Selasa, 31 Juli 2012

Itu Aku

Sepulang kantor aku buru-buru ke salon, cuci blow dan sedikit merapikan potongan poni. Kemeja bagian punggung sudah basah kena keringat setelah seharian aku bolak balik kantor pusat-cabang mengurusi masalah ISO. Sepertinya aku akan mampir ke mall sebentar. Malam ini aku akan bertemu dia. 


Setelah membuatku kesal karena dua minggu yang lalu dia tiba-tiba menunda kepulangannya, ternyata hanya cukup satu kalimat langsung membuat luluh hatiku.

"Gw udah nyampe, ntar malem ngopi2 lucu yuks :)"

Ya, tiba-tiba saja dia bbm aku dan bilang kalo dia sudah ada di kota ini. Tak perlu lama tanda R menunggu segera kujawab. 

"Sippo"
"Dimana?"
"Jam berapa?"

Aku harus menunggu tak kurang dari dua puluh menit hingga R itu dibalasnya.

"Ntar dikabarin"

";)"

**

Sebelum turun mobil kurapikan lagi rambutku, parfum blueberry kusemprotkan lagi untuk kesekian kalinya. Entah kenapa sepertinya tidak tercium sama sekali olehku. Mungkin benar yang dikata orang, semakin sering memakai sebuah aroma parfum maka tingkat kepekaan pemakainya akan berkurang. Dosis pemakaian akan terus meningkat karena si pemakai merasa belum mencium aromanya.

"Yaang...!"

"Baraaa...!"

Kami berpelukan. "Aku kangen..." Kataku manja.

Dia mengucek rambutku. 

"Ihh rambut baru ini, aku baru dari salon!" Kataku manyun. Siapa tau dia mau menyamber bibirku. Ha!

Dia mencubit gemas dua pipiku. "Makin embem aja! Seneng ya kamu?"

Seneng? Tersiksa merindu kamu, kamu bilang aku seneng? Seneng apanyaaaa??
Dan tentu saja aku hanya membalas dengan senyum.

"Apa kabar kamu?"

"Great!"

"Bagus dong... Trus dalam rangka apa kamu balik kemari?"

"Nemuin wanita yang gua cintai."

Pipiku merona. 

**
"Perjalanan lebih dari dua belas jam, empat ratus tiga puluh enam kilometer. Jadi siapa dia?"

"Anak sini juga. Lo kenal kok."

"Iya, siapaaa?"

"Eh kok tau Bandung-Jogja 436 km?"

"Ummm..."

Obrolan hangat mengalir seperti dahulu. Dua sahabat yang saling mengisi. Bercerita tentang segala macam yang terjadi. Hal-hal konyol, tragis, memilukan semua terbungkus dalam gelak tawa sepanjang malam. Kalau tak ingat besok pagi ada meeting, aku pasti enggan untuk masuk ke mobil dan mengakhiri malam dengannya.


"Yakin mau nyetir sendiri? Biar nanti gua baliknya naek taksi."

"Gak usah, deket ini.."

"Ok, see you!"

"Good luck ya!"

"Mayang, makasih ya. Lo selalu ada buat gua."

***
Kulaju mobil dengan perasaan hampa. Terdengar suara Duta dari radio.

Ribuan hari aku menunggumu
Jutaan lagu tercipta untukmu
Apakah kau akan terus begini
Masih adakah celah di hatimu
Yang masih bisa ku 'tuk singgahi
Cobalah aku kapan engkau mau

Taukah lagu yang kau suka
Taukah bintang yang kau sapa
Taukah rumah yang kau tuju
Itu Aku...

Coba keluar di malam badai
Nyanyikan lagu yang kau suka
Maka kesejukan yang kau rasa
Coba keluar di terik siang
Ingatlah bintang yang kau sapa
Maka kehangatan yang kau rasa

Taukah lagu yang kau suka
Taukah bintang yang kau sapa
Taukah rumah yang kau tuju
Itu Aku...

Percayalah itu aku...


Bara..... Kapan kamu sadar kalau itu aku?

Jumat, 27 Juli 2012

Langit Tak Mendengar

~Ketika kamu membawa pergi cintaku, detik itu pula nyawa lepas dari ragaku.

*
Nasi uduk dan pecel lele di hadapanku sudah dingin tertiup angin malam. Kucomot kol goreng yang juga tak kalah dingin, melembek penuh minyak.
Hambar.

