummm mungkin dikiranya kita shalat tahajud kali yes… hmmm…
Subuh di Jeddah


Ya udah, kita shalat lagi aja di jalan. Gue pun segera ke kiri badan bus.

G: Pak, ini gimana cara masuknya? *ngopek-ngpek handle pintu*
Pak Ustaz: pintunya sebelah kanan, Neng..itu pintu supir.
~Oh ternyata di Arab pintu penumpang di sebelah kanan, gak kayak di Endonesa…. Yasalam, akoh malu akoh..

Jarak Jeddah-Madinah kurang lebih 450 Km, jauh ye bok. Tapi ditempuh dalam waktu kurang dari 5 jam aja, karena di sana jalanannya lebar dan  lurus… kayak jalan tol.. gak ada motor yang nyelap-nyelip.
Jeddah-Madinah


Begitu masuk area Haram, Ustaz mengajak kami membacakan shalawat, Assalamualaika Ya Rasulullaah.. seketika air mata gue mengalir, merinding dan sangat terharu, hati gue sepertinya tersentuh, entah oleh Zat apa.

Alhamdulillaah begitu sampai, waktu masih sekitar pukul sebelas, sebelum shalat Zuhur, jadi pertama kali shalat di Madinah langsung shalat di Masjid Nabawi yang letaknya tepat di depan hotel.

Doa-doa yang udah disiapkan seketika nge-blank. Yang ada cuma rasa syukur bisa dikasih kesempatan menginjakkan kaki di Masjid kesayangan Nabi Muhammad, di mana di dalamnya ada makam Beliau beserta sahabat-sahabatnya.






Gue gak pernah ngerti kenapa orang-orang ingin sekali ke Tanah Suci, sampai gue datang sendiri ke tempat ini. Dan, Gue jatuh cinta.

(Bukan) Gombalan Arab

Di suatu subuh, di kota Jeddah, setelah belasan jam berada di udara, seorang socmed addict udah sakaw ngepet.

“Wifi bandara pada diprotek ih, pan eike pengin check in path”

Gadis itu memperhatikan sekelilingnya, tampak ada pria arab muda berdiri dengan gagahnya di salah satu counter.

“Excuse me, can I have wifi password?”
“Wifi?”
“Yes, wifi.”
“Oh, *&^% take this *&#$%^& as wifi.” Aa Arab menjawab dengan logatnya.

Unnggggg…. Ape? Jadiin wife? Hah? Gombalan pertama di Arab Saudi…

Si Aa Arab nunjukin tablet-nya, “Almaimani”


Ooh, jetlag membuat pendengaranku agak-agak kacau rupanya.. Si Aa Wifi pun memberikan password wifi dan membiarkanku ngepet sepuasnya…