Selasa, 28 Agustus 2012

adiaŭa

Seperti hujan yang pamit dalam rintik-rintik laun
hatiku mengundurkan diri dari pertarungan ini

Kata hati ku lukiskan dalam selengkungan bianglala beraneka warna
yang berujung pada horizon

Tak peduli betapa gelapnya perjalanan kita
kamu telah memberikan warna-warni dalam hidupku

Kutitipkan kamu pada-Nya
Kugantungkan kebahagiaanmu pada-Nya

Biar nanti kita bertemu lagi
bukan hanya dalam sekadar kesenangan tapi kebahagiaan

Kamis, 09 Agustus 2012

Hingga Ujung Waktu


“Nemuin Arman lagi?”
“Iya Ma, hari ini jadwal dia terapi.”
“Mama doain biar dia cepet sembuh, jadi kamu ga repot kayak gini lagi?”
“Ma.. please..”
“Loh, bener kan. Emangnya mau sampai kapan kamu ngurusin dia? Inget Sas, kamu bentar lagi tunangan sama Edo.”
Lagi Sasti menghela napas. “Aku berangkat ya Ma.”

**

Sepulang merayakan pomosi jabatan bersama teman-temannya, Edo sang kekasih sudah menawarkan untuk menjemputnya tapi Sasti lebih memilih menyetir jazznya sendiri. Jalanan yang lenggang karena saat itu sudah menunjukkan pukul 23.40 WIB. Sasti memacu kendaraanya dengan kencang. Badannya sudah letih, matanya sudah cukup berat. Hanya kasur dan guling yang ada di pikirannya. Untung besok hari Sabtu dan tidak ada klien yang harus ditemui jadi dia bisa tidur sepuasnya.

Dari jauh Sasti melihat lampu lalu lintas sudah berwarna kuning, Sasti menginjak pedal gasnya. Sayang sekali rupanya lampu merah lebih dahulu menyala sebelum Sasti tiba di perempatan. Melihat jalanan yang sepi tanpa pikir panjang ia menginjak lagi gasnya. Dari arah kiri sebuah motor melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Tabrakan tidak bisa dihindari. Mobil Sasti menabrak motor itu dan membuat pengendaranya terpelanting sekitar lima meter sebelum akhirnya motornya ikut terbang dan jatuh tepat di tubuhnya.

*
Mama dan Papa berada di samping Sasti ketika ia sadar setelah tiba di Rumah Sakit. Tidak ada luka berarti selain sedikit memar di tangannya.

“Ma, tadi Sasti…” kalimatnya terhenti, badannya baru terasa sakit.
“Iya sayang, tadi kamu tabrakan.”
“Iya Sasti inget. Ama motor bukan? Trus dia gimana?”
“Lagi ditanganin dokter. Udah jangan dipikirin, semua pasti baik-baik aja.”

Tidak berapa lama Edo tiba. Sasti meraung dipelukannya. Menyesal tidak menuruti tawaran Edo untuk menjemputnya.

**
“Sore Tante, Armannya udah siap?”
“Belum Sas, biasa masih di kamar. Tante gak bisa ngebujuknya.”
“Biar Sasti coba ya.”
Marini, Ibunya Arman mempersilakan Sasti masuk ke kamar Arman. Tampak Arman masih terbaring di sudut ranjang. Perlahan dia mengganti posisinya, menghadap tembok. Membelakangi Sasti.

“Assalamualaikum, Arman.”
“Waalaikum salam.” Jawabnya masih memunggungi Sasti.
“Kok masih tiduran sih, ayo bangun kan sekarang jadwal ke dokter.”
Pria yang dipanggil tidak juga bergeming. Sasti perlahan mendekat, diusapnya bahu Arman.
“Man, udah sore nih. Nanti keburu penuh pasiennya.”
Arman menepis tangan Sasti.

“Arman. Jangan gitu dong. Sasti udah repot-repot kesini jemput kamu kok malah gitu sih.” Seru Ibunya.
“Pergi kamu.” Kata Arman melirik Sasti.

**
Duniaku hancur. Karierku hancur. Hidupku hancur. Perempuan itu telah mengambil semuanya. Merenggut semua harapan dan cita-citaku.
Perempuan bodoh yang doyan minum dan suka melanggar lalu lintas. Sialan!
Mana ada pengacara yang kakinya lumpuh seperti aku.

**

Sasti memainkan bola basket yang tergeletak di samping sofa. Marini tersenyum menghampiri sambil membawakan secangkir teh hangat.
“Bolanya udah kempes. Gak pernah dipake lagi sama Arman. Aku udah ngehancurin hidupnya Arman ya Tante.”
“Sasti, jangan ngomong kaya gitu. Semua udah ada jalannya. Sasti, Tante dan semua orang udah berbuat yang terbaik untuk Arman. Sekarang kita tinggal menyerahkannya kepada Allah.”