Sedari siang nasi uduk dan pecel lele sudah kuidamkan untuk santapan malam ini. Ditambah kol goreng dan teh hangat tentu menjadi surga kecil untuk perutku.

Dan entah kenapa, setelah pengamen tadi masuk dan bernyanyi di sampingku, rasanya selera makanku menguap begitu saja.

Pikiranku lalu melayang. Pada hidup yang selama ini kujalani.

Umur enam belas aku keluar dari rumah. Setelah pertengkaran hebat dengan Bapak. Beberapa bulan setelah luntang-lantung, kudengar kabar bahwa Ibu meninggal dunia. Aku datang ke pemakamannya, belum sempat menabur bunga ke pusara Ibu, Bapak sudah mengusirku. Amarahnya belum padam. Bahkan beliau menyalahkanku atas kepergian Ibu.

Tak ada lagi harapan untukku kembali ke rumah.

Aku juga meninggalkan bangku sekolah lalu akhirnya bertemu dengan kawan-kawan baru. Yang mau menerimaku. Aku tinggal bersama dengan mereka di rumah petakan. Jalanan menjadi tempatku mencari uang. Mengamen, membagikan brosur kredit, menjual koran. Oya, yang terakhir itu terhitung sukses. Sukses gagal. Iya, seharian aku berpanas-panasan paling hanya laku 1-2 eksemplar saja.

Mengamen lebih banyak menghasilkan uang, padahal suaraku tak merdu-merdu amat. Mungkin mereka terpesona oleh kecantikanku. Atau hanya sekedar kasihan. Jauh dari rumah, kini aku mulai mengenakan rok mini yang sejak dulu kuidamkan. Mana berani aku dulu emakainya di rumah, terutama di depan Ayah. Teman-temanku pun tak pelit meminjamkan lipstik dan eyeshadow.

Hasil mengamen di siang hari bisa setengahnya harus disetorkan ke Bang To'ink. Pelafalannya harus agak mendengung seperti mengucap 'ain dalam bahasa Arab. Kalau salah, dia bisa ngomel-ngomel. Dia preman di areaku mengamen. Katanya jika tidak setor, kita bisa digebukin. Aku sih belum pernah diapa-apain, karena selalu setor dengan jumlah lumayan. Kadang-kadang dia suka menggodaku sih, malahan suka mencubit pipiku. Aku hanya tersenyum saja menganggap angin lalu.

Kucoba mengamen di atas maghrib, hasilnya lumayan. Di sepanjang tenda-tenda makan di pinggir jalan, menemani mereka yang menyantap makan malam setelah pulang bekerja. Dan yang pasti, tidak ada potongan setengah penghasilan yang harus disetorkan ke Bang To'ink.

Beberapa bulan mengamen di malam hari ternyata aku bisa mengontrak petakan sendiri. Tidak lagi numpang bareng teman-temanku. Setidaknya sekarang aku bisa menikmati ruangan 2x2 meter milikku sendiri, bisa selonjoran sepuasnya, tak perlu mencium parfum menyengat milik Rebecca. Iya, si Rebecca, gak usah nanya nama aslinya siapa. Kamu akan terbahak seperti saat mengetahui nama asli vokalis band yang nama panggungnya berbau Belanda walau mukanya tak ada indo-indonya sedikitpun.

Kehidupan bahagiaku ternyata tak berlangsung lama. Suatu malam ketika selesai mengamen, aku nongkrong bersama teman-temanku. Tiba-tiba ada petugas Kamtib dan mengangkut kami semua tanpa ba bi bu. Sial!

Dua malam berada di panti sosial yang menurutku lebih seperti penjara busuk, aku dikeluarkan dengan jaminan atau sogokan entahlah apa, oleh temanku. Jordy.

Jordy anak rantauan dari Sulawesi. Bapaknya Ambon, Ibunya Manado. Silakan bayangkan pria sipit dengan hidung mancung berkulit putih dan perawakan tegap. Entah kenapa belum ada agensi yang merekrutnya menjadi model atau pemain sinetron hingga saat ini. Padahal ia sudah beberapa kali ikut casting.

Aku berkenalan dengannya di sebuah warung pecel lele. Saat itu aku dan temanku baru selesai mengamen, dia duduk di sebelahku memesan menu yang sama. Pecel lele, nasi uduk dan kol goreng. Karena malam sudah larut, kol goreng di warung itu sudah habis. Jordy yang mendapat jatah terlebih dahulu mau membaginya denganku. Padahal kamu tau sendiri kan, kol goreng di warung pecel lele itu cuma seuprit.

