Jumat, 30 Desember 2011

Tinta Pembunuh Asa

Ada sejengkal bait yang kusesali ketika tangan ini menandatangani hitam di atas putih perjanjian non verbal mengenai kami.

Ralat, aku dan dia. Bukan kami.

Tinta yang mematikan setiap asa yang muncul di kemudian harinya.

Dengan penuh kesadaran aku menyanggupinya. Soal iya atau tidak waktu yang menjawab.

Musim berganti, aku coba menganalisis. Apa yang sebenarnya kusesali?

Ternyata bukan pupusnya asa. Kecanggungan yang berbalut dalam kasa transparan.

Hangat yang makin menguap. Malah membuatku menggigil dalam pekat.

Aku sendiri dalam bingkai imaji.
Aku tersembunyi pada rubiks yang kuacak sendiri.
Aku terlempar dari garis edar.
Sampai fajar membuatku tersadar.

Kini apa yang terjadi? Lihat saja nanti.


(?)

Perangkap

Perangkap telah kupasang. Dari balik selimut mataku tak pejam memperhatikan tiap garakan. Tiap tanda.

Ouch! Aduh. Kau pegang kakimu yang terlilit dalam simpul.
Yeay! Hore. Aku tersenyum senang. Kamu mulai terjerat.

Perlahan kupagari sekeliling dengan patok-patok berrenggang. Sengaja, agar kau masih bisa bernapas.

Dedaun mulai merambat di beberapa sisi. Entah dari mana asalnya. Kubiarkan saja.
Lamat-lamat mulai memenuhi seluruh pagar.

Kamu terus bergerak di dalamnya. Kadang sedikit mengintip keluar. Bunga-bunga yang mulai bermekaran makin menutupi dunia luar.

Kadang kau berlari-lari. Entah kenapa, aku yang terengah-engah. Simpul yang terikat mungkin jua menarik peparuku.

Senyumku mengembang, menunggu temali yang merangkak menuju hatimu dan menelusup hatiku. Mengikatnya dalam satu komitmen.

Selasa, 27 Desember 2011

Wonderfull Tuesday

Spending time with my besties, being silly and laughing about nothing.

Akhirnya kami ketemu lagi, di penghujung tahun, berempat, masih dengan rasa (dan kelakuan) yang sama dengan sepuluh tahun yang lalu.

Janjian di tempat biasa, baru ketemu beberapa menit sikap labilku muncul. Beli baju dan langsung kita pake. langsung digeret ke salon terus kita foto-foto.

Dua dari kami sudah menikah. Sisanya mudah-mudahan tahun 2012 -aminnya please-. Tapi seperti yang kubilang tadi, rasa dan kelakuan kami masih sama. Kami masih saling sayang, masih gila, masih kurang ajar, masih labil...

Kuantitas pertemuan yang sangat minim gak ngerubah sikap kami. Yang satu di Bali, nah kami yang bertiga ada di satu kota pun nyaris gak pernah ketemu. Untunglah aku dan wanita yang bertetangga beda benua itu masih kadang bisa menyempatkan waktu untuk melepas rindu.

Satu yang pasti, aku selalu menjadi diriku sendiri di tengah mereka. And I love them so much. Indeed.





ayo tebak mana yang sudah married dan belum??

Senin, 19 Desember 2011

Rasa dan Masa yang Tak Seirama

"Apa? Tak terjangkau? Gila kamu! Ngaca. Mas yang gak pernah bersungguh-sungguh mendapatkan aku. Sedikit aja kamu berusaha mas untuk aku.. Gak ada mas, gak ada. Kamu yang membiarkan aku pergi. Kamu yang lepasin aku!"

Umar tertegun. Tanpa jeda kubombardir dia dengan rasa yang setahun ini menyesak di dada.

"Dik.."

Aku membuang muka. Tetesan hangat mengalir melawati pipi. Terisak.

*
Kami berkenalan ketika syukuran empat bulan kehamilan kakakku. Papa mengundang sahabatnya, Gus Noor seorang pimpinan pondok pesantren di Jawa Timur beserta istri dan putranya, Umar.

Namanya juga anak ustad, pakaiannya rapi, mukanya bersih dengan sedikit rambut halus di dagunya, ada sedikit tanda di dahinya barangkali saking seringnya ia merendahkan kepalanya di hadapan Tuhan.

Bukan tanpa tujuan mereka diundang khusus oleh papa. Selain untuk memberi tausiah, mereka berniat menjodohkan kami. Papa dan mama tahu benar aku sedang dalam masa patah hati setelah ditinggal pergi Viky. Pria yang memacariku lebih dari tiga tahun ini.

Aku memandang sinis. Dia memberiku senyuman manis. Ck! Kulepaskan pashmina yang disangkut asal-asalan di kepala. Tanda bahwa aku tak menerima perjodohan ini. Aku anak nakal. Tak cocoklah dengan santri macam dia. Kuharap mereka mengerti.

Rupanya mereka tak patah arang. Dengan alibi sedang ada proyek bersama papa, Umar tak ikut kembali ke kampungnya. Dia mengontrak sebuah rumah yang hanya lima belas menit jaraknya dengan rumahku. Aku makin sebal.

Entahlah. Aku masih patah hati. Ini kesekian kali aku putus dengan Viky. Tapi sepertinya saat ini dia benar-benar pergi. Di malam tahun baru aku menangis menjadi-jadi.

Untunglah aku punya sahabat-sahabat yang begitu hebat. Ramai-ramai mereka memelukku dengan hangat. Menyemangatiku bahwa masih ada masa depan yang lebih baik sekalipun tak bersama si keparat.

Seperti air yang menetesi batu, perlahan aku mulai luluh. Di tengah hatiku yang pilu, apakah dia yang Tuhan pilihkan untukku? Apakah ini pintu menuju kebahagiaanku, di awal tahun baru?

Aku yang awalnya sengaja bertingkah menyebalkan di depan Umar kini mulai menjinak. Memakai celana panjang dan cardigan jika bertemu dengannya, bahkan aku mulai memberikan senyum untuknya.

Sekali waktu pulang kerja ia menjemputku. Di tengah kemacetan, adzan maghrib berkumandang. Ia memanggil seorang pedagang asongan.

"Aqua satu, pak." Dia menyerahkan selembar sepuluh ribuan. "Minum dik?" Tawarnya padaku. Aku menggeleng. Dia melambaikan tangannya ketika pedagang asongan itu hendak memberikan uang kembalian. Pria itu tersenyum, "terimakasih mas."

Umar membuka segel minumannya. Samar kudengar dia membaca doa berbuka puasa. "Mas puasa?" Tanyaku. Dia mengangguk, "Kemis dik." Hoo, aku ikut mengangguk. Entah apa arti anggukanku.

Dak dik dak dik. Cuma dia yang memanggilku 'dik', kependekan dari 'adik'. Dan entah kenapa aku memanggil dia mas. Awalnya canggung, lama-lama aku suka juga dengan panggilan itu. Bosan aku dengan panggilan sayang macam 'yang', 'beb'... Tunggu... Panggilan sayang? Emangnya 'dik' itu panggilan sayang dia ke aku? Sayang? Sayang oppooo tho nduk! Lha kok aku malah boso jowoan??

Tetiba mukaku merona, berkutat dengan khayalan dan analisaku sendiri. "Kenapa dik?" Umar membuyarkan lamunanku. Mukaku makin memerah. Aku menggeleng tegas. "Mo buka puasa dimana?" Mengalihkan pembicaraan.

"Adik mau makan apa?" Dia balik tanya.
"Terserah." Jawabku, standar.

Dia membelokkan setirnya, di sebuah rumah makan khas Jawa Timur. Sepertinya dia kangen kampungnya.

Sesaat setelah mencari meja dia pamit shalat. Tak sedikitpun ia menyuruhku ikut shalat.
"Bareng. Aku juga lagi shalat kok." Kataku, membuntutinya. Dia tersenyum. Eh tumben aku mau shalat tanpa disuruh.

Setelah meminjam mukena pegawai restoran, aku berdiri dua shaf di belakangnya, agak sebelah kanan. Mushola sudah kosong, karena jarum jam sudah hampir menunjuk angka tujuh. Lirih tapi jelas dia mengucap takbir. Aku mengikutinya.

Kulihat setiap gerakannya. Kepalanya menunduk ke arah sajadah ketika melantunkan fatehah dan tabarok. Punggungnya lurus ketika ruku', dahinya rata menyentuh sajadah, bibirnya sedikit mengangkat, bisa kudengar samar tasbihnya, jarinya kakinya melipat sempurna ketika duduk di antara dua sujud. Astaghfirullah, kenapa aku malah memperhatikan dia. Jauhlah aku dari khusyu'nya shalat.

Selepas salam dia mengadahkan tangannya. Matanya sedikit terpejam lalu tangannya mengusap muka. Amin. Dia berbalik, tanpa komando aku salim padanya.

Ini salim pertamaku terhadap seorang pria. Salim pertama yang dilakukan setelah shalat berjamaah pula. Padahal tak ada seorangpun yang menyuruh. Umar sekalipun.

Sahabatku bilang semenjak malam itu aku berubah. Penampilan, sikap, gaya hidup.. Aku memang tidak menjadi berkerudung, tapi setidaknya jika akan bertemu Umar aku tidak akan memakai mini dress atau kaos lengan pendek seperti yang biasa kukenakan.

Ini bukan masalah pakaian saja, tapi kemauanku untuk berpakaian sopan di depan Umar. Itu kata sahabatku. Aku mau berubah hanya demi seorang Umar.