Sasti tertunduk, untuk kesekian ribu kali air matanya mengalir. Sudah tujuh bulan semenjak kecelakaan itu. Arman terluka parah terutama di bagian kaki dan tangannya. Bahkan dokter menyarankan agar mengamputasi kaki kanannya. Banyak saraf dan otot yang hancur di area betis kanannya. Arman bergeming, dia tak ingin kehilangan kakinya.. Dokter sudah memperingatkan bahwa terapi dan obat-obatan memang sedikit membantu tapi tidak akan menyembuhkan kakinya seperti sedia kala.

**
“Di mana Sayang?”
“Aku di Rumah Sakit, jadwal terapinya Arman, Sayang.”
“Arman lagi Arman lagi. Denger ya Sas, udah berapa kali sih aku bilang,  aku udah muak liat kamu terus-terusan merhatiin cowok lain dibanding aku!”
“Do, jangan gitu dong. Kamu tau kan Arman kayak gini karena aku.. jadi udah sewajarnya aku ngurusin dia sampai sembuh. Lagian sekarang kemajuanya udah pesat kok. Arman udah bisa…”
“Stop Sas! Aku gak mau denger soal Arman lagi. Aku juga udah gak mau denger apa-apa lagi dari kamu. Sekarang silakan kamu urus aja cowok itu.”
“Maksud kamu apa Do?”
“Putus. Kita putus Sas, sekarang kamu bebas merhatiin dia.”
“Do..”

**
“Ihhh itu sih bukan huruf S, itu sih Z tau!”
“Hahahahaa kebalik ya, oh harusnya dimulai dari titik ini.”
“Iya, ditarik ke kiri, nah gitu.”
“Kamu jangan cuma gini-gitu-gini-gitu. Ikut nulis juga dong.”
“Iyaaaa…. Siniin bolpennya.”

Marini tersenyum dari balik pintu kamar. Sudah sebulan ini sikap Arman mencair. Usaha Sasti tidak sia-sia, dia mau pergi terapi. Seminggu tiga kali, bahkan Sasti harus izin dari kantornya agar bisa pulang lebih cepat dan bisa menjemput Arman. Sikapnya terhadap Sasti juga melunak, bahkan kini mereka sedang belajar menulis menggunakan tangan kiri.
Kondisi tangan Arman memang tidak separah kakinya. Tapi akibat tertimpa badan CBR berwarna hitam itu, pergelangannya sedikit retak. Masih harus digips hingga beberapa minggu ke depan.

**
“Ma, aku sayang sama Arman.”
“Sayang sama kasihan itu beda tipis Sas.”
“Gak Ma, ini bukan kasihan. Ini memang sayang. Aku sayang dia selayaknya seorang wanita terhadap seorang pria.”
Mamanya hanya menggeleng pelan. “Sekarang gimana keadaannya?”
“Alhamdulillah, sesekali udah bisa pakai kruk. Cuma karena tangannya juga masih sakit jadi sekarang masih pakai kursi roda.”
“Kalo kesana, salamin buat Arman dan Ibunya ya. Bilang maaf karena Mama gak pernah jenguk lagi.”
Sasti tersenyum senang.

**
Arman meringis, kakinya kembali sakit. Sasti dan Ibunya segera membawa Arman ke Rumah Sakit.

“Bu, obat-obatan ini cuma membantu meringankan sakitnya. Arman harus dioperasi lagi.”
“Gak dok, saya gak mau diamputasi. Saya akan sembuh tanpa harus kehilangan kaki saya!”

**
“Tante, nanti kita ijin jalan ke luar ya.”
“Apa? Arman mau pergi ke luar?”
“Iya Tante, kemaren Arman telepon, ada undangan makan-makan gitu sama teman-teman kuliahnya dulu.”
“Trus dia mau?”
“Iya, Alamdulillah sekarang Arman udah mau melihat dunia luar.”
“Berkat kamu Sas, semuanya karena kamu. Kegigihan kamu. Makasih ya sayang.”
“Bukan cuma aku Tante, Tante juga berperan sangat besar. Juga Arthur.”
“Iya nih, ngomong-ngomong Arthur kok minggu ini gak pulang ya?”
“Lagi sibuk nyelesein thesisnya kali Tan.”
“Gak tau tuh katanya tinggal revisi akhir tapi kok masih sibuk terus.”
“Wah berarti bentar lagi jadi dong bikin firma hukum. Arman and Brother apa Arthur and Brother? Atau the Brother namanya?”
“Lah kok jadi kayak nama band. Kamu tuh bisa aja Sas.”
“Hahahahaa iya, trus udah dihubungin pulang apa gak gitu?”
“Tadi sih udah sms tapi belum bales. Padahal kita mau ada syukuran.”
“Syukuran apa Tan?”
“Syukuran kesembuhan Arman. Tante pengen kumpul juga sama keluarga besar. Apalagi sekarang Arman udah mau membuka diri. Gak diem terus di kamar.”
“Iya, dari tadi juga tuh asik duduk di teras belakang, main sama kucingnya.”

