Rabu, 19 Desember 2012

Senja Yang Manis


Selamat petang, Senja

Selamat petang, Fajar

Senja sedang apa?

Merindumu. Oh, baru selesai baca Dimsum Terakhir.

Bagus?

Menarik, tapi ritmenya agak datar. Gak terlalu bisa bawa perasaan turun-naik.

Kan, memang kamu yang pintar bikin perasaan turun-naik.

Ah, kamu.
Kukirim satu cerita ya?

Kutunggu!

Ya, tunggulah, takkan selama ku menunggu kamu.




:’)

Bahagia itu sederhana ya. Sesederhana semangkuk mie dan senyum kamu. Mungkin karena kamu salah satu sumbu kebahagiaanku..

Bahagia itu sederhana. Kamu tersenyum, aku bahagia. Kebahagiaanmu, kebahagaiaanku.

Manis.

Kamu lebih manis.

Hati-hati diabetes ya..

Sungguh, Kamu begitu manis.

Tidak, aku tak semanis itu. Seperti komposisi kopi favoritku. Tiga Dua Satu. Tiga sendok teh kopi, dua sendok teh susu dan satu sendok teh gula. Bittersweet.

Biarkan aku sebagai susu, dan kamu adalah manis yang orang sukai. An extraordinary taste. You put an extra to the ordinary.

Ah!
Cukup, aku tak ingin terbang sampai langit ke tujuh lalu terjun bebas kembali ke bumi tanpa ada yang menangkapnya.

Pakai sabuknya erat-erat, kembangkan sayapmu dan terbanglah.

Kalau aku jatuh dan sayapku patah?

Pakai pesawat saja. Aku akan ke airport.

Dan biarkan aku terbang sendiri?

Tidak, aku akan berdiri di arrival gate. Jika saja kamu butuh tumpangan untuk ke rumah.

Rumah? Rumah siapa? Rumahku? Rumahmu?



                                                          ~ Lalu malam itu, Senja tertidur dengan senyum di bibirnya. 


*tulisan bersama @AirunStarky 

Jumat, 14 Desember 2012

Jika Dia

Tuhan,

jika dia jodohku, mudahkanlah segalanya
lancarkan segala urusannya

buka hatinya
buka hatiku
buka hati kami
buka hati orang-orang di sekeliling kami

jika bukan,
tunjukkanlah jalan lain

jangan biarkan ku jatuh hati padanya
jangan biarkan ku patah hati lagi

boleh ya?

Kamis, 29 November 2012

Sandaran Terakhir


Kalaupun aku sudah tak bisa memelukmu lagi, berbalik dan berdirilah di sisi pintu ini. Biarkan aku bersandar di pintunya. Dan aku akan bersikap seolah sedang menyandarkan kepalaku di punggungmu.

*
“Menurut kamu bagus yang mana?” tanyaku sambil menyerahkan contoh undangan pernikahan.
“Pilih aja sesuai selera kamu, Dek.”
“Iya, aku bingung ini bagus semua.” 
“Coba minta pendapat Rendra.”
“Justru Rendra yang nyuruh aku milih ini. Jadi yang mana?”

“Dek, aku gak berhak nentuin surat undangan pernikahan kamu.” katamu.
“Aku kan cuma minta pendapat kamu aja.” jawabku.

“Dek, tolong. Jangan libatkan aku di sini.”
“Tapi..”

“Ini pernikahan kamu dan Rendra. Aku gak bisa ikut campur.”
“Aku kan cuma minta pendapat.” sahutku,  “sebagai teman..”

“Kalau kita gak pernah pacaran lebih dari tiga tahun, gak pernah sampai merencanakan penikahan impian, gak pernah buang tiket bulan madu yang gak jadi, mungkin aku bisa bantu.”
“Tapi kita udah sepakat untuk berteman lagi kan. Buktinya hubungan kita masih baik-baik aja. Aku bisa share apapun sama kamu.. Aku..”

“Kita harus move on Dek.”
“Bukannya kita udah move on? Ini, Aku mau nikah sama cowok lain.”

Move on macam apa yang kamu maksud?” tanyamu.

“Kita masih satu bagian di perusahaan ini. Masih bisa kerja sama di tiap proyek. Kamu bisa cerita apapun sama aku, aku juga. Kamu masih bisa ketawa sama aku, aku masih curhat dan nangis di depan kamu.. Kita..”

“Dan nyembunyiin semua sakit di sini?” katamu sambil menunjuk jantung.

“Itu bagian dari move on kan?”

“Kita harus berhenti pura-pura bahwa semuanya baik-baik aja Dek.”

“Tapi..”

“Kita harus benar-benar saling melepaskan.”


Air mataku berderai, memelas agar kamu bisa luluh lalu memelukku seperti biasa. Kamu bergeming. Menggeleng lalu membiarkan hatiku hancur tak bersisa, “Sudah cukup Dek.” Pelan dan begitu menyayat hati. Lalu kamu melangkah ke luar.

“Tunggu, berhenti di situ.” kataku terisak, “tolong berdiri aja di sisi pintu ini. Sebentar.”

Aku merapatkan diri ke sisi pintu, menempelkan kepalaku. Bersikap seolah sedang bersandar di punggungmu.

Dingin dan begitu menyakitkan.

Selasa, 27 November 2012

Tak Jago Menunggu


Dan aku tak mengerti
Mengapa air mata yang mengalir tanpa henti
Tak mampu menghapus sakit ini

Mengapa gelapnya malam
Tak lebih kelam dari asa yang begitu muram
Ini jantung yang sempat kau hujam
Mengapa luka yang kau toreh begitu dalam?

Aku menyerah
Agar tak usah  lagi ada terserah penuh amarah

Aku berhenti berjuang
Bukan karena sudah tak sayang
Para cupid mabuk bersenang-senang
Gemar melesatkan panah sembarang

Habis dayaku mengertii kamu
Keraguanmu menyadarkanku
Aku tak punya banyak waktu
Aku tak mau denganmu

Carilah perempuan lain yang lebih jago soal menunggu 

Minggu, 28 Oktober 2012

Pelangi Yang Sama


“Aku masih ingin mengejar pelangi
Kendati letih menelusup ke dalam nadi
Atau ketika kau hentikan langkahmu
Aku mengerti
Dengan sikapku ini
Mungkin kau akan menahan laju
Kita,  masing-masing berada di tempat yang jauh berbeda
Dipisahkan ratusan kilometer
Tapi kuberharap kita mengejar pelangi yang sama”


Aku membaca surat itu lamat-lamat
Mengartikan tiap kata yang tersurat
Kamu ingat?
Pada malam yang temaram
Bintang yang tak pernah padam

Ketika semua lelah dunia kita curahkan
Ketika hampir saja asa kuputuskan
Ketika hatiku begitu terpanaskan

Lalu matamu begitu saja meneduhkan
Dan semua emosi kemudian terluluhkan

Seketika jantungku berdegup kencang
Kucoba menelisik pada bening matamu
Apa yang baru saja kau lesatkan?
Sesuatu yang menghujam jantungku

Begitu  hangat
Begitu  nyaman
Begitu   menenangkan


Aku tahu
Bukan hal mudah menyatukan dua hati
Seorang penyair pernah berkata :
“Cuma kita yang bisa pertahankan kita”
Kurasa dia benar
Tak peduli berapa jarak pisahkan kita
Aku akan bertahan

Kita akan mengejar pelangi yang sama

*tulisan bersama @AirunStarky
bisa didengarkan juga di www.soundcloud.com/tetehna9a/pelangi-yang-sama

Senin, 24 September 2012

Sepotong Cerita di Jalan Braga


Kuparkirkan mobil di depan Canary Bakery lalu melangkah menyusuri Jalan Braga. Banyak yang berubah dari terakhir yang kuingat sekitar dua puluh tahun lalu.. Dan baru kali ini aku berani kembali ke kota ini.