"Umar yang nyuruh lo pake baju rapi gitu?" Tanya Wina.
"Enggaklah, dia gak pernah nyuruh-nyuruh atau ngelarang gue apapun"
"Iya sih, gue kenal lo, lo ga kan mau disuruh atau dilarang kaya gitu. Makanya gue heran kok lo mau berubah buat dia. Lo suka dia ya?"

Suka? Masa sih? Umar benar-benar bukan tipe pria idamanku. Viky dan mantan-mantanku yang lain benar-benar berbeda dengannya. I'll always fallin in love with a bad boy. Cowok alim, ikhwan macam dia gak pernah ada di kamusku.

Entah bagaimana, ceritanya kami masuk dalam fase taaruf. Pengenalan, penjajakan, semacam itulah. Boro-boro ada kecupan hangat, pegangan mesra aja gak ada. Satu-satunya masa kulit kami bersentuhan adalah jika aku salim padanya. Seusai shalat.

*
PING!
Godaan mulai menerpa. Sebuah seruan dari seseorang yang kukira sudah pergi jauh. Viky.

Batinku berkecamuk. Tak bisa kupungkiri. Aku masih mencintainya. Dan sepertinya masih ada harapan untukku bersamanya. Tapi bagaimana dengan Umar?

Dia tahu sekali kelemahanku. Ketika tahu aku sedang dekat dengan Umar, semua jurus dikeluarkannya. Kata-kata manis menyebar di setiap notification bb. Sms, bbm, twit. Jemputan di pagi hari, ajakan makan siang.. Aku sampai tak bisa bermapas dibuatnya!

Umar mulai mencium gelagat tak baik. Tak berapa lama dia kembali ke kampungnya. Setelah menyudahi hubungan kami. Aku putus dengan Umar. Eh, putus itu kalo pacaran ya? Kalo penjajakan gitu apa namanya? Ahh pokoknya semacam itulah.

Beberapa bulan kemudian aku kembali berpacaran dengan Viky. Dia memang berubah. Mama dan papa akhirnya menerima kembali Viky setelah dia membawa orang tuanya untuk bersilaturahim.

Hubungan kami makin serius. Bahkan orangtuanya sudah merencanakan lamaran. Insya Allah awal tahun depan akan dilaksanakan.

*
Sebelum natal aku ditugaskan ke Pacitan. Kira-kira tiga hari aku disana. Bukan masalah tiga harinya, tapi Pacitan. Disana Umar tinggal.

Keluarganya masih berhubungan baik dengan keluargaku. Termasuk Umar. Dia bahkan sengaja datang ke rumah untuk mengundang kami di pernikahannya. Iya, beberapa bulan lalu Umar menikah. Tentu saja aku tak ingin datang. Entah dimana akan kutaruh mukaku untuk menghadapi orangtuanya.

Mama dan papa mengira bahwa keputusan Umar meninggalkanku adalah karena aku yang sengaja membuat ilfeel Umar, aku bertingkah macam-macam di depannya. Ya Tuhan, tak adakah yang percaya bahwa sesungguhnya aku benar-benar berubah?

Sebuah sms masuk ketika turun dari kereta. Dari Umar.
"Assalamualaikum, apa kabar dik? Saya dengar adik hari ini ke Pacitan ya. Kalau sempat kita silaturahim."
DEG. Hatiku tak keruan sepanjang perjalanan ke hotel. Aku bahkan masih terlihat bloon ketika bertemu dengan kolega siang harinya. Silaturahim? Ketemu dengan Umar? Umar.. Umar.. Hanya itu yang ada di kepalaku di ruang meeting.

*
Entah bagaimana, malam itu aku sudah berada di mobil Umar. Dia mengajakku mencicipi restoran favoritnya di Pacitan. Seperti dua orang sahabat, walau awalnya canggung, kami bisa menguasai keadaan. Obrolan ringan seputar hidup, pekerjaan mengiringi perjalanan pulang menuju hotel.

"Bulan depan aku lamaran mas."
"Dengan Viky? Selamat ya. Alhamdulillah.."
"Iyalah, sama Viky. Siapa lagi.."
"Iya, akhirnya kamu bersama lagi dengan pria yang kamu cintai dik."
"Maksud mas?"
"Viky memang tak tergantikan. Dia selalu di hatimu kan."
Dahiku mengernyit. "Maksud mas apa?"
"Aku sadar diri dik. Kamu sangat mencintai Viky. Aku gak akan pernah bisa dapatin kamu. Gak kesampaian.."
Dadaku sesak. Merasa dipersalahkan. Kuluapkan semua rasa yang kusimpan selama setahun. Kubombardir dia tanpa jeda.
"Apa? Tak terjangkau? Gila kamu! Ngaca. Mas yang gak pernah bersungguh-sungguh mendapatkan aku. Sedikit aja kamu berusaha mas untuk aku.. Gak ada mas, gak ada. Kamu yang membiarkan aku pergi. Kamu yang lepasin aku!"

Umar tertegun.

"Aku mencintaimu, mas."

Di basement hotel, dengan mata yang masih basah aku turun tanpa sepatah kata. Kubanting pintu mobilnya. Dia segera mengejar.

"Dik.. Tunggu.." Tanganku ditariknya. Padahal dulu tak pernah ia menyentuhkan kulitnya padaku, selain ketika salim setelah shalat. "Apa benar kamu mencintaiku? Pernah mencintaiku?"

Aku menatap matanya. Tanda bahwa aku tak berbohong. Air mata lagi-lagi meleleh ke pipiku. Aku memeluknya. Meluapkan semuanya. Bibir kami berpagut. Begitu hangat. Seolah ingin membayar rindu dan napsu yang sempat terbelenggu. Dia mencium dahiku.

Astaghfirullahaladzim. Dia mundur selangkah. Pun aku segera tersadar. Apa yang telah kulakukan? Aku berciuman dengan seorang ustad. Suami orang.

"Jangan pernah ketemu aku lagi mas." Kataku menunduk lemah.
"Iya." Jawabnya lirih.
Aku berbalik meninggalkannya sendirian.


Hatiku perih. Rasanya lebih sakit dibanding saat dulu aku ditinggal Viky. Entah apa namanya ini.

Jumat, 02 Desember 2011

Terjebak di Ruang Nostalgia

"Wake up baby.."
Sebuah sentuhan lembut menerpa pipiku. Dengan berat aku membuka mata. "Ouch!" Damned, sepertinya hangover.

Iman memberikan segelas air putih. Patuh segera kuteguk setengahnya.

"Tektek bengek menjelang pernikahan kayanya emang bikin kamu stres ya sayang.. Maaf ya, kamu jadi kubuat begini."

Aku menggeleng lemah. Gelas kutaruh di meja samping tempat tidur. Kutarik lengannya, kusimpan di antara pipi dan bantal. Dia jadi sedikit membungkuk. Ciuman hangat mendarat di dahiku. Lalu bibirnya bergerak agak ke bawah. Segera mulut kututup dengan telapak tangan. Tak mau sisa bau alkohol menempel padanya.

"Aku pasti jelek banget."
"Iya, jelek banget! Tapi kok aku mau ya nikahin kamu"
Aku mendengus manja. Dia tersenyum.
Iman menoleh jam di tangan kirinya. "Sudah jam 11, aku harus ketemu klien dulu. Bibi lagi angetin bubur, ntar makan ya. Jangan lupa mandi. Nanti malem aku jemput."
Cerocosnya tanpa menghiraukan kerlinganku yang masih menginginkan dia untuk tetap disini.

****

Aku dan Iman akan menikah minggu depan. Dua bulan lebih cepat dari rencana awal. Semua dipersiapkan secara instan. Bukan, bukan karena aku hamil duluan. Tapi karena bulan depan kami akan segera kembali ke New York. Iman mendapat posisi yang diinginkannya setelah "diplonco" selama enam bulan di Indonesia.

**

Kami bertemu satu setengah tahun yang lalu di Golden Gate, San Francisco. Aku bersama rombongan Outstanding Student for The Kementrian Luar Negeri berkesempatan melihat jembatan merah yang menjadi icon di kota ini.
Kabut pagi menambah indahnya pemandangan dari Marin Side. Iman menjadi pendamping rombongan yang disewa kedutaan besar.

Jembatan Golden Gate pagi itu belum begitu ramai. Kabut datang bergelombang. Kadang tebal, kadang lamat-lamat. Penampakan Golden Gate menjadi seperti jembatan di atas awan. “Kabut itu hanya di atas jembatan, tidak mengganggu jarak pandang,” jelas Iman.

Aku sibuk foto-foto sementara Iman menjelaskan hal-hal mengenai Golden Gate. "Jangan terlalu pinggir mbak, disini udah banyak yang meninggal", aku mundur segera, "disini tempat favorit yang mau bunuh diri." lanjutnya.
"Hmmm." aku berlalu menganggap omongannya hanya guyon murahan.

Esoknya Konjen RI di SF dan Chief of Protocol for San Francisco mengundang kami untuk dinner di Balai Kota. Ternyata Iman juga hadir. Gayanya yang hangat berhasil memikatku yang kemarin sempat jengkel dibuatnya.

Delapan bulan kemudian aku berhasil mendapat pekerjaan di Manhattan. Aku mulai berhubungan lagi dengannya. Dan sepertinya kami jatuh cinta. Ia bahkan rela menempuh jarak lebih dari 4000 km untuk menemuiku.

Iman mencoba mengirimkan CV ke beberapa company di Manhattan, tak lain agar kami menjadi lebih dekat. Dengan beberapa link dari keluarganya ia berhasil mendapat pekerjaan di sebuah multinational company yang berbasis di NYC. Tak apalah, setidaknya kini kami lebih dekat.

Melihat latar belakang keluarga Iman, perusahaannya memberikan tawaran untuk "magang" di Indonesia. Mencoba system baru yang sudah sukses di US dan mencoba menerapkannya di Indonesia.