**
“Cowok tuh ya kalo dasarnya udah ganteng, mau di kursi roda sekalipun tetep ganteng ya.”
“Iya, Arman emang ganteng dari dulu, mantannya aja ada berapa coba? Gua aja sempet klepek-klepek ama dia.”
“Hihihiii iya ya, agak gemukan dia sekarang. Mungkin karena diem di rumah ya belum kerja. Padahal dulu dia sibuk bener deh. Diajakin ketemu aja susah.”
“Bener, gemukan terus ada jambangnya segala. Messy-messy gimana gitu ya. Duh kalo gak liat ceweknya itu gua mau nyekil lgi deh.”
“Ah lo ada-ada aja. Eh iya, itu katanya cewek yang nabrak dia ya? Trus si Amel ceweknya dulu gimana? Terakhir ama dia kan kita ketemu sebelum kecelakaan.”
“Si Amel udah kemana kali, gak mau nerima Arman setelah kecelakaan. Jodoh emang gak kemana ya, eh ternyata sekarang Arman pacaran ama cewek yang nabrak dia.”

Tiba-tiba ada suara flush dari toilet ujung. Sasti berdehem lalu ke luar dari toilet. Tiga wanita yang sedang bercakap-cakap di depan wastafel segera menutup mulutnya.

“Mampus lo, ceweknya Arman dari tadi ada di situ!”

**
Bendera kuning sudah dipasang Arthur sejak pagi. Sofa dan meja dikeluarkan.. Karpet digelar. Pukul delapan pagi jenazah Arman sudah dimandikan dan dikafani, seluruh keluarga dan kerabat berkumpul bersiap menyolatkannya.

Infeksi telah menjalar ke seluruh saraf kakinya. Perintah dokter untuk mengamputasi kaki Arman memang tidak dihiraukan.

Sasti masih terdiam di ranjang Arman, memeluk sweater yang terakhir dipakai Arman. Subuh tadi dia masih bercakap dengannya. Semalaman mereka berbicara di telepon. Sampai akhirnya Arman menutup telepon setelah menyuruh Sasti menunaikan salat shubuh. Dia membaca berulang kali pesan yang dikirim Arman. Aku mencintaimu. Hingga ujung waktu.

***

Senin, 06 Agustus 2012

Fan Fiction: Lex (Smallville)


Lex: Sepenggal Kisah

“Lex kau harus tenang, ini tak akan menyakitimu..” seru dr. John.
Lex tetap meronta-ronta mencoba melepaskan pengaman jaketnya.
“Sudah suntik saja di mana kau suka dok..! Jangan biarkan dia melepaskan ikatannya” seru Lionel kepada dokter John.
“Tapi akan berbahaya jika menyuntikannya bukan pada bagian yang tepat Mr. Luthor” seru dr. Silver sambil memegang tangan Lex.
“Ini bukan serum sembarangan! Akan fatal akibatnya jika kita salah tempat” dokter John menimpali.
“Jadi kau akan membiarkan dia melepaskan pengamannya? Cepat berikan padaku!” Teriak Lionel seraya mengambil jarum suntik dari tangan dokter Silver.
Dan blesss… Lionel dengan segera menyuntikan serum yang ada di tangannya ke dada kiri Lex.
“No….” Pekik dr. Silver
“Aaaaa….” Lex berteriak kesakitan.
“Kkkaauu sengaja kan Yah….menyuntikan serum itu ke jantungku…?” erang Lex.
“Aku tak punya pilihan lain anakku..”
Seketika kesadaran lex hilang. Kini pikiran alam bawah sadarnya yang menguasai.


Lex berada di sebuah taman, duduk di bangku tepat di depan danau buatan di sisi kota Smallville. Anak-anak kecil sedang berlarian saling mengejar,
Dee..tunggu..”
“Ayo Bee cepetan larinya..”
Di sampingnya dr. Keane seorang psikiater terbaik dari Belle Reeve yang sengaja ditugasi untuk membantu penyembuhan Lex.
“Apakah tugasmu menemani orang gila dokter Keane?” tanya Lex.
“Secara job desk sih gitu lex..” jawab dr. Keane datar.
“Apakah aku termasuk orang gila itu dok?” tanyanya lagi.
“Ya…secara prosedur sih gitu lex..” jawabnya lagi tetep datar.
“Iya juga ya, masa aku yang dokter dan kamu yang gilanya…” goda lex.
“Secara logika sih emang gitu lex…”jawabnya lagi masih datar.