Lukisan-lukisan masih berjejeran di trotoar maupun galeri. French Bakery yang terletak di sebrang parkir mobilku sudah berubah suasana, walaupun tetap berdampingan dengan optik Kasoem. Jalanan kini tertutup paving blok dengan lubang sana-sini. Aku menghampiri penjual rokok asongan, sedikit bercerita katanya kalau siang hari cukup macet. Ternyata memang sudah berubah.

Sebagai jalan protokol, kuingat dahulu jalanan ini cukup ramai. Tapi tidak pernah macet. Setiap tahun ada pawai atau bazaar di sepanjang jalan. Konvoi bunga, marching band ataupun konvoi kendaraan kepresidenan.

Langkahku terhenti di depan toko buku Djawa. Bayangan dua puluh tahun silam terproyeksi begitu saja di hadapanku.
*

“Kang, gaduh korek?”
Kuraba saku celana dan kemeja, “aduh teu kacandak Kang.”
“Ai eta ngajendol kandel kitu ning.” Bau alcohol samar hinggap di hidungku.
Kuraba kembali saku belakang celana. Perasaanku mulai tak enak, “dompet ieu mah Kang.”
“Seueur sigana eusina nya?”
Pria bertato naga di lehernya ini mulai mengusikku. Kurasa permintaan koreknya tadi sekadar basa-basi.

“Geulis oge Rai na.” Serunya menatap gadis di sampingku. Kania mundur lalu mengapit lenganku. Kurasakan ketakutannya.
“Punten Kang, abdi bade mulih.”
Pria itu melebarkan kakinya, mencoba menghalangi langkahku.
“Kadiekeun heula nu di saku!”
Kulebarkan pandangan ke sekeliling, tidak ada orang yang melintas di sekitar kami.
“Atawa si Neng we nu ngilu jeung urang?” nada bicaranya mulai tinggi.
Aku mundur selangkah, Kania makin mendekapku. Pria itu mengeluarkan pisau lipat dari sakunya.
“Ieu Kang, candak we artos sadayana.”

“Geus teu hayang, urang hayang si eta we!” jawabnya sambil mencoba menarik lengan Kania.
Aku menepisnya, lalu mendorong pria itu. Dia lalu menghajarku. Pisaunya sedikit melukai pelipisku. Kania menjerit histeris dan meminta tolong,

Beberapa orang dari toko kamera di sebelah segera keluar. Pria itu lalu mengayunkan lagi pisaunya, kali ini mengenai pergelangan tangan Kania. Seketika darah memuncrat dari nadinya. Orang-orang segera menangkap pria itu. Aku berteriak meminta pertolongan. Dan entah mengapa rasanya ambulance tiba begitu lama.

*
Siang itu Kania ingin sekali jajan bakso di lorong samping Toko Buku Djawa. Terowongan yang menghubungkan jalan utama dan perumahan padat penduduk di belakang jalan Braga.

Sudah jam tiga sore, aku yang baru tiba dari Jakarta segera menjemputnya lalu naik angkot sampai Jalan Naripan dan bergandengan menyusuri jalan Braga. Sore yang cukup cerah, kendaraan hanya satu-dua. Sempat kami berhenti sejenak di sebuah toko lukisan di samping gang, ada lukisan sepasang nenek-kakek yang sedang tersenyum memamerkan gigi ompongnya. Kami tertawa, “Semoga kita bisa terus ketawa bareng sampai tua gitu ya.” Aku mengangguk dan mengamini sepenuh hati.

*
“Aduh maaf Pak.”
Lamunanku buyar, seorang gadis remaja yang sedang berfoto bersama teman-temannya menabrak kakiku. Aku tersenyum mengangguk lalu bergeser memberikan tempat agar dia bisa mengambil latar tulisan Djawa di hadapanku.

Malam mulai mendekap, hentakan musik dari café sudah terdengar, kulangkahkan kaki kembali menuju parkiran mobil. Hati ini masih terlalu sakit untuk mengingat kenangan di sini. Tadi siang aku ke TPU Sirna Raga, mengengok makam Kania. Sejak kejadian itu aku pindah dan tak pernah kembali ke kota ini.

Kalau saja Kania masih ada, mungkin kami sudah punya anak sebesar gadis tadi. Ah, semoga kamu tenang di sana sayang.

Minggu, 16 September 2012

TERBAKAR CEMBURU


“Gak, Mas aku gak ada apa-apa sama dia.”
“Pembohong!”
“Mas ampun Mas..”
Irwan tak mendengar permohonan Syilla. Dijambaknya rambut istrinya itu lalu digeret ke kamar.

“Mas sakit, Mas..”
PLAK. “Itu gak sebanding dengan perbuatan kamu!” sebuah tamparan mendarat di pipi Syilla yang diikuti dengan tendangan penuh makian. “Dasar Sundel! Perempuan tukang selingkuh! Penzinah!”


Aku terbakar cemburu
Cemburu buta
Tak bisa ku padamkan amarah di hatiku

Sia-sia air mata yang keluar dari mata Syilla. Tak setetespun dapat meluluhkan amarah Irwan.

Sakit menahan sakit hati
Menyimpan perih
Tak bisa ku terima apa yang ku alami

Tania, putri mereka yang masih berusia lima tahun shock melihat kejadian itu. Dia berdiri di pintu kamar orang tuanya, menyaksikan sang ibu dipukuli oleh ayahnya.

Ibaratnya jantung hati
Tersayat pedang tajam
Betapa sakitnya
Ku rasakan itu

Tak berapa lama tetangga yang mendengar keributan di rumah ini segera masuk dan melerai, menyeret Irwan menjauhi Syilla.

*
Dan kini aku tahu
Kusangat begitu dalamnya
Aku sungguh mencintaimu
Mungkin selama ini aku salah
Tak pernah pedulikanmu
Setulusnya hatiku

Irwan terpaku dengan tangan terborgol di hadapan pusara Syilla. Tetangga sempat melarikannya ke Rumah Sakit saat itu, namun pendarahan di kepalanya sudah terlalu banyak. Nyawa Syilla tak tertolong lagi.

Kuakui ternyata
Sakit yang membakar hati
Sudah membuatmu pergi
Kini hanya tinggalkan luka.

Kamis, 13 September 2012

Flash Fiction: Terjebak Nostalgia


“Sampai kapan lo mau diginiin sama si Ken?”
Praya mengunci rapat mulutnya. Seolah sibuk dengan laporannya.

Pesanan sudah datang, Praya tersenyum lalu mengucapkan terimakasih.

Alex membereskan tasnya, lalu hendak beranjak. Segera Praya meraih tangannya.
“Jangan tinggalin gue sendiri Lex.”

Alex kembali menghempaskan tubuhnya di sofa. Menemani Praya hingga entah kapan.

*

Jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh. 
“Balik yuk.”