"Sayang, Tuhan memang Super Baik, aku akan segera dipindah ke Indonesia. Kita bisa balik for good!"

"Balik ke Indonesia?"
"Iya, Jakarta sayang, kita pulang trus nikah dan hidup disana bersama keluarga"

**

Balik? Tinggal di Jakarta lagi? Gak bisa. Susah payah aku cari kerja di US dan sekarang Iman minta aku balik ke Indonesia. Dan apa tadi katanya, nikah dan hidup disana? Gak. Ini gila! Aku gak mau balik ke Jakarta!!

Iman tak tahu kalau aku begitu membenci kota itu. Kota penuh kenangan. Kota dimana aku tumbuh dan mengenal cinta. Terbuai dalam angan akan cinta yang sempurna. Kota dimana aku dicampakan begitu saja setelah bertahun-tahun berpacaran dengan Rizki.

Iya, Rizki namanya. Dia adalah alasan terbesar aku pindah ke US. Sebenarnya aku ingin pergi kemana saja, asal tidak di kota itu. Tidak di negara itu.

Aku berpacaran dengannya sejak kelas 1 SMA. Dia kakak kelasku. Semuanya nampak sempurna sampai dia lulus kuliah dan tiba-tiba saja melarangku untuk hadir dalam wisudanya.

Sungguh aneh. Dengan perasaan tak enak aku diam-diam tetap datang. Lagipula ini kesempatanku untuk bertemu dengan kedua orangtuanya. Enam tahun lebih berpacaran, belum pernah aku bertemu dengan mereka.

Dahiku mengernyit. Seorang wanita memakai kebaya pink ada di antara Rizki dan orang tuanya. Yang kutahu Rizki anak tunggal, jadi tak mungkin itu adiknya. Tangannya mengapit erat wanita itu. Senyumnya merekah. Aku memberanikan diri mendekat. Sedikit menguping pembicaraan mereka di antara riuhnya Aula.

"Lulus sudah, pekerjaan sudah ada tinggal kami datangi keluarga Maggie ini." Ujar ibunya.
Rizki tersenyum, wanita itu tampak malu-malu. Aku tahu kalau Rizki didapuk meneruskan perusahan bapaknya. Tapi mengenai wanita ini aku tak tahu sama sekali.
Tak mungkin aku salah dengar. Sekuat tenaga aku menghampiri Rizki, tersenyum seolah tidak ada apa-apa.

Rizki tampak sangat terkejut. Wajahnya pucat pasi. Dia segera melepaskan pegangan Maggie.
"Selamat Riz.." Kataku sembari mengulurkan tangan.
"Makasih.." Sahutnya.
Ibunya tersenyum padaku. "Siapa Riz?"
"Te..temen bu"
Hatiku mengkerucut. Sakit sekali rasanya. Aku berusaha tetap tersenyum lalu bersalaman dengan ibu bapaknya. Juga Maggie.

Ingin mati rasanya saat itu. Terjawab sudah keganjilan selama ini. Kini aku juga mengerti kenapa Rizki tak pernah memperkenalkan aku pada orang tuanya.

Malam harinya ia datang ke rumahku. Menjelaskan semuanya, meminta maaf karena selama ini merahasiakan hubungannya dengan Maggie. Mereka dijodohkan sejak kecil. Itu katanya. Entah benar atau tidak yang kulihat hanyalah dia tidak berusaha untuk membawaku ke dalam rencana masa depannya. Aku telah dibohongi. Dibodohi. Bertahun-tahun.

Tiga hari aku tidak keluar kamar. Aku menangis hingga sepertinya habis air mata ini. Untunglah ada Wina sahabarku yang mendampingi. Memberi pengertian pada orang tuaku.

Kudengar Rizki sempat dipukuli oleh Kakakku. Entahlah, aku tak mau lagi mendengar tentang dirinya.

Patah hati justru sepertinya berdampak baik pada studyku. Aku hanya kuliah kuliah dan kuliah. IPK ku menyentuh angka 3.8 semester ini. Bahkan aku mendapat hadiah study tour ke Amerika setelah mengikut sertakan makalah mengenai public transportation berbasic go green.

Makalah yang membuatku terbang ke San Francisco, bertemu Iman. Lalu dengan semangat tinggi aku mencari pekerjaan di luar negeri. Iman lah yang membawaku sampai di Manhattan. Agar aku bisa melupakan Rizki, jauh dari segala berita tentangnya.

Kini Iman mengajakku kembali ke Jakarta. Tidak, hatiku rasanya belum mampu. Telepon dan email dari keluarga dan Wina yang gembira mendengar berita dari Iman sedikit menggoyahkan pendirianku.

Sampai kapan aku harus lari dari masa lalu?

Aku mengajukan cuti jangka panjang dari kantor. Sengaja aku tak memberikan surat resign karena hati kecilku masih berharap kami akan segera kembali kesini.

Setelah menempuh penerbangan selama ± 35 jam rasanya badan rontok semua. Hati sih yang sebenarnya kalang kabut. Aku tidur seharian. Mama membangunkanku dengan segelas milo di tangannya.

"Gak kangen apa sama mama, nyampe Indonesia cuma tidur doang"
Aku mencium keningnya lalu segera menyeruput coklat hangat yang dibuatnya. Semalaman aku tidur dengan mama papa. Hangat sekali rasanya.

Keesokan harinya giliran Wina yang membangunkanku. Memeluk dengan agresif diselingi kelitikan membabi buta. Sepertinya dia ingin membunuhku!

Kami membuat janji makan siang. Aku, Wina dan Iman. Di sebuah resto di bilangan Jakarta Selatan yang sedang in. Cafe ini milik Wina dan seorang temannya. Menyajikan pasta dan pancake. Makanan favorit kami.

Beberapa minggu di Jakarta aku tak pernah kemana-mana. Paling sesekali mengunjungi resto milik Wina atau ke rumah Iman. Selebihnya aku hanya diam di rumah. Menulis blog, atau sekedar chatting dengan temanku yang insomnia di Manhattan sana.

Sabtu siang Iman berhasil memaksaku untuk keluar. Aku sudah seperti vampir yang takut pada sinar matahari. Pada dunia luar. Sebenarnya aku hanya takut jika tak sengaja bertemu dengan Rizki.

Rizki lagi. Sakit rasanya harus mengakui bahwa nama itu begitu menggores luka yang teramat dalam. Mengingatnya seperti mengorek luka lama.

Kami melewati beberapa tempat yang dulu pernah aku dan Rizki datangi. Setiap jalan sepertinya ada cerita. Semua sudut menguak semua memori. Ahh!!

Apa yang kutakutkan benar-benar terjadi. Aku melihat sosok yang begitu kuhapal ketika baru saja selesai memesan makanan di sebuah resto hotel bintang lima. Sosok itu datang dari balik pintu berjalan tersenyum ke arah seorang wanita yang duduk di dekat jendela.

Kenapa aku harus bertemu Rizki dan Maggie lagi?! Karena panik tak sengaja gelas tersenggol oleh tanganku. Semua orang melihat ke arahku. Termasuk Rizki. Damned!

Pertemuan yang membawa bencana. Rizki mencoba menghubungiku. Kenyataan bahwa aku kembali tinggal dengan orang tua, di rumah yang sama ketika kami masih berpacaran tentu saja tidak menyulitkannya.

Bodohnya aku, terjebak lagi pada perasaan yang dulu menguasaiku bertahun-tahun. Awalnya memang aku begitu marah padanya. Tamparan, makian habis kualamatkan di depan hidungnya.

Dia tak banyak berubah, masih Rizki yang tak pernah patah arang dalam mendapatkan keinginannya.

Aku berhubungan lagi dengannya. Walau kutahu dia sudah menikahi Maggie.

Dia bilang padaku bahwa akan segera menceraikan Maggie. Dia tak pernah mencintainya. Tak lupa, mimpi-mimpi kami dahulu yang sempat terbang mulai ia simpul kembali. Aku sempat terbuai olehnya.

Sampai satu titik aku merasa ini tidak benar.

Aku harus melepaskan Rizki.

***

"Kita percepat aja tanggal nikahnya"
"Loh kok?" Mama dan papa terheran.
Begitupun Iman.
"Iya, gak usah besar-besar lah, aku mau nikah di KUA aja. Secepatnya. Lalu kita balik ke US"
'Kamu hamil??" Tanya mamaku.
"Ya enggaklah. Aku cuma gak mau heboh-heboh gak jelas, mending duitnya dipake bulan madu. Keliling eropa. Iya kan sayang?" Jawabku. Iman masih bingung, tapi cukup dapat menguasai keadaan. Dia tahu aku hanya ingin pernikahan sederhana.

"Oke kalo kamu maunya sederhana, tapi gak usah di KUA segala kali. Kita cari tempat lain, yang gak terlalu besar, yang cukup seratusan orang" seru mama.

"Seratus kebanyakan ma, aku cuma mau kita aja keluarga inti. Cukup."

"Kamu gak ngehargain nenek, kakak dan pakde mu? Trus keluarganya Iman?"

"Oke, kita cari jalan tengah aja gimana sayang? Mama? Kita cari tempat yang pas, yang enak buat mama, papa, nenek, juga keluargaku? Gak usah di gedung besar juga gak di KUA." Tengah Iman.

Aku mengangguk. Lalu segera menelepon Wina. Mencari bantuannya.

Akhirnya kami sepakat melangsungkan pernikahan di sebuah villa di puncak. Pemandangannya indah, sejuk. Sesuai dengan keinginanku.