“Dok, secara ya..aku ini dianggap gila dan kamu adalah dokternya, kenapa dari tadi aku yang bertanya, bukan dokter? Bukankah secara prosedur harusnya aku yang ditanyai oleh dokter, dokter menggali isi hati dan pikiranku, bukan aku yang nanya dokter te
rus…” seru Lex kesal.
“Hahahaa…baguskan caraku menggali isi hati dan pikiranmu lex…kamu jadi kepancing kaann? Secara gitu loh Keane…”ujar dr. Keane bangga.
Lex hanya berkerut seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil membuang muka.
“Ya ampun gitu aja marah Lex…Okay tadi aku cuma ngetes aja, apa kamu bener introvert dan anti social seperti yang Lionel katakan.”
“daaannn??”
“Ah menurutku sih gak juga, buktinya kamu udah berani goda-goda aku, sayang ya secara status kamu tuh orang gila, padahal kalo diliat-liat kamu lumayan juga..putih, kurus, pribadinya juga oke” ujar dr. Keane sambil tersenyum matre.
“Maksud lo?”
Dokter Keane dan Lex terdiam untuk sesaat dan tertawa kemudian.
“Hahahaaa..secarra secarra melulu.. kamu tau dok kalo aku jarang tertawa? Bahkan anak-anak Smallville dulu sampe taruhan untuk siapa yang bisa foto aku sambil tertawa..”
“Masa?”
“Yaaa…begitulah…kebetulan aku tinggal di Mansion yang gak jauh dari perkampungan Smallville, sebenernya aku gak punya banyak temen. Waktu aku kecil aku banyak ngabisin waktu untuk baca buku dan main anggar, kadang ikut les piano..”


Sesaat Lex berhenti dan mengambil kopinya. Sambil mengingat pengalaman masa kecilnya.
 


“Waktu itu aku baru selesai les piano, ayahku lupa menyuruh sopir untuk menjemputku. Sebenarnya aku senang karena aku jadi bisa jalan kaki sambil melihat anak-anak di sekitar Smallville bermain. Tiba-tiba hujan turun aku dan Sean temanku lari mencari tempat berteduh. Setelah berlari sekitar 1 blok, aku memutuskan berteduh di depan pintu sebuah toko coklat yang sudah tutup. Tak berapa lama ketika kami sedang berdiri di sana, pintu toko terbuka dan keluar seorang wanita paruh baya.


“Apa yang kalian lakukan?” tanyanya.
“Kami sedang berteduh, bolehkan?” jawab Sean.
“Tapi kenapa kalian berteduh di depan sini?” tanyanya lagi.
“Ya masa kita berteduh di bawah pohon bambu itu..kan serem..” jawab Sean lagi.
“maksudku, Kkenapa kalian tidak memijit bel ini, ayo masuk nanti kalian masuk angin!” serunya.


Ternyata tempat itu adalah sebuah ruko, bagian bawah dipakai sebagai toko dan lantai atas merupakan rumah yang ditinggali oleh keluarga ini.
“Kamu bukannya putra Lionel Luthor?” Tanya wanita itu.
Lex hanya mengangguk.
“Aku Laura Lang suamiku Lewis Lang bekerja di Luthor Corp. Dan ini Lana.” sambungnya lagi.


“Lana?” Tanya Lex lagi.
Tiba-tiba seorang gadis cantik bermata indah keluar dari pintu kamar. Rambutnya hitam sebahu. Matanya abu kecoklatan dengan senyuman yang sangat manis.
“Lana..” gadis itu mengulurkan tangannya ke arah Lex.
“Lex”
“Sean”
“Kalian mau aku buatkan coklat hangat?” tanyanya halus.
Sean mengangguk. Lex hanya terpaku melihat Lana.
Belum sempat Lex puas menatap Lana, Sean sudah menghabiskan coklat hangatnya, ponsel Lex bergetar. Ayahnya baru inget kalo dia lupa untuk menyuruh sopir menjemput Lex. Setelah menyebutkan alamat ruko itu, tidak lama Porsche Lionel sudah sampai untuk menjemputnya. Setelah berpamitan mereka bertiga pulang.


“Aku belum pernah melihat gadis secantik dia” ujar Lex setelah mengantar Sean.
“Siapa Lex? Sean?” tanya Mr Xavi sopirnya, heran.
“Bukan…tapi Lana..ah sudahlah ayo cepat jalan! Kau menyetir seperti nenek-nenek saja!”
“Sorry Lex”


***
Sejak awal perjumpaan dengan Lana. Lex sangat yakin, dengan kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki, dan fakta bahwa Lewis Lane ayah Lana bekerja di Luthor Corp tentu dia akan dapat memiliki Lana dengan mudah.


