Kamis, 28 Juni 2012

27 Juli 1994

Obrolan bersama teman kubikel sebelah, membawa gue ke sebuah peristiwa yang gak akan bisa gue lupakan di tahun 1994. (eh kok jadi kaya kolom oh mama oh papa yak?)

Kejadian 18 tahun yang lalu itu sangat memebekas bagi gue dan seluruh keluarga. Kalo yang tinggal di Bandung saat itu mungkin ada yang inget, ada sebuah kebakaran besar terjadi di daerah Braga-Suniaraja-Viaduct. Tepatnya tanggal 27 Juli, hari Rabu. Gue masih inget banget. Sekitar jam 4 sore, setelah gue pulang sekolah. Masih pake seragam olah raga kuning-merah.

Gue lagi becanda-becanda ga penting sama adek yang saat itu baru 4 tahun dan orang tua. Kakak lagi tidur dan nenek lagi jalan-jalan. gue sendiri saat itu baru naik kelas 4 sekolah dasar.

Tiba-tiba ada teteangga yang berteriak kebakaran. Spontan kita kaget dan panik, tapi setelah mengetahui lokasinya agak jauh dari rumah, kepanikan mulai agak reda.

Ayah bantu tetangga madamin apinya. Mamah dan gue beresin surat-surat berharga. Gue juga sempet kesel karena kakak yang tidurnya kaya bangke sussaaaah minta ampun deh dibanguninnya. Karena gak dapet kabar apinya padam, mama nyuruh kakak untuk bawa gue dan adek ke warung nasi di pinggir jalan. Gue gak disuruh bawa apapun. Cuma selembar sweater kesayangan bekas pake berwana kuning yang tergantung sempet gue samber.

Entah kenapa, api gak padam-padam. Selang beberapa waktu rumah gue pun habis dilalap api. Gue yang awalnya masih menenangkan adek -karena kita belum lihat apinya- "Tenang aja de, rumah kita mah gakan kenapa-kenapa." Gak berapa lama Mamah dateng jemput kami, karena warung nasi itu pun akan segera ditutup. Pemiliknya yang juga sodara gue mulai panik dan takut apinya sampai ke pinggir jalan.

Gue, mamah, adek dan kakak duduk di halte sebrang jalan bersama ratusan orang lainnya. Gue masih sempet nenangin mamah sampe mamah bilang kalo rumah kita habis.

Habis? Gue masih ga ngerti. Gak berapa lama ayah dateng dan ngungsiin kita semua ke rumah sodara di jalan buton. Selain motor, surat-surat dan kursi gak ada barang yang sempet kami bawa, sekantung baju yang sempet mama bawa ternyata ada yang mencurinya. Oh God, gue sampe gak abis pikir. Dalam keadaan seperti itu masih aja ada yang nyolong milik korban.

Pengertian rumah kita habis yang mama sampaikan gak gue pahami karena sampe beberapa bulan ayah ngelarang gue untuk ke lokasi. Setelah tinggal dua minggu di rumah sodara lalu pindah ke rumah yang sekarang gue huni, gue gak diijinin ke rumah lama itu. Sampe akhirnya pulang sekolah gue cabut kesana. Dan ulalaaa..... pengertian habis yang mamah bilang ternyata benar. Rumah gue habis. Hilang. Tidak ada.

Banyak isu yang muncul seputar asal kebakaran. Mulai dari kompor meleduk ampe sabotase. Entah mana yang benar, yang pasti sekarang apartment mewah sudah berdiri angkuh di bekas lokasi rumah gue.

Huwooo ternyata masih agak berat nyeritainnya, air mata gue udah meleleh.
Udahan ah....

Senin, 18 Juni 2012

Flash Fiction: Senja di Metropolis

"Sayang, bisa jemput gak sekarang?"
"Lho tumben udah pulang? Masih jam 3 ini."
"Iya, agak mules mau PMS jadi aku ijin pulang.."
"Ya udah, tunggu sebentar ya."

**
Aku mematung di trotoar tepat di antara gedung BPK dan BCA. Sudah sekitar lima belas menit. Tas yang kukepit di legan kiri serta goodie bag yang terselempang di bahu kanan berisi print out data yang harus segera kubuat laporannya dalam power point untuk kupresentasikan besok jam sembilan pagi.