Kemarin aku dibawa Wina ke sebuah rumah mode. Baru dua kebaya kucoba, aku memberontak.
"Aku mo pake dress biasa aja. Yang ini nih.." Kataku sambil menunjuk asal gaun pengiring pengantin. Gaun pendek model tube dress berwarna putih pucat.
"Maksud kamu?"
"Ya biasa aja, toh acaranya juga santai. Aku gak mau ribet pake kebaya kaya gini. Menjuntai-juntai, penuh payet dan batu swarovski. Berat!"
"Kamu tu mikir dikit kenapa sik? Yang nikah bukan kamu doang, tapi Iman juga. Coba ya sedikit aja ngurangin ego kamu. Hargai Iman dan keluarganya. Masa hari pernikahan kalian kamu cuma pake dress kaya gini?!"

Aku mendengus kesal. "Win, aku cuma gak mau berlebihan, aku cuma pengen pernikahan yang simpel. Aku gak mau seolah mewujudkan impian pernikahanku dengan Rizki. Gedung mewah, kebaya panjang menjuntai, undangan ribuan orang dari semua keluarga besar. Aku gak mau!"
"Apa tadi kamu bilang? Rizki?"

"Iya Rizki! Itu rencana yang kususun bertahun-tahun. Sampai akhirnya hancur. Kamu pikir aku gak sakit apa mesti nyusun pernikahan impian kaya gitu? Gak sakit apa harus nyembunyiin perasaan yang masih bergejolak disini" aku berteriak sambil menunjuk dada. Aku hilang kontrol. Wina menyeretku ke toilet.

"Kamu kira aku gak sakit harus nyembunyiin hubunganku dengan Rizki. Karena takut akan dihakimi oleh kamu, kakak, mama papa, Iman? Aku gila Wina..." Seruku lirih.
"Ya Tuhan, kamu berhubungan lagi dengan dia?"

Aku mengangguk pelan. Bersiap menerima makian Wina. Tapi dia malah memelukku. Lama sekali.

Sampai akhirnya aku terbangun oleh sentuhan hangat Iman. Semalam aku mengambil minuman dari lemari papa. Entah berapa botol yang kuteguk.

***
Kantor di US berniat menarik Iman kembali ke NYC. Merasa mendapat alibi segera kuminta untuk mempercepat pernikahan kami. Agar bisa segera kembali kesana. Agar aku bisa benar-benar meninggalkan masa laluku.

Aku tak bisa selamanya disini. Tak bisa terus menerus terjebak di ruang nostalgia.

Kulihat dari jendela, Iman berjalan menuju mobilnya. Tinggi tegap berwibawa. Tak ada yang kurang darinya. Tuhan telah mengirimkan malaikatnya untukku. Tak ada alasan aku menoleh ke belakang.

**
Dengan kebaya putih dan kain batik aku berjalan menuju meja ijab qobul. Make up kupoles sendiri. Wina membantuku mencepol rambut dengan sederhana. Tanpa hairspray ataupun sasak rambut.

Iman menoleh ke arahku. "Cantik" katanya. Aku menunduk malu. Ia melafalkan janji pernikahan dengan lugas kepada ayahku. Air mataku menetes. Saat dia dipersilakan mencium keningku aku menatapnya. I love you..


*beberapa deskripsi diambil dari tulisan radar sukabumi. Lupa sourcenya, tapi kenapa radar sukabumi ya? 'au deh..judul emang sengaja dibikin buat menyasarkan orang yang googling lagu tersebut (disamping saya memang suka sekali lagunya)*

Rabu, 30 November 2011

Sebulan, dan Kau Begitu Kurindukan

.............................
..........................
..................................
........ Judul doang ....................
...................................
....................................
...................................



Bandung, 30 November 2011
19:50

Sambil nonton Indonesia Selection vs LA Galaxy ---- wait, LA Galaxy what? I'm watching Beck Π friends!

Jumat, 25 November 2011

KUTANG

“Papahhh…..!!!!!”
Mendengar teriakan sang istri, Pak Broto yang sedang asyik menonton teve di ruang keluarga segera menghampiri istrinya. “Iya, iya mah?”
“Dasar suami brengsek! Jahanam! Bangsat!” maki Bu Broto.
“Ada apa mah? Nyebut, nyebut..” jawab Pak Broto ketakutan.
Bu Broto mengacungkan sebuah kutang merah berenda hitam ke muka Pak Broto. “Pelacur mana yang kau ajak tidur di kamarku?” Pak Broto hanya bisa tertunduk malu. “Dasar tahi kucing kau, kutinggal kerja ke Medan semalam saja berani kau bawa simpananmu ke sini hah?!”
“Ampun, ampun mah..”
“Pokoknya kita cerai!!!!” teriak Bu Broto sambil membanting pintu kamar.
*****


“Waduh…. Kutang gua kemana ya?” teriak Vivi sembari mengacak-acak lemarinya.
“Kutang yang mana?” jawab Bemby sahabatnya.
“Yang gua beli dari elu itu..”
“Iya, yang mana? Kan banyak yang gua jual ke elu.”
“Yang itu loh yang baru, ni pasangan celana dalam ini…” jawab Vivi sembari menunjukkan celana dalam merah berenda hitam.
“Waduh, gak tau lah gua, nyangkut kali di jemuran sebelah.”
“Hmm bener nih kayaknya ada yang nyolong, si Isabela ni pasti!” ujar Vivi geram.

Vivi segera keluar dari rumahnya, menuju rumah Isabela sang tetangga sebelah. “Isabelaaa keluar lo!” yang dipanggil segera keluar. “Apa sih lo pagi-pagi udah teriak-teriak. Sarap lo ya?!” jawab Isabela.
“Eh lu yang sarap ya, mana kutang gua? Ayo balikin?”
“Kutang apaan? Dasar sinting lo”
Para tetangga segera keluar, menonton keributan yang terjadi di rumah susun itu. Untunglah pengurus RT setempat segera melerai mereka, karena Vivi dan Isabela sudah mulai baku hantam, saling jambak. Setelah diselidiki akhirnya Isabela tidak terbukti mencuri kutang merah berenda hitam itu. Akhirnya Vivi ingat dimana ia meninggalkan kutang itu. Waduh!
*****


“Selamat siang, apa betul di sini kediaman saudara Bambang Cahyono alias Bemby?”
“B..b..bettul, anak saya Bemby emang tinggal di sini.”
“Bisa kami bertemu dengan anak Ibu?”
“I..i..iya dia lagi di rumah temennya, di lantai atas Pak.”
“Baiklah kami akan segera ke sana.”
“T..t..tapi salah anak saya apa Pak?”
“Anak ibu tersangka pencurian di toko pakaian dalam Mayesi.”
Si ibu langsung pingsan, Pak Polisi segera menggotongnya ke dalam rumah, setelah tetangga membantu menyadarkan ibu Bemby, mereka segera ke Rumah Susun mencari keberadaan Bemby dan menangkapnya atas tuduhan pencurian kutang merah berenda hitam.
*****


“Saudara Ayin anda terbukti dan dinyatakan bersalah karena sudah mengedarkan produk ilegal. Hukuman anda lima tahun penjara ditambah ganti rugi sebesar lima ratus lima puluh juta rupiah kepada Negara.”
Tok tok. Pak Hakim mengetokkan palu pertanda sidang pembacaan putusan terhadap tersangka Ayin yang terbukti telah mengedarkan kutang illegal yang diimport dari China. Tak lama berselang seorang petugas menghampiri Pak Hakim.
“Pak Hakim, barang bukti ini harus segera dibawa karena akan menjadi barang bukti di ruang sidang sebelah Pak.” Kata seorang petugas.
“Loh, emang ada kasus apa?” Tanya pak Hakim.
“Kasus pencurian di toko pakaian dalam Mayesi pak” jawab petugas.
“Oh, emang barang buktinya ini juga?”
Sang petugas mengangguk dan segera membawa bungkusan berisi kutang merah berenda hitam.
*****


Setelah persidangan terhadap tersangka Bemby, seorang petugas kembali menghampiri Pak Hakim.
“Pak, barang buktinya mau dibawa ke pengadilan agama dulu ya Pak.”
“Loh, emang kenapa?” Tanya Pak Hakim.
“Barang buktinya ini pak, sama.” Sahut sang petugas.
“Maksudnya?”
“Kasus perceraian suami istri pak, suaminya selingkuh dan kutang ini adalah barang bukti yang ditemukan sang istri di kamarnya.” Jawab sang petugas.
Meskipun bingung, pak Hakim menyerahkan bungkusan berisi kutang merah berenda hitam itu. Sang petugas segera pergi ke pengadilan agama.
******

Minggu, 20 November 2011

monday, and still on my worst mood

Still on my worst mood.

Senin. Dan masih dalam suasana hati yang buruk. Masih capek. Kayanya kalo ada yang ngegebukin juga bakal aku biarin.

Beberapa notification muncul dan bikin tambah kesel. Dongkol.

The worst partnya adalah orang yang bikin tambah gondok adalah orang yang harusnya on my side.


Hate.

Hate it!

me n timeline

Gw bukan orang yang begitu ekstrovert. Menurut gw.

Tapi ada yang bilang "baca twitnya na9a/fani tuh kaya denger dia ngomong" atau sebaliknya ada yang bilang "lo tuh kalo ngomong kayak di temlen tau gak" haha.

Udah, gitu doang ceritanya. Gak nyambung pula.



Oke gw terusin.

Beberapa waktu lalu gw pernah ngeluapin emosi di twitter. Emosi yang bener-bener dari hati. Tanpa analogi, tanpa dramatisasi. Kalimat yang keluar adalah kalimat yang cukup mendeskripsikan keadaan gw saat itu.

Mention yang masuk gak ada yang gw jawab. Gak berapa lama gw hapus lagi tweet-tweet tersebut.