Praya tak bergeming. Cappuccino sedari tadi tak disentuhnya. Dia hanya terbengong di hadapan laptop yang di hadapannya.

“Praya..”
“Gue gak mau balik, Ken pasti udah nunggu di rumah.”
“Terus lo mau ke mana?”

Praya menggeleng lemah.

*

“Kalo lo masih bengong gini, kita gak akan bisa check out. Praya ini udah jam setengah dua belas.”

“Lo balik duluan aja deh, biar gue di sini dulu.”

Sudah dua hari Alex dan Praya menginap di sebuah cottege di daerah Garut Selatan. Senin malam itu Praya berkeras tak ingin pulang, Alex lalu memacu mobilnya hinga mereka sampai ke Garut. Pemandangan pantai yang indah tak dihiraukan, Praya hanya berdiam diri di dalam kamar atau paling duduk di balkon.

“Ya udah, gue balik duluan. Terserah lo mau sampe kapan di sini.”
Alex menyambar tasnya lalu berjalan menuju pintu.

“Lex..” Praya memanggil lemah sahabatnya, “lo balik lagi ke sini kan?”

Alex berjalan kembali menuju ke sofa Praya, mencium keningnya lalu keluar dari kamar.

Banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya. Belum lagi telepon dari Ken yang terus menerus menanyakan kabar Praya.

Praya adalah sahabatnya semenjak sekolah menengah. Keseriusan Alex berimbang dengan sikap ceria Praya. Dia menemani Praya di setiap gadis itu jatuh cinta, patah hati, bahagia, sedih.

Cinta? Tentu saja Alex mencintainya. Tidak ada yang kurang dari gadis itu. Tapi ia tidak mau merusak persahabatannya. Maka beginilah kini. Belasan tahun bersahabat, menjadi tempat membagi tawa, berkeluh kesah juga sebagai pelarian.

Dua hari Alex membereskan urusannya, Ia bahkan membeli beberapa makanan untuk Praya. Entah apakah ia sedih atau senang melihat keadaan Praya saat ini. Di satu sisi ia tak suka melihat keadaan Praya seperti ini, bersedih dan nyaris hancur. Tapi di sisi lain ia juga senang, karena Praya bersama dirinya. Menggantungkan hidupnya pada Alex seorang.

*

Terdengar suara pintu kamar diketuk, malas-malas Praya beranjak dari tempat tidur. Setelah dibuka muncul Alex dengan sekantung makanan. Ia segera memeluknya.

“Gue kira lo gak akan balik lagi.”
“Masa gue tega ninggalin panda kesayangan di sini sendirian sih.”
“Enak aja gue disamain sama panda.”
“Tuh mata udah kaya panda gitu. Ngaca deh. Kalo bukan panda apa namanya?”

Praya mencubit manja sahabatnya, tenang rasanya melihat Alex kembali. Dua hari ini sungguh ia tidak kerasan. Jangankan mau beranjak makan, Sarapan yang dikirim dari kitchen hanya disentuh sekenanya.”

*

“Gak pegel tidur di sofa?”
Alex tersenyum canggung sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Tidur sini aja.”
Praya menggeserkan tubuhnya ke sisi ranjang, memberi tempat agar Alex bisa tidur di sampingnya.

*

“Praya…”
“Apa?”
“Boleh gue bilang sesuatu?”
“Bilang aja, ada apa?”
“Gue…”
“Lo kenapa”
“Gue sebenernya cinta sama lo.”
Alex terkejut sendiri dengan apa yang telah diucapkannya. Praya tak kalah kaget. Ia membalikan badan menghadap Alex.

“Gak salah?”
Alex menggeleng.
“Sejak kapan?”
“Sejak lo numpahin teh botol ke celana gue.”
“Numpahin teh botol? Itu kan jaman kita sekolah.”
“Ah udahlah, gue ngawur. Jangan dianggap. Udah tidur!” Alex berbalik memunggungi Praya. Membenamkan kepalanya ke dalam bantal. Dan berharap besok pagi Praya amnesia.

*

Alex membantu Praya membawa tasnya. Tidak berat sih, tapi sepertinya untuk membawa dirinya sendiri Praya sudah sempoyongan.

Akhirnya Praya mau pulang, ia kembali ke rumah orang tuanya.

“Ini ditaro di mana?”
“Di atas lemari aja.”
“Oke, semua udah masuk. Gue tinggal gak apa-apa kan?”
“Iya, makasih ya lex.”
Alex mengelus bahu Praya. “Iya panda. Gue mau langsung ke kantor.”

“Lex tunggu. Ini nanti dengerin ya.”
“Apaan?”
Praya menyerahkan ipodnya. “Ada di playlist ini.”
Alex mengangguk lalu hendak berpamitan pergi. Belum sempat ia sampai ke pintu, terdengar suara Ken, kekasih Praya.
Alex mengurungkan niatnya, lalu berjalan menuju teras belakang. Ia pasang earphone ke kupingnya lalu mendengarkan playlist yang dibuat Praya.

Telah lama ku tahu engkau
Punya rasa untukku
Kini saat dia tak kembali
Kau nyatakan cintamu

Namun aku takkan pernah bisa, ku

Takkan pernah merasa
Rasakan cinta yang kau beri
Ku terjebak di ruang nostalgia

Semua yang kurasa kini
Tak berubah sejak dia pergi
Maafkanlah ku hanya ingin sendiri

Alex menghela napas. Praya tidak amnesia seperti yang diharapkannya.



Selasa, 11 September 2012

hardest part


“Jadi gimana Sya?”
“Apanya yang gimana?”
“Lo mau dateng ke nikahan Omar?”
“Insya Allah.”  Aku tersenyum. Mudah-mudahan jawaban itu membuat temanku ini bisa berhenti mengusikku.

Pembahasan mengenai pernikahan Omar seperti tak kunjung usai. Tasya diundang gak, Tasya mau hadir gak, Tasya mau datang sama siapa, Tasya mau pake baju apa. Dan yang terakhir pertanyaan dari seorang Kabag: Tasya sakit hati gak. Menurut Anda?

Kusambar tumbler di meja lalu berjalan menuju pantry, mungkin segelas kopi bisa sedikit menghilangkan penat. Jamal, office boy tersenyum dan tanpa berkomentar segera menyeduh cappuccino untukku. Samar terdengar dari winamp kubikel manajerku.

I heard that you’re settled down
That you found a girl and you married now
I heard that your dreams came true
Guess she gave you things I didn’t give to you

Minggu kemarin seorang rekan kerja mengabari kalau Omar akan menikah. Akhir minggu ini.

Omar adalah mantan suamiku. Kami menikah sekitar satu setengah tahun. Kami bekerja di perusahaan yang sama, aku di lantai delapan, dia di lantai sebelas. Tujuh bulan yang lalu kami bercerai.

Hubungan kami masih cukup baik. Ada satu kalimat di novel Perahu Kertas yang membekas, “Semua kembali normal. Selama mereka tidak lagi menyentuh urusan hati mereka yang paling dalam semua baik-baik saja.” Seperti itu kurasa hubungan kami. Agak janggal memang, tapi kami memutuskan bahwa percaraian adalah keputusan terbaik bagi kedua belah pihak. Biarpun masih canggung tapi atas nama profesionalitas kami berusaha bersikap senormal mungkin.