Tapi ternyata keluarga Lana bukan gadis yang matre dan mudah untuk dipengaruhi. Mr Lane merasa lebih baik kehilangan pekerjaannya daripada menyerahkan Lana kepada keluarga Luthor. Lana pun sudah mencintai Clark sejak kecil. Hingga Lana masuk Met-U dan Clark masuk Kan-U Lex tidak bisa mendapatkan Lana.


Bukan tanpa perlawanan, Lex dapat membuat Keluarga Lang terpaksa untuk menjual ruko dan dia beli untuk kemudian dia jadikan kedai yang sekarang terkenal dengan nama Talon. Lex tidak pernah mendapatkan hati Lana.


Sampai suatu hari Lex bertemu seorang gadis cantik berkaca mata, berlesung pipit dan mampunyai senyum yang sangat menawan. Suaranya lembut dan agak sedikit pemalu. Bukan hanya kecantikan luar yang memukau Lex tapi kepintaran dan hati gadis itu yang dapat mambuat Lex jatuh cinta lagi dan dapat melupakan Lana.


***
“Layla namanya dok.. Dia sangat….ah..aku sangat mencintainya dok..” sambungnya.  “Tak ada lagi yang mampu menggantikan dia..” Lex menunduk sedih.
Dokter Keane hanya menganggut. “Wah gak ada kesempatan buat gue dong..” ujarnya dalam hati.
“Apa yang terjadi dengannya?”
Lex hanya terdiam.
“Apa dia juga mencintai orang lain?”
“Tidak, kami saling mencintai….”
“Tapi?”
“Dia meninggal, dia mengidap penyempitan katup jantung. Meninggal setelah pemasangan balloon valvuloplasty. Kami sedang mempersiapkan pernikahan..” Lex semakin menunduk.


“Apa dia yang membuatmu menjadi pasienku?”
“Dok… apa menurutmu aku ini gila? Aku rasa aku hanya sedikit putus asa. Apa karena aku sempat tinggal di jalanan, berjalan tidak tahu arah, aku disebut gila?”
“Kau tau dok? Ketika Layla meninggal dunia, aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku merasa Tuhan tidak adil. Dia tidak pernah membiarkan aku bersama orang yang kucintai. Ibuku, Lana dan sekarang Layla. Setelah pemakamannya aku berjalan tanpa tujuan. Aku berjalan sampai ayahku sendiri tidak mengetahui keberadaanku. Aku masuk dan keluar dari setiap kota sampai akhirnya sampai di kota kecil bernama Jatinangor, entah di mana itu. Aku baru sadar kalau bajuku sudah kumal, bau badanku tidak sedap, ternyata parfum yang kupakai hanya bertahan beberapa minggu saja. Berat badanku susut, mungkin karena aku jarang makan, aku bahkan tidak ingat terakhir kali aku makan di mana..”
Sesaat Lex membenarkan posisi duduknya.


“Aku mulai tak peduli dengan keadaan sekitar, kadang aku ingin tertawa, kadang aku ingin menangis. Kadang orang yang kebetulan lewat melemparkan beberapa koin ke arahku. Pernah seorang wanita berbaju merah dan membawa tas besar berwarna merah juga melemparkan sekeping koin 50 sen. Mungkin dia anggap aku ini gelandangan, emangnya aku terlihat seperti gelandangan?”


“Aku sedang duduk di pinggir sawah ketika anak buah ayahku menemukanku. Mereka menyeretku ke dalam mobil, beberapa orang menyaksikan kejadian itu, sebagian jijik, sebagian tertawa dan sebagian tak peduli.”
“Seorang pria menyuntikan sesuatu ke dalam tubuhku, dan aku baru tersadar ketika sudah sampai di Belle Reeve.”
Sejenak Lex membuang pandangannya ke arah dua gadis cilik yang masih bermain.
“Apa yang sekarang kau inginkan Lex?” tanya dokter Keane.
“Menyusulnya, dia bilang dia akan selalu setia kepadaku dan akan selalu mencintaiku. Dia wanita yang sangat tulus.”


***
“Lex sadarlah lex…!”seru dr. Silver.
“Kita harus mengejutkannya!” jawab dr. John tak kalah kencang.
Semua peralatan kedokteran tercanggih digunakan untuk menyadarkan Lex..


***
Pada hari pemakamannya, tidak banyak orang yang diizinkan hadir. Hanya ada Lionel yang tertunduk menyesali perbuatannya dan baru sadar bahwa dia tidak memiliki siapapun lagi di dunia.

Minggu, 05 Agustus 2012

Cinta Segitiga


Tuhan, aku serahkan jalanku kepada-Mu. Biarkan serakan hati ini menyublim menjadi zat yang lebih kuat. Apa yang kau beri, apapun akan kuterima. Ku yakin, Kau punya rencana besar untukku.