Gw merasa, gw salah tempat. Kalimat yang harusnya cuma gw ceritakan ke sahabat gw seperti biasa, ini malah dilempar ke tempat publik. Setelah gw hapus, gw langsung menghubungi sahabat yang sudah biasa menerima 'sampah' dan tahu apa yang harus/tidak boleh diucapkan ke gw saat itu.

Gw gak bilang bahwa apa yang gw tweetkan selama ini cuma pencitraan atau sesuatu yang tidak jujur. Bukan gitu. Tujuan gw ngetwit ya mengekspresikan sesuatu, bukan untuk terlihat keren atau membentuk suatu pencitraan. Kalo kata lucy wiryono tuh I tweet to expresed not to impressed. Gitu bukan ya? Lupa gw, ya semacam itulah.

Biasanya sesuatu yang sederhana gw dramatisasi. Maklum gw kan agak-agak dramaqueen gimanaaa gitu yak. Kadang dibumbuin nyepik-nyekil gak jelas atau ironi yang mengobjekan diri gw sendiri. Just for fun.

Sampe kadang ada yang nanya, emang ampe segitunya ya kehidupan sehari-hari lo? Lo begitu merana akan cinta, cowok lo yang gantungin lo bla bla. Gw cuma ketawa biasanya.

Pernah gw lagi di jalan trus depan gw ada truk dengan tulisan "jaga jarak" nah muncul deh gegalauan gw yang sebenernya saat itu gak lagi galau melow. Gw tweet "Gak truk, gak kamu sama-sama nyuruh aku Jaga Jarak" mention pun berdatangan, banyakan yang mengasihani gw. Gw sendiri? Ketawa-ketiwi gak jelas.



Bentar, dari atas ampe bawah gada yang nyambung kayaknya ya. Trus intinya apa ya?

Ya kalo inget gw terusin lagi deh.

Oya, awalnya gw mo cerita kalo gw jarang atau mungkin ga pernah ngehapus apa yang telah gw tweetkan. Baru kemaren aja pas udah ngamuk-ngamuk dan ngerasa gak pantas. Itu aja sih.

begitu marah hingga tak sanggup marah

Pernah gak ngerasain marah banget yang sampe terlalu capek untuk marah. Belibet ya kalimatnya, tapi ya emang gitu. Kesel, dongkol, marah, marah sekali. Tapi udah sampe titik capek. Capek untuk maki-maki, untuk ngamuk bahkan untuk pundung.

Jadi inget beberapa waktu lalu pernah ngetwit "Sesungguhnya pundung itu dilakukan terhadap orang yg akan mengerti akan kepundungan kita. Karena jikalau tidak maka itu semua akan sia-sia." Twit itu gw bikin bukan karena gw lagi pundung. Cuma tetiba kelintas aja di otak. Dan sekarang kayaknya nampar gw sendiri.

Trus maksudnya apa gw nulis ini? Ga tau deh. Luapan amarah? Kode pundung atau apa?


Blog ini ditulis sembari menonton film yang penuh sensor.

Selasa, 15 November 2011

Filosofi Keripik

Kata siapa sesuatu yang pernah hancur tak bisa utuh lagi?

Keripik singkong gue, "si galau" one of my best seller adalah keripik singkong yang untuk mencapai bentuk super tipis harus melalui proses penghancuran terlebih dahulu.

Dia memang menjadi lebih mudah rapuh dibanding keripik singkong pada umumnya. Tapi rasa dan tekstur boleh ditanding.

Pun dengan hati, dulu gue kira setelah hancur mungkin akan mustahil untuk bisa utuh lagi. Tapi toh keadaan dan waktu bisa memperbaikinya. Tsaaaahhhh.

Seperti halnya keripik gue tadi, hati yang pernah hancur pasti akan lebih mudah rapuh. Tapi dengan perlakuan yang lebih protektif gue yakin dia akan baik-baik saja.

Anyway What's broken can always be fixed, what's fixed is always be broken

Senin, 07 November 2011

temen

Hey men!

Aku lagi liat foto2 kita beberapa bulan lalu. Ketika kita sedang "kabur".

Banyak ekspresi yang tergambar disini.

Tapi tenaang... Sesuai dengan perjanjian hitam di atas putih bermaterai 4 x 6000 aku gak akan mempublikasikannya.

Aku ingat betul setiap rasa yang ada ketika kamera poket atau  kita mengabadikan setiap momment. Ada yang senyum unyu, so impret, so galau, so candid hhhahahaaa...

Dari berbagai macam pose dan ekspresi, sebenernya kebaca jelas ada garis merah. Tapi ga akan aku ceritakan disini. Cukup kita aja yang sadarin. *kedip penuh arti*

Tapi ada 1 foto yang betul-betul aku suka. Kalo dari segi fotografi jelek banget sih, tapi aku suka senyum kita disitu. Senyum yang begitu sederhana. Gak dibuat-buat demi kelihatan fotogenik. Senyum yang gak terlalu lebar, tapi senyum terjujur yang aku rasa ada ketika kita disana.

My friend gimme É‘ slice of wagyu. Hey men I miss you!

lovember

Hei it's november already!!

Baru aja gue ngelewatin oktober yang begitu hebat. Hebat segalanya. Ujiannya terutama.

Ada yang datang ada juga yang pergi.

Hujan turun tiap hari. Gak aneh kalo lagu November Rain jadi soundtrack tiap pulang kerja -sambil basah kuyup-

Pertama kalinya pula gue ditilang! Dem yu pak op yang nilang gue! Hahahahaa

Hari pertama di bulan november kemarin cukup memorable. Banyaaak banget ucapan ultah, doa-doa keren yang mudah2n segera diijabah Allah SWT Æ ̴̴̴̴̴̴͡.̮Æ ̴̴͡

Dan bulan ini akan gue kasih nama spesial. Lovember. Artinya? Ada deh. Mau tauuu aja! *anti klimaks*

Minggu, 30 Oktober 2011

Good Friends Great Days

Setelah lebih dari 1 bulan gak pernah kemana-mana, cuma rumah-kantor-rumah sakit akhirnya kemarin main juga sama temen-temen.

Runtutan audit lalu mama masuk rumah sakit bener-bener bikin aku stres. Penat. Mungkin nyaris gila.

I need 'me time'. Mau potong rambut dari kapan tau gak jadi-jadi. Padahal udah geje abis.

Setelah memastikan mama bisa aku tinggal (ada ayah dan adit) sabtu kemarin setelah pulang kerja aku ke kost temenku di daerah sekeloa.

Masih dengan perasaan sedikit galau karena satu dan lain hal aku gabung dengan mereka. Ada beberapa teman kuliahku yang sengaja datang dari Jakarta.

Moodku belum terlalu baik, belum banyak tingkah seperti biasa. Malahan aku sempat tidur.

Setelah shalat ashar barulah mulai konek dengan mereka. Nonton final destination, ketawa-ketiwi sampe keram perut karena kebanyakan ngakak lihat tingkah temen-temenku.

Sempet ada niat ke cikole liat yang ospek. Tapi perut kami lebih urgent. Kami harus segera makan.

Di kambing kairo haha-hihi belum selesai. Pleus foto session konyol. Sampe keram lagi ni perut. Di parkiran pas lagi nentuin mau pulang atau gentayangan lagi, ternyata oh ternyata mobil temenku gak bisa nyala. Mesti dijumper. Hahahahaa ferari kok dijumper! :p

Jam 11 malem akhirnya aku sampe depan rumah, dianter salah satu temenku. Agak lama dibukanya. Mama pula yang bukain. Hadooh!! Tapi untungnya gak dimarah-marahin banget.

Malam kemarin meski kecapekan aku bisa tidur dengan senyum tersungging.

Tadi siang, aku merapat lagi bersama mereka. Nongkrong-nongkrong ga jelas di richeese, foto session -lagi- dan tentu saja haha-hihi kesana kemari.

Gak ada tujuan utamanya sih kami ngumpul-ngumpul, tapi aku beneran ngerasa seperti abis dicharge. Charge jiwa gitu. Capek. Tapi happy.

Kalo pulang kerja nyampe rumah capek, muka kusut bener. Tapi kalo abis maen sama mereka, capek tapi muka masih cling kayanya. :p

Thank you so much @dincit @ocir_rico @OskyrFish @rinda_dame @handika_lesmana @Ranggaffandie @eurekahero @ludytrompet

Good friends Great days
♡ ♡ ♡

Rabu, 26 Oktober 2011

aku sudah JATUH kamu tetap tak CINTA

Tak pernah aku berusaha sekuat ini

Begitu inginnya aku mendapat kamu

Entah apa yang merasukiku

Semua berkata tidak

Kecuali aku


Bermacam alibi

Tak jua terpatahkan

Beribu isyarat

Tak jua terbacakan


Kamu maunya apa
?

Kamu maunya gimana
?


Ah kamu

Aku sudah jatuh

Kamu tak jua cinta

berdamai dengan masa lalu

Apakah aku sudah berdamai dengan masa lalu?

Tentu tidak

Aku masih gila, tapi bukan berarti aku tidak berusaha

Mataku masih spontan melirik setiap mobil serupa dengannya
Lalu bersyukur bahwa itu bukan plat nomor yang kuhapal betul

Aku gila
Ya!

Sempat di beberapa malam kubuka jejak-jejaknya
Menahan napas sejenak
Tak jarang air mata tetiba mengalir

Tapi bukan berarti aku tak mencoba
Belajar pintar

Sudah kubuang semua foto-foto
Kuhapus semua dari flashdisk, laptop, kamera, ponsel

Meski belum tersapukan yang tersimpan di memori otak ini
Mungkin kelak waktu bisa menghilangkannya

Ada satu parfum yang tidak pernah kupakai lagi
Sekali waktu pernah kusemprot
Gila! Semua cerita dan rasa langsung tertayang tepat dihadapan
Tak mau lagi kumemakainya!