Charles Π Keith berhak delapan sentimeter. Agak menyesal tadi kutinggalkan sendal teplek bertabur mute-mute yang dulu kubeli di Pasar Sukowati itu di kolong kubikel. Tapi tak apa, kemeja ruffle lengan pendek yang kupadu rok span dua sentimeter di bawah lutut memang membutuhkan padanan pantofel yang akan membuat kakiku tampak jenjang. Rambut yang tadi pagi kucatok gelombang, kini tercepol sekenanya. Beberapa helai terurai begitu saja.

Sesekali kulirik swiss army di lengan kanan. Dia tak kunjung datang. Dua puluh menit, tiga puluh menit, empat puluh menit... Aku menghela napas.

Senja bergerak menuju temaram. Lampu-lampu hazard mulai menyilaukan. Klakson dan deru gas bersahutan, asap knalpot menari di antaranya.

Wajah-wajah merindu terselip pada ketidaksabaran orang-orang dibalik kemudi. Kepada keluarganya, kekasihnya, kasurnya, rumahnya. 

Sebuah motor merapat ke trotoar, menghampiriku. Pria itu, mengangkat sedikit helm fullfacenya. Menampilkan senyuman, melipat keletihannya. Lalu memberikan helm bermotif garfield yang disangkut di samping jok belakang.

"Kok telat?"
"Tadi ada mesin yang rusak, jadi aku beresin dulu. Produksi lagi banyak jadi ga bisa ditunda. Untung aja ga perlu lembur."
Aku tersenyum.

Senja saatnya pulang.

Kamis, 14 Juni 2012

Membaca Digital

Pagi tadi saya membeli sebuah harian olah raga nasional. Namanya juga lagi demam Euro, info-info mengenai  pemain, negara, klub dan gimik lainnya pasti dicari. Sebagai pengetahuan atau untuk dishare dengan teman *atau followers*. Atau bisa juga sebagai bahan obrolan dengan gebetan...eaaaa :p

Sekalipun saya menggunakan paket BIS unlimited, which is bisa browsing seenak jempol kapan dan dimanapun *ya kecuali kalo di area fakir signal sih*  tapi membaca koran ada sensasinya tersendiri. Meskipun berita yang disajikan tidak seupdate timeline tapi sungguh, saya lebih menikmati membaca berita melalui koran.

Ulasan-ulasan yang sebenernya kebanyakan ada di media online lebih 'masuk' ke otak. Mungkin itu sebabnya dulu jaman sekolah kalo mau ulangan, saya senang membuat contekan semalam sebelumnya. Jarang-jarang contekan itu saya buka ketika ulangan, karena biasanya saya sudah hapal. Sebabnya ya dengan proses membuat ringkasan contekan itu artinya saya 3x membaca buku dong. Pertama, ketika membaca bukunya, kedua ketik menulis, ketiga membaca contekan. Pintar bukan?!

Lha ini kenapa jadi bahas tentang contekan?


Rabu, 13 Juni 2012

a man?

Seorang pria dilahirkan dengan tangan kekar bukan diperuntukkan memukuli, menampar, menjambak pasangannya.

Sejatinya, tangan tersebut ditujukan untuk merangkul, mengangkat pasangannya pada sebuah kehormatan. Respek.

Kaki yang kuat tidak diperuntukkan menendang dan menginjak pasangannya.

Sejatinya untuk menopang kehidupan dia dan pasangannya. Keluarganya.

Suara lantang tidak diperuntukkan memaki dan menghina pasangannya.

Sejatinya untuk menegaskan sebuah tanggung jawab atas segala sikap.



Lalu apakah sebutan yang pantas bagi pria yang suka menyiksa pasangannya?

Selasa, 12 Juni 2012

end of the rainbow

Aku berada pada ujung semburat
Termenung mengarti segala isyarat
Perlahan cahayanya memudar
Meninggalkan rasa yang sempat terpendar

Belajar dari kehilangan sebelumnya
Aku mencoba untuk tak lagi mengeluarkan air mata

Setelah hujan deras
Hati yang lalu menjadi kebas
Pelangi yang kemudian menjadi asa
Memberi warna dalam dua bola mata

Kita semua harus mengerti
Pelangi akan terakhiri

Setidaknya ingatkan diri
Bahwa sejenak senyum telah terseri