Tapi ya begtulah Jordy, dia mau membaginya denganku. Manusia yang bahkan belum dikenalnya. Sejak saat itu kami beberapa kali bertemu. Bertukar nomor telepon. Seperti cerita FTV ya?! :)

Setelah keluar dari panti sosial, Jordy melarangku mengamen malam-malam. Terlalu riskan dia bilang. Aku menurut saja. Pengalaman digaruk Kamtib seperti itu sungguh membuat trauma. Beberapa hari kemudian Jordy memberikan pekerjaan di sebuah salon milik temannya.

Di salon, sebagai anak baru aku diajari keramas yang baik dan benar. Lalu cara creambath. Beberapa kali Jordy menjadi kelinci percobaanku. Hihihihihi. Setelah lulus uji coba, akhirnya aku diberikan customer beneran. Wah ternyata dia suka dengan pijatanku. Tidak butuh waktu lama aku punya pelanggan tetap. Mereka ketagihan dengan pijatanku yang lembut namun bertenaga.

Memang sejak kecil aku sering memijit almarhum Ibu. Beliau suka sekali kupijit hingga tertidur. Bahkan ketika masuk angin atau pening-pening, Ibu tak butuh obat, cukup dengan pijatan anak sulungnya ini.

Ah waktu, begitu cepat berlalu. Ibu sudah tiada, kini aku seperti sebatangkara.

Hubunganku dengan Jordy makin dekat. Langgananku juga makin banyak. Tak jarang mereka member tip cukup besar sebagai ucapan terimakasihnya.

Setelah casting puluhan kali, akhirnya ia mendapat peran di sebuah FTV. Walau hanya sebagai figuran tapi honornya lumayan. Dan yang pasti membuka celah menuju impiannya selama ini.

Beberapa waktu berlalu, aku makin sayang padanya. Suatu siang aku memasak ikan rica-rica kesukaannya. Aku berniat membawanya ke lokasi syuting. Kotak makan siang kubalut dengan kain bunga-bunga berwarna biru muda, lalu kupitakan di atasnya. Persis seperti di serial korea favorit kami.

Bagai petir di siang bolong, seperti adegan di film hantu murahan, aku melihat Jordy bercumbu dengan pria lain. Dan itu bukan adegan dalam FTVnya. Karena mereka melakukannya di tempat tersembunyi, di kamar make up, tanpa ada lighting dan kamera. Hanya mereka berdua. Cuih!

Kulempar kotak makan siang ke arah mukanya. Jordy berusaha mengejarku. Tapi dia mengurungkan niatnya, tentu saja tak mungkin ia keluar mengejarku tanpa menggunakan celana.

Pertengkaran dilanjut di kontrakanku. Aku menampar wajahnya. Kupukul dadanya. Kudorong hingga menabrak pintu. Jordy melawan sambil memakiku. Bahkan ia mengatakan kalau aku yang sebenarnya berselingkuh. Dengan bosku di salon.

"Kamu yang sialan! Bencong murahan selingkuh dengan Mas Yance!" teriaknya.

Bencong murahan? Baru kali ini dia mengataiku seperti itu. Kutendang dia keluar dari rumah. Tak sudi aku melihatnya lagi. Aku menangis sejadinya.

Tiada lagi orang yang kucintai. Aku sendiri. Tak ada yang mengerti.

Air mataku mengalir, pengamen yang sedari tadi menyanyi mengulurkan bekas bungkus permen yang dijadikan wadah pengumpul pundi. Temannya tetap memetik gitar, mengalunkan lagu yang menyayat hati.

Jadi hidup telah memilih

Menurunkan aku ke bumi

Hari berganti dan berganti

Aku diam tak memahami



Mengapa hidup begitu sepi

Apakah hidup seperti ini


Mengapa kuslalu sendiri

Apakah hidupku tak berarti



Coba bertanya pada manusia

Tak ada jawabnya

Aku bertanya pada langit tua



Langit tak mendengar

Senin, 16 Juli 2012

STUPID MEMORIES ON SOMETHING STUPID BLA BLA

Bisa gak pake parfum ini tanpa inget kenangannya?

Bisa gak makan di sini tanpa inget kenangannya juga?