Pagi ini
Sebuah notification muncul
Membawaku kembali ke masa itu
Dadaku memuncah
Aku benci sekali

Menyadari belum sepenuhnya terbebas dari masa kelam
Sisa-sisa kebodohan belum semuanya tersingkirkan

Selasa, 25 Oktober 2011

uncatched message

Tidakkah kau mengerti pesanku?

Dalam setiap senyum yang terkulum
Dalam setiap post it yang kutulis
Dalam setiap bunga yang kukirim
Dalam setiap sendok yang tersedia

Tidakkah kau tangkap pesanku?

Pada sinar mentari pagi
Pada angin yang berhembus
Pada hujan yang turun
Pada dinginnya malam

Tidakkah tersirat dalam tulisan ini pun?

Minggu, 23 Oktober 2011

Orang Miskin Dilarang Sakit

Orang Miskin Dilarang Sakit

Sebuah tagline yang dulu gue anggep biasa aja. Iya sih, tapi ya udah. Sampai gue mengalaminya sendiri.

Nyokap terkena abses. Ukurannya sebesar telapak tangan orang dewasa. Besar. Sialnya, beliau gula darahnya tinggi.

Awalnya berobat ke klinik biasa. Yang ternyata abal-abal. Maen operasi aja tanpa ngecek gula darah. Gue dan keluarga ga ada yg tau kalo nyokap gulanya tinggi.

Tiga minggu berobat gak ada progress. Yang ada, lukanya makin besar. Nanah makin banyak. Sampe suatu malem gue maksa beliau untuk ke RS.

Dari awal gue ajak ke dokter atau RS, nyokap gak pernah mau. Tapi malem itu gue udah keabisan akal nanganin luka beliau. Bocornya parah banget. Gue marahin nyokap 1½ jam. Sampe akhirnya setengah sebelas malem beliau nurut untuk dibawa ke IGD RS besar deket rumah gue. Itu pun sedikit dibohongi. Gue bilang cuma ganti perban. Padahal ya mana ada sih udah ke RS cuma ganti perban doang..

Nyampe sana langsung disuruh opname dong. Dicek segala macem termasuk gula darah yg ternyata udah 650 aja! Shock. Okay, lalu subuhnya dapet instruksi agar segera dioperasi. Tapi penanganan awalnya adalah menurunkan kadar gula. Sekali suntik 380 ribu. Gue sanggupin.

Berhubung dari awal gue yg bertanggung jawab, jadi semua tindakan dikonfirmasi dulu ke gue. Termasuk harga. Demi keselamatan nyokap, gue setuju-setuju aja. Padahal duit yang gue pegang gak lebih dari 2 juta.

Sekitar jam 8 pagi, laporan billing udah dikasih. Total sampe jam 8 pagi itu udah 2,3 juta. Belum termasuk operasi yang harus dilaksanakan nanti siang. Biayanya 4,5-5 juta. Operasi doang, belum termasuk jasa dokter, dan biaya perawatan lainnya. Oya juga belum termasuk farmasi di luar operasi.

Whanjeeerrr duit dari mana?!! Saat itu gue sendiri. Sendiri bener-bener sendiri. Di hadapan konsultan biaya operasi gue nangis. Bingung.

Tapi Tuhan selalu tahu cara terbaik menolong gue. Dikirim-Nya malaikat-malaikat untuk bantu gue. Secara moril dan materil. -semoga mereka selalu diberi kemudahan dan keberuntungan-

Total jajan selama 5 hari (masuk IGD jam setengah 11 malem dianggap 1 hari ya) ± 13juta. Kelas 3 loh ya. Dan biaya kontrol 3 hari sekali ± 800ribu/kontrol.

Gue gak ngeluh. Sungguh, gue hanya share tentang pengalaman jajan ke RS tanpa asuransi.

Ketika antre konsul biaya operasi ada beberapa keluarga pasien yang datang dengan membawa SKM (Surat Keterangan Miskin) dan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Menurut mereka, ngurusnya cukup rempong. Mesti ada pengantar dari RT, RW, Kecamatan dan Kelurahan.

Isinya kurang lebih seperti ini:
Nama: bla bla bla
Dinyatakan Miskin

Lalu di form persetujuan operasi selalu disebutkan seperti ini:
Nama (pasien miskin): bla bla bla
Alamat : bla bla
Ttd pasien miskin

Ouch! Bukankah itu tidak etis? Atau menurut gue aja? Entahlah, tapi menurut gue itu akan menyakiti keluarga pasien.

Terus katanya, kalo pake SKTM, cuci darah dipotong 30%, kalo pake SKM 400ribu atau gimana ya, agak lupa gue. Maklum saat itu gue juga masih blank. Nah kalo ada operasi, maksimal pemotongan 1,8 juta. Berapapun besar biaya operasinya. Mo pake SKM ataupun SKTM.

Tetep berat ya bo!

Nah saat itu, kalimat Orang Miskin Dilarang Sakit langsung terpampang di depan mata gue.

Kalo ada orang miskin yang kritis dan harus segera operasi gimana?

Kamis, 20 Oktober 2011

dageraad

Aku ingin sedikit menceritakan tentang dia.
Seseorang yang cukup istimewa.
Yang sering membuatku tertawa.
Walau kerap membuatku kecewa.

Seperti mentari.
Dia yang membuatku bersemangat setiap pagi.
Dia yang membuat merona pipi.
Membuatku tersenyum setiap hari.

Aku tak malu menceritakannya disini.
Dia yang akan pergi.
Kutuliskan jejaknya di hati.
Siapa tahu dia sudi kembali.

Rabu, 19 Oktober 2011

seperti apa aku nanti

Kadang suka membayangkan gimana kalau pada akhirnya aku hidup bersama seseorang. Akan seperti apa keadaanku. Seperti apa perasaanku. Seperti apa perlakuanku. Seperti apa hubunganku.

Kalau aku misalnya dengan sang A, sepertinya aku akan menjadi kekasih yang setia. :p . Istri yang baik, yang menyayangi keluarga, telaten, memberikan yang terbaik.

Kalau aku dengan sang B, pasti aku akan sering pundung, cemburu, mungkin lama-lama akan meledak. Aku pasti akan berbuat apapun untuk menyenangkan dia. Menjadi orang yg begitu pemaaf, tapi juga menjadi orang yg strategik. Selalu berpikir.

Sebaliknya kalau sama sang C, aku pasti akan menjadi sosok yang manja, egois, keras kepala. Seperti lil princess. Soal
setia atau tidak, aku gak jamin.

Nah kalau sama sang D, bisa dipastikan aku akan hidup dengan 2 peran. Kadang rapuh dan menjelang mati rasa. Menjadi kekasih penurut yg manut diapa2in, dan dipastikan aku akan punya selingkuhan.

Hahahaaaa... Pemikiran macam apa pula ya ini. Sudah ah, aku kembali kerja!

Minggu, 16 Oktober 2011

Ujian Tuhan

Dear Tuhan,

Dengan izinMu

Kan kuhadapi semuanya
Aku takkan menyerah
Akan kulewati semuanya dengan baik

Aku akan bertahan
Meski tanpa pelukan

Tapi Kau kirim malaikat-malaikat
dalam berbagai rupa
Orang-orang istimewa

Tuhan,
Untuk mereka kumohonkan
Kemudahan dalam segala urusan
Kebahagiaan tak berujung
Dan cinta tak bersyarat


Begitu percayanya Engkau padaku

Tuhan..
Aku meyakini,
Kau takkan pernah memberikan sesuatu di luar kemampuanku

Aku terima, Tuhan

Dan tolong berikan juga kesabaran
dan kekuatan untukku
Untuk ayahku
Untuk adikku
Dan untuk mamaku

Rabu, 12 Oktober 2011

Melody Cinta

Senangnya punya pacar lima langkah dari rumah. Kalau rindu tinggal ngomong depan pintu. Tiap hari berduaan merenda cinta yang mesra.

Awalnya kami cuma cium-ciuman, lalu peluk-pelukan. Dan akhirnya aku kebablasan. Aku hamil duluan. Sudah 3 bulan!

Mati aku, ayahku tahu aku berkencan dengan pacarku. Karena kata ayah dia tidak bekerja sehingga ku tak boleh berpacaran dengannya.

Akhirnya dia bekerja di sebrang pulau. Aku jadi punya kabogoh jauh, yang mentas laut, leuweung, gunung.

Tapi apa yang terjadi, dia tak pulang-pulang. Sudah 3 kali puasa dan 3 kali lebaran. Abaaang!!!!!! :'(

Aku mendapat kabar, katanya dia tinggal di RT 05 RW 03, no,10, jalannya jalan cinta. Aku naik bis kota jurusan kota intan.

Berbekal sebuah alamat aku mencarinya. Kesana kemari namun yang kutemui bukan dirinya, sayaaang yang kuterima alamat palsu!!
Kemana..kemana..kemana...

Minggu, 09 Oktober 2011

Opera Cinta

Jadi kamu memilih dia?
meninggalkan aku,
tetap dalam kebodohan?
tersembunyi,
tanpa masa depan?
bersama Sule?!

cecar Azis


Tidak, aku tidak memilih dia
aku hanya tidak memilihmu,
aku akan mencari cinta lain,
aku akan belajar menjadi pintar,
keluar dari tempat gelap,
menuju masa depan yang lebih baik

jawab Nunung



Jadi kamu sudah tahu jawabanku ketika harus memilih di antara mencintai orang yang tidak mencintai kamu atau dicintai orang yang tak kamu cintai..

