Kamis, 29 November 2012

Sandaran Terakhir


Kalaupun aku sudah tak bisa memelukmu lagi, berbalik dan berdirilah di sisi pintu ini. Biarkan aku bersandar di pintunya. Dan aku akan bersikap seolah sedang menyandarkan kepalaku di punggungmu.

*
“Menurut kamu bagus yang mana?” tanyaku sambil menyerahkan contoh undangan pernikahan.
“Pilih aja sesuai selera kamu, Dek.”
“Iya, aku bingung ini bagus semua.” 
“Coba minta pendapat Rendra.”
“Justru Rendra yang nyuruh aku milih ini. Jadi yang mana?”

“Dek, aku gak berhak nentuin surat undangan pernikahan kamu.” katamu.
“Aku kan cuma minta pendapat kamu aja.” jawabku.

“Dek, tolong. Jangan libatkan aku di sini.”
“Tapi..”

“Ini pernikahan kamu dan Rendra. Aku gak bisa ikut campur.”
“Aku kan cuma minta pendapat.” sahutku,  “sebagai teman..”

“Kalau kita gak pernah pacaran lebih dari tiga tahun, gak pernah sampai merencanakan penikahan impian, gak pernah buang tiket bulan madu yang gak jadi, mungkin aku bisa bantu.”
“Tapi kita udah sepakat untuk berteman lagi kan. Buktinya hubungan kita masih baik-baik aja. Aku bisa share apapun sama kamu.. Aku..”

“Kita harus move on Dek.”
“Bukannya kita udah move on? Ini, Aku mau nikah sama cowok lain.”

Move on macam apa yang kamu maksud?” tanyamu.

“Kita masih satu bagian di perusahaan ini. Masih bisa kerja sama di tiap proyek. Kamu bisa cerita apapun sama aku, aku juga. Kamu masih bisa ketawa sama aku, aku masih curhat dan nangis di depan kamu.. Kita..”

“Dan nyembunyiin semua sakit di sini?” katamu sambil menunjuk jantung.

“Itu bagian dari move on kan?”

“Kita harus berhenti pura-pura bahwa semuanya baik-baik aja Dek.”

“Tapi..”

“Kita harus benar-benar saling melepaskan.”


Air mataku berderai, memelas agar kamu bisa luluh lalu memelukku seperti biasa. Kamu bergeming. Menggeleng lalu membiarkan hatiku hancur tak bersisa, “Sudah cukup Dek.” Pelan dan begitu menyayat hati. Lalu kamu melangkah ke luar.

“Tunggu, berhenti di situ.” kataku terisak, “tolong berdiri aja di sisi pintu ini. Sebentar.”

Aku merapatkan diri ke sisi pintu, menempelkan kepalaku. Bersikap seolah sedang bersandar di punggungmu.

Dingin dan begitu menyakitkan.

Selasa, 27 November 2012

Tak Jago Menunggu


Dan aku tak mengerti
Mengapa air mata yang mengalir tanpa henti
Tak mampu menghapus sakit ini

Mengapa gelapnya malam
Tak lebih kelam dari asa yang begitu muram
Ini jantung yang sempat kau hujam
Mengapa luka yang kau toreh begitu dalam?

Aku menyerah
Agar tak usah  lagi ada terserah penuh amarah

Aku berhenti berjuang
Bukan karena sudah tak sayang
Para cupid mabuk bersenang-senang
Gemar melesatkan panah sembarang

Habis dayaku mengertii kamu
Keraguanmu menyadarkanku
Aku tak punya banyak waktu
Aku tak mau denganmu

Carilah perempuan lain yang lebih jago soal menunggu