Beberapa waktu ke belakang saya pernah nulis tentang betapa parfum punya kenangannya tersendiri. Seperti yang pernah saya tulis, walaupun saya bukan kolektor parfum tapi ada beberapa lah yang majang di lemari kaca. Dan setiap aromanya punya kenangan masing-masing.

Kadang saya merasa sayang aja gitu, botol itu masih ada sisa setengahnya atau kurang. Tapi sampai saat ini saya belum sanggup untuk memakainya lagi. Padahal aromanya sungguh saya sukai.

Ya itu tadi, saya belum sanggup menghadapi kenangan yang akan terproyeksi saat saya menghirupnya.

Lebay? Yes. I'm a drama queen remember?

Pun dengan beberapa tempat. Terutama tempat makan. Ada beberapa resto yang masih berat untuk dikunjungi lagi. Selain alasan harga, juga karena kenangannya. Mejanya, menunya, aromanya, suasananya..yang dulu sempat menjadi favorit.

Sempat. Itu kata kuncinya. Mungkin sampai saat ini masih menjadi terfavorit. Tapi ya itu tadi, apa saya sanggup makan di tempat itu dengan hati yang berbeda?

Rempongnya menjadi drama queen. Tsk.

Stupido. Pido.

Kamis, 05 Juli 2012

Flash Fiction: Senja - Apartment


“Awas kalo ngintip!”


“Gimana mau ngintip, ini iketannya kenceng begini juga.”


“Siapa tau lu bisa liat lewat celah-celah di bawah idungnya itu”


“Kalo ada celah, tadi aku ga akan kesandung!”


“Ihh bawel banget sih, udah nurut aja. Sekarang maju, maju lurus tapi agak serong kiri dikiit aja.”


“Nyuruh serong segala, katanya aku jadi cowok harus setia. Gimana sih kamu tuh gak konsisten jadi cewek.”


“Serong, miring maksudnya. Bukan serong selingkuh!”




Aku tergelak ketika dahinya terjeduk mini bar.



“Kamu nyulik aku dari kantor sore-sore gini, disuruh pake tutup mata padahal udah jelas, kamu bawa aku ke apartmentku sendiri. Kamu tau gak, aku lagi nyiapin laporan buat besok pagi? Data dari bagian QA baru dateng jam 2 siang tadi. Kalo aku gak diculik-culik kaya gini, laporan itu bisa selesai jam 8 malem ini. Aku bisa tidur nyenyak sebelum besok ketemu Pak Menteri. Tau?”


“Kalo nanti malem kan lu sibuk.. gak bisa gue ganggu.”


“Nanti malem kan aku mau nyelesein laporan.”


“Berisik ah, nah duduk situ nah iya. Diem di situ. Tangannya jangan gerak-gerak!”
Dia masih ingin berceloteh tapi geramanku menghentikannya.



“Sekarang buka iketannya!”


“Happy birthday! “
Sebuah tart bertabur cha cha warna warni dengan lilin berjumlah tiga puluh satu.



“Kamu pasti lupa kalo ini hari ulang tahun kamu!”
Dia masih terkejut. Bingung. Ahh senangnya bisa membuat dia terbengong-bengong seperti ini. Kejutanku sukses.




“Ulang tahun aku kan besok..”



“Hah?” kini giliran aku yang terkejut. Kulihat layar blackberry. Tertera tanggal 23 Oktober. “Beneran kok tanggal dua tiga…”


Dia terpingkal-pingkal. “Baru dijailin gitu aja udah kaget…”


Aahhh…. Menyebalkan, aku terkena lagi tipuannya. Kucubit lengannya. Kupukul bahunya.


“Nyebelin banget sih, gue udah cape-cape bikin kue kaya gini malah dijailin..”


“Uuuh sayaangg…..” katanya tersenyum menggoda seraya menyalakan satu persatu lilin. “Aku make a wish dulu nih ya, sebelum tiup lilin..”


Wusss. Aku  membantunya meniup lilin. Semua lilin sudah padam. “Semoga permintaanku terkabul ya.”


Aku mengangguk. “Sekarang potong kuenya, liat dong kue apa ini…” kuserahkan pisau kue yang kupegang sedari tadi. Segera dia meotongnya.


“Wah rainbow cake! Beneran ini kamu yang bikin?” tanyanya  penuh curiga.