Aku tak pernah berpikir bagaimana nanti aku bertemu dengan jodohku. Tidak, kejadian ditabrak mobil mewah ketika nyebrang di jalanan sepi oleh pria cakep-muda-single-galak-tapi-lama-lama-sayang-dan-posesif atau nyasar di desa lalu naik delman yang dikusiri pemuda tampan-bersih-pinter-lucu-yang-ternyata-anak-bangsawan-tapi-lagi-nyamar-jadi-orang-miskin-untuk-dapetin-gadis-tidak-matre seperti di FTV tidak pernah terlintas di benakku. Akupun tak pernah mengkondisikan. Tidak seperti salah seorang sahabatku yang sengaja cabut ke Bali agar siapa tahu bisa ketemu Bli yang menyelamatkannya saat belajar surfing lalu mereka.. ah sudahlah tidak usah dibahas. Hehehe.


Sore itu aku terpaksa berjalan kaki menyusuri jalanan berbatu miring-miring di sisi kiri Jalan Cihampelas. Tak kuasa rasanya lidah ini menamakan trotoar. Baru saja aku meraih tiang spanduk karena hampir terpeleset, suara klakson  motor meneriaki karena kakiku hampir menyenggol bannya. Apa? Kakiku yang hampir menyenggol bannya? Entahlah, kalimatku meluncur tak keruan, sekacau lalu lintas sore itu, seruwet pikiranku hari itu.


Aku terpaksa turun dari angkot karena jalanan macet total, aku harus ke Ciwalk membeli sekotak donat pesanan Ibu yang akan segera diberikan kepada menantu kesayangannya yang sedang ngidam. Untuk sekadar info, titah Ibu setara dengan titah Presiden. Harus segera dilaksanakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Maka, aku yang sedang berleha-leha di kost temanku di sekitaran Cisitu lalu segera beranjak. Berhubung motor sedang diservis, jadi aku harus rela ngetem hampir sejam di angkot yang sedang kutumpangi. Dan menghadapi macet di Cihampelas yang sudah menjadi pemandangan sehari-hari, tak kuasa aku harus segera turun dan berjibaku di antara lautan kendaraan. Oke, ini lebay. Tapi biarkanlah drama queen yang satu ini bebas menyuarakan kekesalannya.


Salahku sendiri sih lupa mengganti oli, jadi tadi pagi kuserahkan motor kesayanganku itu kepada montir-montir di bengkel langganan. Runtutan audit internal, eksternal, mengurus ISO membuatku kewalahan berbulan-bulan ini. Jangankan untuk merawat motor, merawat diri sendiripun sudah tak sempat.


Potongan rambut yang sudah tak keruan membuatku harus mencepolnya setiap hari. Kuikat sekenanya, yang penting tidak terlalu awut-awutan. Beberapa teman mengomentari penampilanku sebagai apresiasi patah hati setelah ditinggal menikah oleh kekasih hati. Ya begitulah, awal tahun ini pacarku, maaf, mantan pacarku menikah dengan wanita lain. Saat itu kami baru putus sekitar tiga bulan. Entah dewa move on mana yang membuatnya secepat itu bisa memutuskan segera menikah, sementara aku masih dalam suasana kalut dengan asa kembali padanya.


Sudah berpacaran selama dua tahun tentu saja bukan hal mudah bagiku untuk berpisah dengannya. Bahkan aku sudah berkhayal akan menikah dengannya akhir tahun ini. Aaakkkkk…. Tidak adil sungguh! Air mataku bisa langsung mengalir deras jika ingat hal ini. Maka pekerjaanlah yang menjadi pelarianku. Semua audit dan ISO kulahap dengan rakus. Ada beberapa yang mencibir kalau aku sedang mengincar posisi di samping general manager. Peduli setan, terserah mereka bilang apa, aku hanya ingin mengenyampingkan sakit di hati ini.


Lalu disinilah aku sekarang, bermuram durja dengan sekotak donat di lengan kanan. Ibu baru saja menelepon kalau donat pesanannya sudah dibelikan abangku. Kakiku tadi hampir terkilir ketika harus berjalan dari SMA 2 sampai sini. Ditambah beberapa kali tersenggol motor yang pengemudinya tak dianugerahi kesabaran.


“Ra, Rara!”
Seseorang memanggilku. Saat kutoleh, ternyata ada Lisa teman SMP dulu. Di sampingnya seorang pria tampan berkemeja coklat dengan kacamata frameless. Cobaan apalagi Tuhan, di saat keadaanku kacau begini aku dipertemukan dengan sepasang manusia yang begitu sempurna. Lisa adalah sahabatku yang paling cantik. Semenjak bangku SMP dia sudah menjajal dunia modelling. Dan sekarang nampaknya berpacaran dengan pria super tampan yang pernah kutemui. Oke, ini lebay. Pria ini sebenarnya termasuk pria dengan standar ketampanan normal, tinggi sekitar seratus tujuh puluh lebih dikit, berkulit coklat, berhidung mancung, alis tebal dan mata coklat yang berbingkai kacamata. Dan satu lagi, dia looks totally straight. Ngerti kan?