Old friend why are you so shy
Ain’t like you to hold back or hide from the light

Aku menyesap dalam-dalam kopi ini. Tersenyum pahit mengingat pertanyaan-pertanyaan teman kantor. Mau dateng gak? Aku terkekeh, diundang saja tidak. Sampai saat ini Omar belum mengabariku, sudah hampir tiga minggu kami tidak berkomunikasi. Bahkan hal-hal mengenai pekerjaan disampaikan melalui orang lain. Dia tidak pernah menghubungiku.

I hate to turn up out of the blue, uninvited
But I couldn’t stay away, I couldn’t fight it
I had hoped you’d see my face and that you’d be reminded
That for me, it isn’t over


Buliran hangat mengalir di kedua pipi. Aku masih mencintainya. Dan karena aku sangat mencintainya, maka aku melepaskannya. Aku ingin dia bahagia. Dan aku juga akan mendapat kebahagiaanku sendiri.

Never mind I”ll find someone like you
I wish nothing but the best for you ,too
Don’t forget me, I begged, I remember you said
Sometimes it lasts in love, but sometimes it hurts instead

Ini memang bagian tersulit. Benar-benar melepaskanmu. Tapi iya, aku akan mencari kebahagiaanku sendiri. Semoga istrimu kelak dapat memberikanmu keturunan. Dan kita akan sama-sama bahagia, dengan cara masing-masing

Minggu, 09 September 2012

aku tak suka kamu sebut-sebut namanya


“Kamu lagi dimana?”
“Masih di kantor.”
“Lembur Mas? Lagi banyak kerjaan ya?”
“Gak sih, kerjaan aku udah beres. Tinggal nunggu Nina nyelesein laporannya.”
“Oh, ama Nina?”
“Iya, nyisa kita doang. Pak Andreas baru aja pulang.”
“Ya udah, ntar ati-ati ya pulangnya.”
“Iya Say..”
*

“Makan yuk?”
“Yuk, mau makan apa?”
“Sushi?”
“Pas banget tuh kemaren si Nina pengen sushi juga.  Kita ajak gabung ya?”
“Oh ya yaa.”
“Oke, aku jemput sekarang ya?”
“Iyaa J
*

“Ih lagunya Suju ya ini?”
“Iya, kok tau?”
“Iya, si Nina kan doyan banget lagu-lagu korea kaya gini. Ampe eneg aku Say.”
“Oh.”
*

Prita Anisya would like to send you a file
ꂽ Ari Lasso feat Ariel Tatum.mp3 (3.31 MB)

“Kamu kirim lagu apa say?
“Dengerin ajalah..”

Aku tak suka selalu saja
Kau sebut-sebut namanya saat kita bicara
Aku tak ingin, tak ingin mendengarnya
Kau bawa-bawa namanya saat berdua denganku
*

“Maksud kamu apa Say?”
“Maksud aku? Aku udah muak denger kamu ngomongin segala hal tentang Nina.”
“Tapi Say, aku gak ada apa-apa sama dia. Nina cuma sahabat aku aja.”
“Yayaya sahabatan udah dari belasan tahun yang lalu. Basi!”
“Tapi emang aku ama dia pure sahabatan..”
“Persahabatan antara cewek ama cowok? Aku gak pernah percaya Mas. Kamu pikir aku gak tau kalo kamu sayang sama Nina?”

Maafkan aku membuatmu tak suka
Karena aku tlah denganmu
Bukan maksudku membuatmu berfikir
Apakah aku pelarianmu saja

“Maafin aku say kalo kamu ampe mikir kaya gitu..”

Tak akan lagi, takkan terulang lagi ooh
Membawa-bawa namanya saat berdua denganmu

“Yeah, whatsoever.”


Kamis, 06 September 2012

Last Sunrise


Mungkinkah engkau masih menginginkan rindu ini.
Setelah kau pergi, menjauh dari jangkauan hati
Mungkinkah engkau mau menyisakan rasa rindu
Setelah kau tutup pintu hatimu, tanpa waktu
Padahal saat itu…

Lelah.
“Sebenernya apa yang kita cari?” tanyamu.
Aku hanya mengangkat bahu lalu kembali memelukmu. Perjalanan masih panjang.
*
“Masih belum sampe?”
“Tuh udah ada sungai, bentar lagi sampe. Tidur aja dulu.” Katamu sambil melingkarkan jaketmu ke pundakku.
*
Bau amis laut sudah tercium.
Lebih dari enam jam perjalanan, dua ratus tiga puluh enam kilometer.
Jam dua pagi. Aku terpekik senang. Seperti orang gila, kita menempuh perjalanan cukup panjang hanya untuk melihat sunrise. Karena kita -sempat- percaya, sunrise adalah symbol pengharapan atas hari yang baru, yang lebih baik.
*
Kita berlari dalam gelap malam, hanya berlampukan bintang di langit. Menelusupkan jemari di dalam pasir. “kita tunggu sunrise di sini ya?”
“Baru jam dua ini, masih lama..”
Kamu tidak mendebat lagi, hanya lalu mendekapku.

Sempat ku nikmati kecupan senyummu
Sempat ku resapi redupnya matamu
Sempat saling mendengarkan ombak bersuara
Dan kita berkhayal keliling dunia
**

Pagi menjelang, aku terlelap dalam pelukanmu.
Kecupan lembut membangunkanku. “Gak mau liat sunrise?” aku tersenyum. Kalaupun aku tak sempat melihat keindahan sunrise, biarkan kulihat keindahan itu pada dua matamu.
*

Semangkuk bubur, segelas teh tawar dan sebuah ciuman hangat menjadi sarapanku. Sarapan terakhirku bersamamu.
“Kita harus pulang sekarang.”
“Aku merajuk enggan.”

Notifikasi BlackBerryku berbunyi. Alarm terkutuk yang menyadarkanku bahwa malam nanti adalah pernikahanmu. Kekasihku.
“Apa ini jadi sunrise terakhir kita?”

Sempat kau berharap kau tak harus pergi
Sempat kau katakan kau rindu padaku
Sempat saling berdekapan dan menghangatkan
Menyaksikan malam penuh bintang

Kamu tak menjawabnya, mungkin berharap bahwa jawabannya tidak. Kamu hanya memelukku. Lalu kita membereskan pakaian dan kembali menuju realita.

Dan sempat ku melayani hatimu
Hatimu…

Kepada Tuhanmu dan Tuhanku


"Nak.."
Sebuah tepukan halus mendarat di pundakku. Dengan setengah nyawa aku mendapati seorang pria berpakaian hitam lengkap dengan topi kecil putih.

"Maaf Bapa, saya ketiduran."
"Tidak apa-apa nak. Tapi kamu sedang apa disini?" Tanyanya halus.
"Saya sedang berdoa."

Matanya agak terbelalak. Pastur itu nampaknya agak kaget juga bingung. Aku baru sadar, dengan hijab yang kupakai, memang nampak tidak wajar jika mengatakan aku sedang berdoa, di dalam gereja.

"Berdoanya khusuk sekali sampai ketiduran seperti tadi." Ujarnya dengan senyum.

Aku mengangguk malu. Dua hari mataku tak terpejam sama sekali, kurasa pantas jika tadi aku sempat ketiduran di bangku panjang tempat ibadat.
"Apa yang kau pinta nak?"
"Dibukakan jalan terbaik, Bapa."