Pertentangan

Lalu kenapa kalau kulitku putih
mataku sipit

Tak berartikah ketulusanku
kesungguhanku
kesabaranku
cintaku

Apakah karena caraku menyembah-Nya
berbeda denganmu

Apalah artinya pertentangan ini
jika sejatinya hati kita memang saling mencinta?


*Tetes hujan masih membasahi bumi, Tao Ming Tse masih mematung di halaman belakang rumah Aisyah. Semalam Pak Haji Rhoma, ayah Aisyah melarangnya untuk berpacaran dengan Tao Ming Tse lagi. Haram katanya.

ICU

Matahari sudah condong ke arah barat. Aku berjalan santai menuju tempat kost, tak jauh dari kampusku. Beberapa teman menawarkan boncengan, dengan sopan aku menolaknya. Aku ingin menikmati udara sore ini, begitu indah.

Ponselku bergetar, ada telepon masuk.
“Halo, bisa bicara dengan Sarah?”
“Iya betul saya Sarah, ini siapa ya?”
“Prita..”
Dug. Jantungku serasa berhenti. “Mau apa kamu telepon saya?”
“Papa kamu masuk rumah sakit..”
“Terus?”
“Papa kamu kena serangan, sebaiknya kamu kesini.”
Klik. Telepon ditutup. Aku menghela napas. Galau.

Sudah tiga tahun semenjak perpisahan orang tuaku, aku tak berbicara banyak dengan papa. Terakhir kali bertemu delapan bulan lalu, ketika nenek meninggal. Bahkan pada saat lebaran aku lebih memilih berlebaran di Jogja, tempatku kini menetap. Mama mengunjungiku di hari lebaran ke dua. Membawakan lontong kari buatannya.

Aku begitu marah kepada mereka, terutama pada papa. Terlebih ketika dia mulai berhubungan dengan Prita, seorang gadis yang hanya tiga tahun lebih tua dariku. Prita memang tidak ada hubungannya dengan perpisahan mama dan papa. Papa bertemu Prita sekitar dua tahun lalu, tapi tetap saja aku marah, kehadiran Prita mempersulit keinginanku untuk mempersatukan kembali mama dan papa.

Sesampai di tempat kost aku segera mengambil wudhu. Berharap bisa mendinginkan hati dan pikiranku. Begitu marahnya aku ketika mendengar suara Prita. Ah, kenapa mesti dia yang menghubungiku. Kenapa tidak papa saja yang meneleponku, kalau dia memang menginginkan kehadiranku disana. Atau memang keadaan papa sudah kritis?
**

Kami bertiga berada di ruang ICU, memperhatikan papa. Tidak ada percakapan. Kemarin aku segera menelepon mama, lalu segera mencari tiket pesawat menuju Jakarta.

Dokter John menghampiri kami, “Bapak terkena serangan masif, akibatnya jantung gagal memompa dengan baik. Ada sumbatan mengenai pangkal pembuluh koroner utama. Sebaiknya kalian selalu berada di sampingnya.” Tak lama beliau keluar. Meninggalkan kami, masih dalam keheningan.





Perlahan jemari papa merengkuh tangan mama. Mama menggenggamnya, seolah bisa membagi rasa sakit yang dirasakan papa. Pandangan sinis kulemparkan pada Prita saat ia pamit mengambil minum setelah sekilas melihat papa dan mama berpegangan.

Monitor di samping ranjang papa berbunyi, tampak garis lurus di layarnya. Aku merasa ini bukan hal yang baik. Aku berteriak memanggil dokter. Dokter dan perawat segera melakukan defibrilasi. Aku dan mama dievakuasi ke luar ruangan. Prita segera menghampiri kami, khawatir. "Ada apa?" tanyanya. Aku menggeleng, tak tahu. -atau memang hanya tak ingin menjawabnya-



Tak lama dokter keluar ruangan, “Syukurlah, beliau sudah kembali.”
Alhamdulillah, rupanya tadi jantung papa sempat tak berdetak. Kami diperbolehkan kembali masuk. Prita pamit untuk pulang, sudah dua hari ini ia menunggui papa. Aku mengijinkannya, -atau membiarkannya-, entahlah.

Aku dan mama duduk di samping papa. Papa nampak lebih kurus, tulang pipinya menonjol. Rokok telah menggerogoti paru-paru juga memperburuk kondisi jantungnya. Aku merasa bersalah tak pernah melarangnya merokok lagi. Dulu ketika kami masih bersama aku bak satpol pp, memarahinya jika ia ketahuan merokok. Menciumi kemejanya ketika pulang kerja kalau-kalau dia nakal merokok di saat aku tak mengawasinya.

Papa mulai sadar dari tidurnya, dia menatap wajah mama. Mama mengusap air matanya. Aku masih bisa melihat cinta di mata mereka. Mereka masih saling mencintai.

Aku bersyukur melihat papa berada di ruangan ini. Melihatnya tergeletak tak berdaya, kritis. Bukan, bukan karena aku marah padanya. Tapi kami jadi bisa berkumpul. Aku, mama, papa. Tanpa makian, amarah, atau sumpah serapah.

Papa melirik ke arahku. Aku segera beranjak, mendekatinya. Menggenggam tangannya.
“Maafin papa..” katanya terbata-bata.
“Gak pa, aku yang minta maaf, aku yang banyak salah..” kataku sambil berurai air mata.
Papa tersenyum. Lalu kembali melirik mama. “I love you..” lalu menghela napas. untuk terakhir kalinya
Tuuuuuut............ monitor kembali menunjukan garis lurus.

Surat Dari Mantan

Mantanku yang cantik

ada apa denganmu?

awan hitam bergalayut di paras ayumu

senyum tak lagi mengembang di bibir mungilmu

Siapa yang membuatmu seperti ini?

dia kah?

Dear,

sungguh dia tak pantas kau tangisi

kau ratapi

kau nanti

Dear,

bangkitlah

kembalikan semua semangatmu

keceriaanmu

akal sehatmu

Dear,

bahuku akan selalu ada untukmu



-always B-





*Sri melipat kembali surat dari Budiono, napasnya terasa berat air mata mengalir ke pipinya. Ah, andai saja aku dulu tak menyia-nyiakannya. Tapi kurasa semua sudah terlambat, ia sudah menikah dengan perempuan lain..

gimme a clue

Kamu,
rubiks yang belum bisa kususun 


Kamu,
rumus fisika yang belum bisa kupecahkan 


Kamu,
senyawa kimia yang belum kutemukan 


Kamu,
bilangan X yang belum kupunya 


Kamu,
teori yang belum bisa kuaplikasikan

Bolehkah, Tuhan?

Tuhan,
Aku selalu merindunya
setiap kuhirup udara pagi
sepanjang hari
dalam malam-malam
ketika tetiba kuterjaga
dan setiap mataku tak dapat menangkap sosoknya

Tuhan,
tidakkah Kau lihat ia begitu baik?
Begitu sempurna di mataku.
Entah sudah berapa lama jantung ini tak berdebar begitu hebat
Entah berapa masa yang kuhabiskan untuk mempersiapkan saat ini

Tuhan,
dia kah jawabMu?
Sungguh aku akan menjadi hamba yang baik
Sungguh aku akan menghindar dari yang nakal-nakal

Tuhan,
bolehkah ia menjadi milikku?

Belajar Melangkah


Kesekian kali

Melenggang kaki

sedikit berlari

menjauh pergi

Meski agak berat di hati

Kucoba lagi


Siapa suruh kau tikam jantungku

tinggalkan jejak di sudut hatiku

membuatku terpaku

dalam rindu

setelah kau terikat ragu

Malam Dingin


Mataku terpekat

tak pernah ku merasa begitu hangat

selain dalam dekapanmu yang erat

dulu, sebelum kamu menjadi keparat



Sunyi mengintip dari balik lemari

menertawakan aku yang sendiri

Bajumu masih tersimpan rapi

begitupun dengan semua memori

Supersub


Bersamamu ketika kamu tak bersamanya

Menggenggammu ketika kamu tak memenggamnya

Menciummu ketika kamu tak menciumnya

Memelukmu ketika kamu tak memeluknya

Kau pikir enak?

Datanglah padaku ketika dia sedang bersama lelakinya

Genggamlah tanganku ketika tangannya menggenggam lelakinya

Ciumlah bibirku ketika bibirnya sedang berpagut dengan lelakinya

Peluk tubuhku ketika tubuhnya dipeluk lelakinya.

Akan kuikat badanmu

kuborgol tanganmu

kuplester mulutmu

kucuci otakmu

Lalu kugantung di tiang jemuran!

Berhenti di Kamu


Perjalanan cukup panjang
Seperti drama seri bermusim-musim

Kutemui berbagai macam tipikal
Dari a sampai z

Tawa dan air mata mengiringi setiap tonil

Aku pernah terbang ke langit tujuh
Pun terpuruk hingga di titik nadir

Sempat lelah
Lalu ku beranjak lagi

Mencoba kumpulkan tiap kepingan yang terserak
Berdiri, berjalan dan berlari

Kamu ada disana
Dengan senyum tulus
Pelukan hangat
Kecupan manis

Pencarianku
berhenti di kamu

Kala Hujan

Imlek belum datang, tapi musim penghujan sudah sejak awal bulan lalu mengguyur kotaku. Dari kecil aku suka hujan, sekarang lebih suka hujan. Hujan itu romantis, walau menurut pacarku, aku bukan pria romantis.