“Hei Lis, apa kabar? Makin cantik aja deh.” Kataku tulus. Dia memang makin memesona. Badannya ramping, kulitnya mulus, rambutnya hitam tergerai dengan sedikit wave di bagian bawahnya. Olesan make up tersapu tipis, tapi tetap stunning.
“Bisa aja  si neng.” Katanya tersenyum ramah. “Sendirian?” lanjutnya. Eerghh kenapa pertanyaan basa basi kedua tertinggi versi wanita cantik ini-dan-mungkin-hampir-seratus-juta-rakyat-indonesia adalah Sendirian atau Ama siapa?!
“Iya, disuruh Ibu beli ini.” Jawabku sambil memperlihatkan keresek donat.
“Duh emang anak baik lu yaa, apa kabar Ibu? Sehat? “
“Alhamdulillah sehat Lis.”
“Oiya, kenalin nih Bayu.”
Pria yang dipanggil Bayu menyodorkan tangannya, senyum tipis dilemparkan kepadaku. Oh tidak, kenapa paham tanaman tetangga indah rupawan muncul lagi di benakku. Seketika adrenalinku memuncak, aliran darah terpompa lebih kencang dan sepertinya agak tersendat di otakku. Tak ada oksigen yang dapat kuhirup. Tatapan pria itu seperti menghunus jantungku. Tidak, kenapa aku selalu tertarik pada pacar orang?!


Sedikit kubocorkan ya, entah kenapa pria yang sudah punya pacar selalu mendapat perhatian lebih dariku. Mereka seperti mempunyai magnet lebih yang bisa menarik pikiranku dan lalu menyumbat otakku. Begitulah, lalu aku akan jatuh cinta pada mereka. Berkali-kali aku terjebak dalam cinta segitiga. Kadang aku mengutuki diri sendiri mengapa selalu ingin bersama pacar orang lain. Tapi aku tak pernah jatuh cinta pada kekasih temanku. Harap dicatat baik-baik. Sammy, mantan pacar terakhirku, itu loh yang baru tiga bulan putus dariku lalu menikah dengan perempuan lain, itupun dulunya pacar orang lain. Maksudnya, ketika pertama kali bertemu sampai PDKT dia masih berstatus pacar orang. Ketika dia meninggalkanku aku merasa itu karma terbaik yang kudapat. Dan kini, hati dungu ini kembali merasa klepek-klepek melihat pacar orang, pacar temanku sendiri. Tidak!!


Setelah melanjutkan basa-basi, Lisa pamit pulang. Diciumnya kedua pipiku dan tak lupa menyampaikan salam untuk ibuku.
“Eh Ra ampe lupa, minta pin bb dong.”
“Oh, nih invite gua.” Kataku seraya menyebutkan delapan digit kombinasi angka dan huruf.

**
PING!
Raraaaa…
Iya Lis…. Kenapose?
Aku kasi pin bb kamu yahhh
Ke siapa?
Bayu… masi inget ga?


DEG. Bayu, ya masi inget lah! Pria yang seminggu ini ada di benakku. Mengisi otakku di sela tumpukan pekerjaan. Senyumnya terpatri setiap aku hendak memejamkan mata. Acap kali membuatku merona sampai kemudian senyum Lisa ikut melompat-lompat di antaranya. Menghancurkan semuanya. Ummm bukan gitu maksudku sih, aku gak bermaksud jahat pada Lisa, makanya pemikiran tentang si Bayu ini berat-berat kuusir sejauh mungkin. Ya tapi apa mau dikata, makin kuat kudorong, makin kokoh dia bertengger di pikiranku.


Oiya, masi inget. Ngapain pacar kamu minta pin aku?
Pacar?
?
Huahuahahahahhaaaa =)) kamu ngira Bayu pacar aku??
?
Hahahahahahahhahaa =))
Lisa…..
Sorry.. sorry.. Gak kok, Bayu bukan pacarku. Dia sahabat aku waktu kuliah…
Ohh… kirain hehe                                                                                                                    
Jadi gimana nih, boleh kan aku kasi pin kamu?
Hehehe
Apa lu hehe hehe?? Suka juga yaaaaa…..
Paan sik Lis!
Jie jie….