*
Ornamen natal masih terpasang di beberapa sudut. Lingkaran rotan berbalut daun berhiaskan pita merah. Pohon natal masih tegak berdiri di dekat mimbar. Hiasan lonceng, kado dan peri-peri kecil bergelantungan di tangkainya. Aku tersenyum pahit.

Di dalam hati ini hanya satu nama
Yang ada di tulus hati ku ingini


Tiga minggu yang lalu aku membantu Tian menghias pohon serupa yang ukurannya lebih kecil. Pohon natal setinggi 70 cm yang kami taruh di salah satu sudut kamar kostnya. Ini tahun kedua aku membantunya menghias pohon natal.

Kesetiaan yang indah takkan tertandingi
Hanyalah dirimu satu peri cintaku


Hampir tiga tahun ini aku berpacaran dengan Tian. Sudah hampir tiga tahun pula Papa bersikap sinis padaku. Aku dianggapnya durhaka karena berpacaran beda agama.

Benteng begitu tinggi sulit untuk ku gapai

Apa yang bisa kulakukan ketika hati ini telah menjatuhkan pilihan pada seorang Kristiani. Dia sosok yang murah hati, penyayang, pintar sekaligus bijak dalam bersikap. Wajahnya tampan dengan rahang tegas dan hidung mancung. Alisnya tebal, matanya tajam.

Dia mengingatkanku untuk menjalankan shalat. Dia ikut berpuasa saat Ramadhan. Bagaimana bisa aku berpaling darinya?

Aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda


Siang tadi diam-diam aku mengikuti Tian. Dia masuk ke gereja ini dengan wajah tertunduk. Semalam kami bertengkar hebat. Tentu saja mengenai perbedaan yang tak mungkin disatukan. Dia berlutut di hadapan salib. Mengepalkan kedua tangannya. Menunduk hingga menitikan air mata.

Aku sendiri terdiam di deretan kursi paling belakang. Menadahkan kedua tanganku. Menyujudkan hatiku. "Bukakanlah jalan terbaik bagi hamba-hambamu yang lemah ini."

Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi

***

Rabu, 05 September 2012

Aku Pasti Kembali


Waktu tlah tiba
Aku kan meninggalkan
Tinggalkan kamu
Tuk sementara

Michelle memeluk erat Arthur di samping escalator. Puluhan bahkan ratusan wartawan berlomba mengambil gambar sepasang selebritis ini. Mereka sudah stand by di bandara sejak subuh tadi.
Tim manajemen sudah bekerja sama dengan pihak keamanan agar mereka bisa mendapat privasi di akhir-akhir waktu sebelum kedua sejoli berpisah. Maka tak heran jika beberapa pria bertubuh tegap menjaga pintu masuk agar para pencari berita ataupun fans tidak bisa masuk ke dalam.

“Jangan tinggalin aku Michelle.. please stay..”

Bujuk rayumu
Buat hatiku sedih
Tapi ku hanya dapat berkata

Sang Primadona, akan mencoba karir internasionalnya. Ia akan bekerja sama dengan beberapa musisi Hollywood. Ini impiannya sejak kecil. Banyak yang harus dikorbankan, karier di Indonesia, sekolahnya, kekasihnya.
Michelle mengecup bibir Arthur. Lembut dan hangat. Ia lalu mengeluarkan ipod dan menaruhnya di saku kemeja sang kekasih. Arthur menurut ketika Michelle memasangkan earphone ke telinganya.

Aku hanya pergi tuk sementara
Bukan untuk meninggalkanmu selamanya
Aku pasti kan kembali pada dirimu
Tapi kau jangan nakal

Aku pasti kembali. Serunya kepada para wartawan dan fans yang menjejali pintu masuk. Juga pada kekasihnya.

Firasat


Cepat Pulang
Cepat Kembali Jangan Pergi Lagi
Firasatku Ingin Kau Tuk Cepat Pulang
Cepat Kembali Jangan Pergi Lagi

Seharian ini pikiranku tak tenang. Pekerjaanku berantakan, atasanku marah-marah.

Ku cek kembali ponsel yang tersaku di dalam celana, masih belum ada notifikasi.

Sudah seminggu tidak ada kabar dari Rama. Setidaknya pagi atau malam dia akan sekadar menanyakan kabarku. Bagaimana pekerjaanku, atau menceritakan keadaannya di sana.
Aku sudah mengirim sms berkali-kali, tidak ada jawaban. Malam tadi kutelepon, ponselnya mati. Pikiranku sungguh tak keruan.

Kubuka percakapan kami terakhir. Tujuh hari yang lalu.

Rama kapan pulang?
Kayanya nanti minggu depanan. Lagi banyak kerjaan..
Kamu jaga kesehatan.
Iyaaa…
Cepet pulang.
Sip bos!

Kuraih pendedel di samping mesin jahit, dari tadi jahitanku miring-miring. Kucabuti perlahan helai demi helai benang yang menumpuk di lipatan kain.

SREB! Pendedel menusuk telunjukku. Darah segar mengucur deras ke atas kemeja putih yang belum jadi ini. Astaghfirullah al adziim. Teman di sampingku berteriak histeris, lalu segera meminta temannya mengambil kotak P3K.  Aku yang masih terbengong segera digeretnya menjauhi kain-kain. Barangkali takut darahku mengotori kemeja lainnya.

“Mbak Yun kenapa, kok bisa sampe begini?”
Aku menggeleng lemah, perasaanku makin tak enak.
Hanya Rama yang di pikiranku sekarang.

Rani datang dengan obat merah dan kasa, lalu segera membalut lukaku. Aku masih diam tak ingin bicara.
Ponselku bergetar, ada panggilan masuk.
“Selamat siang, dengan Ibu Yuni?”
“Iya, saya sendiri. Ini siapa?”
“Kami dari kepolisian. Apa benar anda ibunya Rama?”
“Iya, Rama kenapa Pak?”
“Maaf Bu, kami harus menyampaikan berita ini. Putra Ibu ditemukan tewas di kamar kostnya.”
“Astaghfirullah al adziim…..”
Hitam. Gelap. Lalu aku tak sadarkan diri.

Sayangku
Kupercaya Alam Pun Berbahasa
Ada Makna Dibalik Semua Pertanda
Firasat Ini
Rasa Rindukah Ataukah Kedamaian
Aku Tak Perduli
Kuterus Berlari

Senin, 03 September 2012

Surat Dari Anak Desa Renokenongo Porong Sidoarjo


Ku lihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matamu berlinang
Mas intanmu terkenang


Hawa panas terasa membakar kulit. Aroma lumpur menusuk hingga paru-paru. Kututupi hidung dan mulut dengan syal sekenanya.

Enam tahun yang lalu aku masih bersekolah di kampung ini. Saat itu aku masih duduk di kelas empat SD. Kampungku, Dusun Balongnongo Desa Renokenongo Porong Sidoarjo.
29 Mei 2006, dua hari setelah Negeriku diliputi rasa duka atas terjadinya gempa di Yogyakarta.

Awalnya hanya ada beberapa titik kecil semburan, lalu memamah biak di mana-mana. Volumenya makin besar, semburannya makin tinggi. Tanggul-tanggul yang terbuat dari karungan tanah dan pasir sudah tidak bisa menahannya.

Lalu bencana itu mulai memangsa kami.

Awalnya hanya tanah dan pekarangan, lalu ke jalanan, sawah, dan rumah.

Semua mata menatap pada sumur Banjar Panji-1 yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas.