“Iya dong, semalaman gue nikin tau, ampe gak tidur! Bagus kan?”


“Bagus sih, tapi gak tau deh, enak apa enggak.”


“Berani kamu bilang gak enak awas aja!” seruku sambil mencomot cha cha berwarna merah.


“Heh, maen comot-comot aja. Itu yang merah punya aku!” tangannya menepis cha cha merahku. Sedetik kemudian kami hening. Saling berpandangan.



Cincin putih yang melingkar di jari manisku dan jari manisnya berdampingan. Seolah membuyarkan kebahagiaan kami.




Aku segera melirik swiss army di lengan kiri. “Udah abis waktunya, gue balik dulu ya!”



Dia masih terdiam. Kudaratkan kecupan di pipinya. “Happy birthday ya, semoga pernikahan kamu nanti lancar.”

***


Sayang, kamu pulang kerja jam berapa? Jadi kan ya nanti malem kita rayain ulang tahun kamu. Miss you!

Flash Fiction: Senja - Taman


“Kak kenapa pikniknya sore sih? Kenapa gak pagi-pagi?”


“Namanya juga Senja. Ya sore-sore dong.”


Beralas tikar, di bawah pohon-pohon rindang di taman kota. Diskusi ringan buku senja yang baru dilaunching berlangsung hangat. Diiringi petikan gitar seorang sahabat, Senja larut dalam dunianya.


Sesekali ia tertawa riang. Matanya bercahaya.


Ingin sesekali aku menjadi angin  yang membelai lembut rambutnya, menerpa halus kulitnya.


“Hey!”
Lamunanku buyar, gadis itu sedah berdiri di hadapanku.


“Eh nona manis udah selesai diskusinya?” Beberapa peserta tertawa menggoda ketika melewati kami. “Udah cantik, pinter lagi… makin cintaa deh.” Dia hanya meninju pelan lenganku. Lalu mendelik dan meninggalkanku.


“Tuh kan udah ditemenin malah ngeloyor gitu aja.”


“Genit bener sih lu jadi orang! Males gue”


Aku menarik lengannya. “Siapa yang genit sih? Aku kan cuma berkata jujur sayang”


Dia melepaskan tanganku. “Sayang-sayang, semua cewek aja lu panggil sayang. Gombalan lu gak ngepek buat gue. Basi!”


“Tapi aku serius tau sama kamu. Sumpah.”


“Whatsoever.”


“Kamu kenapa sih, ga pernah percaya sama aku?”


“Ngomong apa sih lu? Males ah.”


“Kamu tuh ga pernah ngasih aku kesempatan sih.”


“Kesempatan? Dana umum? Maen monopoli sana!”


Tarikkan tanganku kini agak erat agar kali ini dia menghentikan langkahnya. Mendengarkanku baik-baik.


“Kayaknya kamu akan lebih ngasih 2-3 kali kesempatan bagi pria brengsek manapun kecuali aku.” Dia bengong atau bingung, entah. “Iya, kamu akan menerima pria brengsek manapun yang akan main-main sama kamu, bahkan bisa ngasih kesempatan lagi untuk dia nyakitin kamu. Tapi kamu gak akan pernaah ngasih aku kesempatan untuk menunjukkan keseriusan aku. Iya kan?”


“Udah selesai ngomongnya?” dia menghentikan taksi. “gue ada perlu dulu, daah.” Lalu meninggalkaku begitu saja. Dengan segala kekesalan.

Rabu, 04 Juli 2012

Flash Fiction: Senja - Pantai


Pada suatu senja di bulan Mei. Gadis itu terpaku di tepi pantai, mencium rakus amis laut dan menatap lurus ujung horison. Garis batas langit dan laut.
Jemari telanjang menelusup ke dalam pasir. Hangat. Kulit melegam terpanggang matahari. Sudah seharian dia belum juga beranjak.


Secarik surat ada dalam genggamannya.


Pada senja kutitipkan sebuah kehangatan
Penantian akan pulang
Sirnanya kesenduan
Cinta


Gadis itu lalu berdiri. Mendekap surat dalam-dalam. Tersenyum ke arah surya yang tenggelam. Berjalan menuju tepian pantai. Senyumnya mengembang. Terus melangkah. Riak-riak ombak tak menghalanginya. Berat-berat kakinya terus bergerak. Air laut sudah sampai sedadanya.


“Nona! Berhenti Nona!!”