Tring. Tak lama blackberryku bunyi. Notifikasi ajakan berteman, di situ tertera nama Bayu Rahmadi. Setengah mati aku mencoba untuk bernapas normal. Tubuhku mengigil. Entah sudah berapa lama tubuhku tidak senorak ini. Dengan bibir tergigit kutekan accept. Jantungku berdegup kencang. Entah apa yang harus kulakukan. Tidak, aku tidak akan memulai percakapan duluan. Biar dia saja yang duluan, toh dia juga yang meminta pin bb-ku bukan? Jawab iya saja ya sodara-sodara!


Bersamanya aku seperti menemukan Rara yang dulu. Ceria, bersemangat, ramah pokoknya semua hal-hal positif dariku yang dulu sempat lenyap terbawa patah hati mendalam setelah ditinggal Sammy. Dulu kupikir dunia akan berhenti berputar setelah dicampakkan Sammy, tapi rupanya jalan hidup tak berakhir setragis itu.


Bisakah aku singgah di hatimu
Berharap sebentuk tempat yang tulus
Sesuatu yang kupercaya ada tersimpan di sana


Hampir setahun dekat dengannya, kami lalu berpacaran. Tak mudah bagiku untuk menerima seorang pria lagi dalam hidupku. Dia pria yang sungguh menyenangkan. Berada di dekatnya aku merasa aman tanpa kehilangan rasa nyaman. Keseriusannya akan hubungan kami sudah ditunjukannya sedari awal. Ia menemui orang tuaku, abangku, juga membawaku menemui keluarganya. Dia adalah pria terbaik yang pernah kutemui. Dia selalu mengingatkanku salat, dia rajin berpuasa. Ahhh tidakkah kalian setuju kalau dia memang dikirim Tuhan untuk membawaku ke jalan kebenaran? Iya iya, jatuh cinta sering membuat orang jadi lebay bukan? Atau hanya aku saja yang begitu. Terserahlah, yang pasti hidupku jauh lebih baik setelah bersamanya.


Kami selalu terbahak setiap mengingat awal pertemuan. Aku menyangka kalau dia pacar Lisa. Padahal saat itu Bayu sedang menemani Lisa mencarikan kado untuk Ramon kekasih Lisa yang juga sahabat Bayu.


Aku selalu menyelipkan namanya dalam setiap percakapanku dengan Tuhan. Bagaimana tidak, setelah kebandelanku selama ini Tuhan denganmurah hatinya memberiku sosok Bayu. Pria yang membuatku tak hanya jatuh cinta padanya, tapi juga pada Tuhan. Dia selalu mengingatkanku bahwa semua ini memang rencana Yang Maha Kuasa.


Pertemuan kami bukanlah suatu kebetulan. Mulai dari patah hatiku, lalu aku tenggelam dalam rentetan audit dan tektek bengek pekerjaan yang membuatku lupa menyervis motor, maka ketika Ibu menyuruhku membeli donat, aku harus susah payah menuju ciwalk. Waktu pertemuan kami sudah diatur oleh-Nya. Coba kita runut lagi, kalo misalnya Sammy tidak cepat move on dan malah kembali denganku tentu aku tidak akan bersama Bayu saat ini. –Yaiyalah-. Lalu aku juga tidak akan bekerja sekeras itu untuk mengalihkan sakit hatiku. Dan mungkin aku takkan lupa untuk menyervis motorku, jadi kalaupun aku disuruh Ibu ke Ciwalk, aku tidak akan terjebak macet. Dan aku akan lebih cepat sampai. Dan  aku takkan bertemu Lisa dan Pria di hadapanku ini.


**
Terlalu lama aku harus terdiam
Atau mungkin ku tak percaya sungguh
Akan kesempatan dan kemungkinan yang akan terjadi nanti
Karena ku yakin ada pintu yang terbuka
Di antara hatiku dan hatimu


It’s been years since we’ve met
And days had gone by
Now it’s time to make up my mind
And I hope that we can make it to the end


Bila firasat ini memang benar memilikimu adalah maksud
Dari sebuah rencana besar merubah hidupku


Jikalau aku harus berhitung benar
Akan kemungkinan yang bisa ada
Bila ku bisa memilikimu bahagialah aku


Bayu menyematkan cincin emas putih ke jari manisku. Setelahnya, giliranku. Bayu mencium lembut keningku kubalas dengan kecupan hangat di punggung kanannya. Seisi ruangan tersenyum bahagia, air mata yang menetes dari kedua orang tua kami sebagai tanda jatuhnya restu dari mereka. Seorang sahabat yang kupinta menjadi fotografer  meminta kami menunjukkan buku akta nikah ke arah kamera.


Ahh, betapa Tuhan mempunyai rencana besar yang sempurna. Dia menuntunku lagi-lagi  dalam cinta segitiga. Kali ini antara Aku, Bayu dan Tuhan.




Btw kalian tahu gak kalau aku dipromosikan menjadi vice general manager? Hahahahahahahaa =))

~Terinspirasi dari lagu Rencana Besar milik Padi