Kami menduga-duga bahwa hal ini diakibatkan pengeboran yang dilakukan di sana. Entah eror di sebelah mana, kami tak mengerti.

Enam tahun berlalu, tidak ada penjelasan yang bisa ku mengerti. Mungkin otakku terlalu bodoh untuk mencerna semua analisa para orang-orang di atas sana.

Rumah kami lenyap, kampung kami hilang, nyawapun menjadi korban.

Jangan tanya berapa banyak air mata ibu dan anak-anak yang tumpah bertahun-tahun di pengungsian.


Hutan gunung sawah lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang susah
Merintih dan berdoa


Kepada Yth
Orang-orang pintar di atas sana,

Kapankah penderitaan kami berakhir?



Tertanda,

Adhi Heryanto (16 tahun)

Flash Fict: Jika Cinta Dia


“Aku harus pergi..”

Terlampau sering kau buang air mataku
Tak pernah kau tahu dalamnya
Rasa cintaku

*
Praya terhenyak melihat deretan kalimat-kalimat manis yang ada di ponsel Ken. Kata-kata puitis beraroma kerinduan dan ungkapan sayang. Tentang ciuman-ciuman hangat dan malam penuh gairah. Sampai mual Praya dibuatnya.

Syabila, gadis itu. Ternyata Ken masih berhubungan dengannya. Sudah hampir setahun setelah terakhir kali Praya mendapati Ken dan Syabila bermesraan di sebuah kamar.

Tak banyak inginku
Jangan kau ulangi
Menyakiti aku sesuka kelakuanmu
Ku bukan manusia yang tidak berpikir
Berulang kali kau lakukan itu padaku

Saat itu Praya memaafkannya, setelah Ken berulang kali memohon maaf sambil menciumi kaki Praya.

Kali ini rasanya sulit.

Jika cinta dia
Jujurlah padaku
Tinggalkan aku di sini tanpa senyumanmu
Jika cinta dia
Ku coba mengerti

“Praya buka pintunya!” terdengar suara Ken dari luar kamar.
“Bajingan kamu Ken! Brengsek!”  teriakan terdengar dari dalam kamar.
“Kamu gak bisa ngamuk-ngamuk dan ngunci diri kaya gini. Kita selesain baik-baik. Aku bisa jelasin..” belum selesai Ken bicara sebuah ponsel dilempar dari pintu. Lalu Praya menutup pintunya lagi.

Teramat sering kau membuat patah hatiku
Kau datang padanya
Tak pernah ku tahu
Kau tinggalkan aku di saat ku butuhkanmu
Cinta tak begini
Selama ku tahu
Tetapi ku lemah karena cintaku padamu

Praya menangis sejadinya hingga tertidur di lantai. Paginya ia membulatkan tekad untuk pergi dari rumah Ken. Pergi dari hidupnya Ken.
“Aku harus pergi..”

Jika cinta dia kucoba mengerti
Mungkin kau bukan cinta sejati di hidupku

Flash Fict: Pada Satu Cinta


“Praya, maafin aku. Tolong kembali..”
Kenzi terpaku di depan pintu rumah Praya. Kali ini sepertinya Praya tidak bisa memaafkannya.

*
Pagi itu Kenzi mendapati Praya mengemasi barang-barangnya. Semalam mereka bertengkar hebat, Praya menangis dan mengunci pintu kamar. Kenzi terpaksa bermalam di kost temannya.

Seharian ia mencoba menghubungi Praya, dia tidak ada di kantornya, ponselnya tidak ada yang aktif satupun. Kemudian Praya menghilang, dua hari, tiga hari, seminggu. Tidak ada kabar.

Kenzi seperti kehilangan separuh nyawanya, dia sungguh menyesal telah menyakiti Praya.

Setiap hari ia mendatangi rumah Praya, tidak ada jawaban. Baru setelah lewat seminggu ia melihat mobil Alex, sahabatnya, terparkir di rumah Praya. Tak membuang waktu ia segera menggedor rumah Praya.

“Praya, maafin aku. Tolong kembali..”
Praya menggeleng sambil menahan air matanya. “Udah cukup Ken.. terlalu sering kamu begini.”

Masihkah mungkin ku kembali
Tuk megisi hatimu
Yang jelas hati
Ku tak lagi sanggup jauh darimu

“Praya, aku janji ga akan ngulanginnya lagi. Sumpah..”
Praya tak bergeming.

Aku kan berjanji
Takkan mengulang segala kesalahan

“Aku cuma cinta kamu Praya..”

Aku kan mengabdi
Pada satu cinta dan itu dirimu

“Aku capek Ken..”

Jujur ku hanya seorang lelaki
Yang terkadang tak lepas dari godaan

Lalu segera Praya menutup pintu rumah. Juga hatinya.

Harus ku memiliki
Kesempatan tuk menyayangimu lagi

Ku lihat kau ragu
Adakah yang telah mengganti aku

Minggu, 02 September 2012

Flash Fict: Separuh Aku


“Diapain lagi lo ama si Ken?”
“Apaan sih Lex..”
“Lo ujug-ujug ngajak ketemuan siang-siang begini. Jam kantor. Kenapa coba?”
“Gue cuma kangen lo..”
“Basi. Kenapa masih dipake tuh kacamata item?”
“Sakit mata.”
“Sakit mata apa sakit hati?”

Dan terjadi lagi kisah lama yang terulang kembali
Kau terluka lagi dari cinta rumit  yang kau jalani

Praya segera memesan iced cappuccino, membuka laptopnya lalu terbenam di Microsoft excel.

“Gue mau ngerjain laporan di sini aja deh.”

Alex menghela napas. Bukan sekali ia menghadapi Praya seperti ini. Ia segera mengambil ponselnya. “Mbak Mita, aku visit customer ya, gak balik lagi ke kantor.”

Aku ingin kau merasa kamu mengerti aku mengerti  kamu
Aku ingin kau sadari cintamu bukan lah dia

”Sampai kapan Lo mau diginiin ama si Ken?”
Praya mengunci rapat mulutnya. Seolah sibuk dengan laporannya.

Dengar laraku
Suara hati ini memanggil namamu
Karena separuh aku dirimu

Pesanan sudah datang, Praya tersenyum lalu mengucapkan terimakasih.

Alex membereskan tasnya, lalu hendak beranjak. Segera Praya meraih tangannya.
“Jangan tinggalin gue sendiri Lex.”

Ku ada di sini
Pahamilah kau tak pernah sendiri
Karena kau selalu
Di dekatmu saat engkau terjatuh

Alex kembali menghempaskan tubuhnya di sofa. Menemani Praya hingga entah kapan.

Aku ingin kau merasa
Kamu mengerti aku mengerti kamu
Aku ingin kau pahami cintamu  bukanlah dia

sacrificar

Kalau ada cerita tentang seorang pecinta yang rela mati untuk kekasihnya, itulah aku.

Aku jatuh cinta padanya. Sejak pertama kali berjumpa di tahun ajaran baru.

Dia gadis mungil pindahan dari sekolah lain. Rumor yang beredar ia tinggal kelas. Karena orang tuanya malu maka ia mengulang kelas duanya di sekolah ini.

Tak sulit untuknya bisa bergabung dengan genk popular di SMA ini. Wajahnya imut, rambutnya terkucir kuda dengan poni rata sebatas alisnya. Hidungnya mancung, bibirnya mungil, pipinya tirus.

Aku suka melihatnya tergelak. Memamerkan gigi kelincinya sambil menenggak soda berwarna merah langsung dari botolnya.

Dia suka berkumpul dengan teman-temannya di warung ini. Kios kecil yang menyediakan cemilan ringan, tempatnya di belakang bangunan sekolah.

Terhalang oleh dua rumah gedong. Tak heran kalau memang sudah seperti basecamp anak-anak yang bolos sekolah. Termasuk dia.
Kudengar selintas kalau dia berasal dari keluarga broken home. Kini ia tinggal bersama ibu dan ayah tirinya.

Sesekali kulihat ia dijemput oleh seorang pria yang belakangan kuketahui pacarnya. Atau mantan pacarnya. Karena statusnya masih belum jelas hingga saat ini. Dilihat dari seragamnya, pria itu bersekolah di SMAnya dahulu.

Badannya tinggi, hidungnya mancung, alisnya tebal selalu menggunakan motor sport keluaran terbaru.
Sebal sekali aku melihat gadisku memeluk pria itu tiap kali dibonceng.

Siang itu kulihat gadisku berjalan sempoyongan menuju warung. Dia mengelus lututnya yang berdarah, rupanya dia terjatuh ketika melompati pagar sekolah.

"Sial...! Sial banget gue. Kampret. Taik."
"Kenapa Neng?"
"Sakit Bang! Sakit!"
"Lututnya? Ini pake obat merah."
"Ah ini mah ga seberapa, di sini yang sakit Bang. Jauh lebih sakit!"
"Loh emang tadi pas jatoh, dadanya kena juga?"
"Yang ini bukan karena jatuh dari pagar. Tapi karena jatuh cinta!"
"..."
"Dia pergi gitu aja setelah ngambil semuanya dari gue Bang!"
Seketika dia menangis tersedu-sedu.

Ah, tak tega rasanya aku melihat dia seperti itu. Apa yang bisa kulakukan untuknya?

"Bang, minta yang menthol!"
"Biasanya ga pernah ngerokok Neng."
"Bodo! Gue mau ngerokok sekarang."

Aku pun memberanikan diri, menyerahkan seutuh ragaku untuknya. Kubiarkan ia menyulutku dengan lighter murahan itu. Kupasrahkan jiwa ketika ia menghisapku. Akan kulakukan apapun untukmu gadisku.

Aku masuk dalam mulutnya, menguasai peparunya lalu terbang menjadi asap.

Kalau ada cerita tentang seorang pecinta yang rela mati untuk kekasihnya, itulah aku.

Sebatang rokok berbalut kertas putih, berfilter dengan aroma menthol. Yang jatuh cinta pada seorang gadis mungil anak pindahan baru. 

Selasa, 28 Agustus 2012

adiaŭa

Seperti hujan yang pamit dalam rintik-rintik laun
hatiku mengundurkan diri dari pertarungan ini

Kata hati ku lukiskan dalam selengkungan bianglala beraneka warna
yang berujung pada horizon

Tak peduli betapa gelapnya perjalanan kita
kamu telah memberikan warna-warni dalam hidupku

Kutitipkan kamu pada-Nya
Kugantungkan kebahagiaanmu pada-Nya

Biar nanti kita bertemu lagi
bukan hanya dalam sekadar kesenangan tapi kebahagiaan

Kamis, 09 Agustus 2012

Hingga Ujung Waktu


“Nemuin Arman lagi?”
“Iya Ma, hari ini jadwal dia terapi.”
“Mama doain biar dia cepet sembuh, jadi kamu ga repot kayak gini lagi?”
“Ma.. please..”
“Loh, bener kan. Emangnya mau sampai kapan kamu ngurusin dia? Inget Sas, kamu bentar lagi tunangan sama Edo.”
Lagi Sasti menghela napas. “Aku berangkat ya Ma.”

**

Sepulang merayakan pomosi jabatan bersama teman-temannya, Edo sang kekasih sudah menawarkan untuk menjemputnya tapi Sasti lebih memilih menyetir jazznya sendiri. Jalanan yang lenggang karena saat itu sudah menunjukkan pukul 23.40 WIB. Sasti memacu kendaraanya dengan kencang. Badannya sudah letih, matanya sudah cukup berat. Hanya kasur dan guling yang ada di pikirannya. Untung besok hari Sabtu dan tidak ada klien yang harus ditemui jadi dia bisa tidur sepuasnya.

Dari jauh Sasti melihat lampu lalu lintas sudah berwarna kuning, Sasti menginjak pedal gasnya. Sayang sekali rupanya lampu merah lebih dahulu menyala sebelum Sasti tiba di perempatan. Melihat jalanan yang sepi tanpa pikir panjang ia menginjak lagi gasnya. Dari arah kiri sebuah motor melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Tabrakan tidak bisa dihindari. Mobil Sasti menabrak motor itu dan membuat pengendaranya terpelanting sekitar lima meter sebelum akhirnya motornya ikut terbang dan jatuh tepat di tubuhnya.

*
Mama dan Papa berada di samping Sasti ketika ia sadar setelah tiba di Rumah Sakit. Tidak ada luka berarti selain sedikit memar di tangannya.

“Ma, tadi Sasti…” kalimatnya terhenti, badannya baru terasa sakit.
“Iya sayang, tadi kamu tabrakan.”
“Iya Sasti inget. Ama motor bukan? Trus dia gimana?”
“Lagi ditanganin dokter. Udah jangan dipikirin, semua pasti baik-baik aja.”

Tidak berapa lama Edo tiba. Sasti meraung dipelukannya. Menyesal tidak menuruti tawaran Edo untuk menjemputnya.

**
“Sore Tante, Armannya udah siap?”
“Belum Sas, biasa masih di kamar. Tante gak bisa ngebujuknya.”
“Biar Sasti coba ya.”
Marini, Ibunya Arman mempersilakan Sasti masuk ke kamar Arman. Tampak Arman masih terbaring di sudut ranjang. Perlahan dia mengganti posisinya, menghadap tembok. Membelakangi Sasti.

“Assalamualaikum, Arman.”
“Waalaikum salam.” Jawabnya masih memunggungi Sasti.
“Kok masih tiduran sih, ayo bangun kan sekarang jadwal ke dokter.”
Pria yang dipanggil tidak juga bergeming. Sasti perlahan mendekat, diusapnya bahu Arman.
“Man, udah sore nih. Nanti keburu penuh pasiennya.”
Arman menepis tangan Sasti.

“Arman. Jangan gitu dong. Sasti udah repot-repot kesini jemput kamu kok malah gitu sih.” Seru Ibunya.
“Pergi kamu.” Kata Arman melirik Sasti.

**
Duniaku hancur. Karierku hancur. Hidupku hancur. Perempuan itu telah mengambil semuanya. Merenggut semua harapan dan cita-citaku.
Perempuan bodoh yang doyan minum dan suka melanggar lalu lintas. Sialan!
Mana ada pengacara yang kakinya lumpuh seperti aku.

**

Sasti memainkan bola basket yang tergeletak di samping sofa. Marini tersenyum menghampiri sambil membawakan secangkir teh hangat.
“Bolanya udah kempes. Gak pernah dipake lagi sama Arman. Aku udah ngehancurin hidupnya Arman ya Tante.”
“Sasti, jangan ngomong kaya gitu. Semua udah ada jalannya. Sasti, Tante dan semua orang udah berbuat yang terbaik untuk Arman. Sekarang kita tinggal menyerahkannya kepada Allah.”

Sasti tertunduk, untuk kesekian ribu kali air matanya mengalir. Sudah tujuh bulan semenjak kecelakaan itu. Arman terluka parah terutama di bagian kaki dan tangannya. Bahkan dokter menyarankan agar mengamputasi kaki kanannya. Banyak saraf dan otot yang hancur di area betis kanannya. Arman bergeming, dia tak ingin kehilangan kakinya.. Dokter sudah memperingatkan bahwa terapi dan obat-obatan memang sedikit membantu tapi tidak akan menyembuhkan kakinya seperti sedia kala.

**
“Di mana Sayang?”
“Aku di Rumah Sakit, jadwal terapinya Arman, Sayang.”
“Arman lagi Arman lagi. Denger ya Sas, udah berapa kali sih aku bilang,  aku udah muak liat kamu terus-terusan merhatiin cowok lain dibanding aku!”
“Do, jangan gitu dong. Kamu tau kan Arman kayak gini karena aku.. jadi udah sewajarnya aku ngurusin dia sampai sembuh. Lagian sekarang kemajuanya udah pesat kok. Arman udah bisa…”
“Stop Sas! Aku gak mau denger soal Arman lagi. Aku juga udah gak mau denger apa-apa lagi dari kamu. Sekarang silakan kamu urus aja cowok itu.”
“Maksud kamu apa Do?”
“Putus. Kita putus Sas, sekarang kamu bebas merhatiin dia.”
“Do..”

**
“Ihhh itu sih bukan huruf S, itu sih Z tau!”
“Hahahahaa kebalik ya, oh harusnya dimulai dari titik ini.”
“Iya, ditarik ke kiri, nah gitu.”
“Kamu jangan cuma gini-gitu-gini-gitu. Ikut nulis juga dong.”
“Iyaaaa…. Siniin bolpennya.”

Marini tersenyum dari balik pintu kamar. Sudah sebulan ini sikap Arman mencair. Usaha Sasti tidak sia-sia, dia mau pergi terapi. Seminggu tiga kali, bahkan Sasti harus izin dari kantornya agar bisa pulang lebih cepat dan bisa menjemput Arman. Sikapnya terhadap Sasti juga melunak, bahkan kini mereka sedang belajar menulis menggunakan tangan kiri.
Kondisi tangan Arman memang tidak separah kakinya. Tapi akibat tertimpa badan CBR berwarna hitam itu, pergelangannya sedikit retak. Masih harus digips hingga beberapa minggu ke depan.

**
“Ma, aku sayang sama Arman.”
“Sayang sama kasihan itu beda tipis Sas.”
“Gak Ma, ini bukan kasihan. Ini memang sayang. Aku sayang dia selayaknya seorang wanita terhadap seorang pria.”
Mamanya hanya menggeleng pelan. “Sekarang gimana keadaannya?”
“Alhamdulillah, sesekali udah bisa pakai kruk. Cuma karena tangannya juga masih sakit jadi sekarang masih pakai kursi roda.”
“Kalo kesana, salamin buat Arman dan Ibunya ya. Bilang maaf karena Mama gak pernah jenguk lagi.”
Sasti tersenyum senang.

**
Arman meringis, kakinya kembali sakit. Sasti dan Ibunya segera membawa Arman ke Rumah Sakit.

“Bu, obat-obatan ini cuma membantu meringankan sakitnya. Arman harus dioperasi lagi.”
“Gak dok, saya gak mau diamputasi. Saya akan sembuh tanpa harus kehilangan kaki saya!”

**
“Tante, nanti kita ijin jalan ke luar ya.”
“Apa? Arman mau pergi ke luar?”
“Iya Tante, kemaren Arman telepon, ada undangan makan-makan gitu sama teman-teman kuliahnya dulu.”
“Trus dia mau?”
“Iya, Alamdulillah sekarang Arman udah mau melihat dunia luar.”
“Berkat kamu Sas, semuanya karena kamu. Kegigihan kamu. Makasih ya sayang.”
“Bukan cuma aku Tante, Tante juga berperan sangat besar. Juga Arthur.”
“Iya nih, ngomong-ngomong Arthur kok minggu ini gak pulang ya?”
“Lagi sibuk nyelesein thesisnya kali Tan.”
“Gak tau tuh katanya tinggal revisi akhir tapi kok masih sibuk terus.”
“Wah berarti bentar lagi jadi dong bikin firma hukum. Arman and Brother apa Arthur and Brother? Atau the Brother namanya?”
“Lah kok jadi kayak nama band. Kamu tuh bisa aja Sas.”
“Hahahahaa iya, trus udah dihubungin pulang apa gak gitu?”
“Tadi sih udah sms tapi belum bales. Padahal kita mau ada syukuran.”
“Syukuran apa Tan?”
“Syukuran kesembuhan Arman. Tante pengen kumpul juga sama keluarga besar. Apalagi sekarang Arman udah mau membuka diri. Gak diem terus di kamar.”
“Iya, dari tadi juga tuh asik duduk di teras belakang, main sama kucingnya.”

**
“Cowok tuh ya kalo dasarnya udah ganteng, mau di kursi roda sekalipun tetep ganteng ya.”
“Iya, Arman emang ganteng dari dulu, mantannya aja ada berapa coba? Gua aja sempet klepek-klepek ama dia.”
“Hihihiii iya ya, agak gemukan dia sekarang. Mungkin karena diem di rumah ya belum kerja. Padahal dulu dia sibuk bener deh. Diajakin ketemu aja susah.”
“Bener, gemukan terus ada jambangnya segala. Messy-messy gimana gitu ya. Duh kalo gak liat ceweknya itu gua mau nyekil lgi deh.”
“Ah lo ada-ada aja. Eh iya, itu katanya cewek yang nabrak dia ya? Trus si Amel ceweknya dulu gimana? Terakhir ama dia kan kita ketemu sebelum kecelakaan.”
“Si Amel udah kemana kali, gak mau nerima Arman setelah kecelakaan. Jodoh emang gak kemana ya, eh ternyata sekarang Arman pacaran ama cewek yang nabrak dia.”

Tiba-tiba ada suara flush dari toilet ujung. Sasti berdehem lalu ke luar dari toilet. Tiga wanita yang sedang bercakap-cakap di depan wastafel segera menutup mulutnya.

“Mampus lo, ceweknya Arman dari tadi ada di situ!”

**
Bendera kuning sudah dipasang Arthur sejak pagi. Sofa dan meja dikeluarkan.. Karpet digelar. Pukul delapan pagi jenazah Arman sudah dimandikan dan dikafani, seluruh keluarga dan kerabat berkumpul bersiap menyolatkannya.

Infeksi telah menjalar ke seluruh saraf kakinya. Perintah dokter untuk mengamputasi kaki Arman memang tidak dihiraukan.

Sasti masih terdiam di ranjang Arman, memeluk sweater yang terakhir dipakai Arman. Subuh tadi dia masih bercakap dengannya. Semalaman mereka berbicara di telepon. Sampai akhirnya Arman menutup telepon setelah menyuruh Sasti menunaikan salat shubuh. Dia membaca berulang kali pesan yang dikirim Arman. Aku mencintaimu. Hingga ujung waktu.

***