Waktu kecil aku sering bermain bola ketika hujan, bersepeda ketika hujan, main perang-perangan ketika hujan. Kami tidak akan berhenti sampai ibuku berteriak memanggil kami. Kunikmati ketika keringat bercampur lumpur serta air hujan yang tak sengaja menempel di lidah, rasanya asin, mungkin karena tercampur sesuatu dari hidungku juga, hehe. Biasanya ibuku akan memelukku semalaman ketika badanku demam karena kehujanan. Aku suka sekali dipeluk ibu, mungkin itu sebabnya aku tak berhenti main di kala hujan.


Ketika SMA aku juga suka hujan. Aku suka ketika teman-teman perempuanku berlarian di bawah hujan. Seragamnya jadi jadi basah, aku bisa menerawang apa yang di tutupinya. Hahaha. Apalagi kalau si Mita yang hujan-hujanan, hmmm aku dan Bani tidak akan beranjak dari tempat nongkrong kami.


Aku makin suka hujan ketika berpacaran dengan Tia pacarku sekarang. Dia sangat suka hujan, dia suka dengan bau air hujan bercampur dengan tanah. Bau yang khas, sangat Indonesia, karena menurutnya di Perancis tidak ada bau seperti itu. Dia memang sempat beberapa tahun tinggal di Perancis. Dia teman SMAku, Tia temannya Mita, mereka dulu paling suka hujan-hujanan. Mungkin itu salah satunya aku suka melihat Mita hujan-hujanan, karena Tia juga pasti ikut hujan-hujanan.


Minggu kemarin Tia minta diantar ke mall. Dia membeli lima jaket. Hijau, biru, pink, merah dan hitam.


Aku: "Sayang, kamu beli jaket warna-warni gitu sih?"


Tia: "Kan biar matching Say, kalau aku lagi pake baju ijo jaketnya yang ini, biru pake yang ini, pink yang ini.."


Aku: "Ya ampun, dasar miss matching..jaket aja mesti seragam.."


Ya dia memang begitu, kalau pake baju hijau, tas juga mesti hijau. Kalau pake baju coklat, sepatu juga mesti coklat. Pake baju merah dalemannya juga merah, #eh kok aku bisa tahu ya :p


Ketika hujan Tia malah gak mau bawa mobil, dia lebih senang numpang motorku. Lebih romantis katanya, dia senang-senang aja walau malam harinya dia akan demam, karena aku yang harus menemaninya semalaman. Aku juga sebenarnya suka sih, hehe.


Pernah suatu kali di saat hujan, kami bertengkar hebat, Tia sampai tidak mau memakai jas hujan, dia ingin turun, tapi aku tidak mau menurunkannya karena sudah malam dan tidak ada taxi atau angkot saat itu. Setelah dia mengancam akan loncat, aku terpaksa berhenti, kami saling berteriak di bawah hujan, saling menyalahkan satu sama lain. Untung gak lama ada angkot berhenti. Kulihat Tia menangis ketika naik angkot. Penumpang lain langsung memberikan pandangan kasihan terhadapnya. Aku masih marah, tapi tetap kuikuti sampai rumahnya.


Saat musim hujan dua tahun lalu rumahku sempat kebanjiran, semua barang-barang elektronik dijejalkan di kamarku yang berada di lantai atas. Aku sempat masuk teve ketika nongkrong di atas genteng. Teman-teman langsung meneleponku. Dan tidak ada satupun dari mereka yang mengucapkan prihatin atas rumahku, semuanya mengatakan kalau aku hebat bisa masuk teve, sayang, rambutku sedang acak-acakan jadi agak kurang kameraface. -__-!!


Aku juga pernah mendorong mobil Tia ketika tiba-tiba sedan buatan eropanya itu mogok. Di bawah hujan deras jam satu siang aku mendorong mobilnya ke bengkel sekitar lima kilometer. Di balik kemudi dia senyum-senyum sambil makan roti buatan ibuku. "Ayo terus dorong bang!" aku hanya tersenyum kecut.


Aku ingat kami pernah menari di bawah hujan, di depan kampusku -calon-kampusku-saat-itu- ketika namaku tercantum sebagai mahasiswa baru disana. Seperti dua bocah, seperti adegan film india, kami menari dan loncat-loncat di parkiran kampusku, di bawah hujan.


Suatu kali, pernah kami naik becak di bulan puasa, kami disuruh ibu untuk mencari kolak. Karena hujan, ibuku melarang memakai motor, akhirnya kami berkeliling komplek naik becak di bawah hujan, di dalam becak yang tertutup plastik, kami saling berpegangan, dia menyandarkan kepalanya ke bahuku, di belokan komplek dia menadahkan kepalanya berniat membisiki sesuatu, tapi hidungnya tak sengaja menyentuh bibirku, lalu kami hehe kami pun batal duluan..Maafkan kami bu, maafkan kami Tuhan..


Ah banyak sekali hal terjadi ketika hujan. Senang, sedih, konyol.. Kira-kira apalagi hal-hal yang terjadi hujan kali ini ya?

Jumat, 07 Oktober 2011

Pesan Yang Tertukar

Jatuh cinta sejuta rasanya.

Benar sekali!!

Sampai-sampai aku tak bisa mengungkapkannya.

Malah banyak melakukan hal bodoh di depanmu.

Kita selalu tersenyum saat berpapasan.

Wajahku memerah.

Wajahmu juga.

Aku senang jika kita sudah duduk bersama.

Tak banyak kata yang terucap.

Tapi begitu padat komunikasi yang terjalin.

Yang kutahu kita sedang jatuh cinta.

Aku jatuh cinta padamu.

Kamu jatuh cinta padanya.



*hoalaah iki semua salah si jaja penjaga kostku. Aku sing kirim puisi dan bunga buat mbak kenes, lha dia bilang dari mastur. Bukan mbak, surat dan bunga yang sampeyan dapet dari aku. Mas Turino, bukan dari si mastur!!*

Sebentar yo, aku mau nangis di bawah shower dulu. Meratapi nasib. Gustiii..

Rabu, 05 Oktober 2011

Telur Dadar Setengah Gosong

Apalagi yang lebih bersahaja dari cinta dalam kesederhanaan?

Kami terlahir dari keluarga yang kata orang beda kasta. Dia orang kaya dan aku orang tak punya. Bak kisah cinderela, dia bisa mencintaiku apa adanya. Meskipun ada pertentangan dari keluarga besarnya.

Setelah sama-sama lulus SMA aku mendapat pekerjaan sebagai staf produksi di sebuah food company. Dia sendiri meneruskan kuliah.

Setahun kemudian dia melamarku. Keluarganya tak terima. Dia diusir dari rumahnya. Tapi dia tetap nekad menikahiku. Seperti kisah sinetron ya? :)

Dalam kesederhanaan kami mulai mengarungi samudera pernikahan. Kami tinggal di sebuah kontrakan seluas 3x3m. Selain kuliah dia pun bekerja sebagai pekerja lepas di sebuah perusahaan otomotif.

Suatu hari aku pulang kerja lebih awal. Badanku panas, perutku mual. Dia menjemput lantas membawaku ke dokter. Ternyata aku hamil.

Dia merawatku dengan penuh perhatian. Kalau biasanya aku yang melayani dia dari ujung kepala hingga ujung kaki, kini dia yang melakukannya padaku. Bahkan dia memasak untukku. Sebuah telur dadar yang satu sisinya gosong. Ditutupinya dengan kecap manis, juga senyuman yang tak kalah manis.

Setelah melahirkan seorang putra tampan, keluarganya mulai menerimaku. Bahkan mereka mengajakku tinggal di rumahnya. Sempat aku menolak, tapi melihat kebahagiaan yang terpancar di mata suamiku karena diterima lagi di keluarganya aku tak tega.

Kehidupan kami mulai membaik. Setelah mendapat gelar sarjana dia mendapat sebuah showroom motor hadiah dari orangtuanya. Sebagai bekal untuk kehidupan kami kelak katanya. Aku sendiri sudah tak bekerja semenjak hamil dahulu. Kandunganku terlalu lemah. Aku tak boleh kecapekan.

Suamiku semakin kiat bekerja. Bahkan di tahun ke dua kami sudah mempunyai rumah sendiri. Aku hamil lagi anak kedua. Bisnisnya makin maju.

Dia bahkan berencana membuka showroom keduanya. Dia makin sibuk, makin jarang bertemu denganku juga putra kami.

Menginjak usia kandungan ke tujuh bulan aku jatuh sakit. Ada flek yang keluar, ibu segera membawaku ke RS. Dia tidak bisa menemaniku karena sedang berada di luar kota. Aku dirawat di ruang VIP. Ruangannya tak mirip dengan Rumah Sakit malah lebih menyerupai kamar hotel.

Hingga hari ke empat aku diopname, belum juga kami bertemu. Katanya dia sempat menjengukku sebentar di RS, malam ketika aku terlelap setelah minum obat. Entahlah.

Aku merindunya, sungguh. Aku tak perlu dirawat di kelas VIP seperti ini, dijaga oleh dua suster. Aku tak butuh mereka. Aku hanya butuh suamiku. Butuh dia di sampingku. Dengan telur dadar yang satu sisinya gosong. Yang dia tutupi dengan kecap manis. Juga dengan senyumnya yang manis.

Nonton AC Milan LIVE! (^^,)//


Ini adalah late post yang seharusnya gw post awal bulan lalu. Tapi gapapa ya :)


Dulu gw sempet upload stadium-stadium terbaik versi gw (di blog lama), yang tentu saja ingin gw datangi. Salah satunya San Siro, dimana gw bermimpi untuk nonton AC Milan secara live. Nah beberapa waktu lalu, beruntung gw bisa menonton klub favorit gw itu secara live meski belum di San Siro. :p


Awal bulan, tepatnya tgl 4 September gw nonton Milan Glorie vs Indonesia Legend di GBK. Bersama sahabat dan adik gw yang nyata-nyata seorang interisti. Hahahahaa pasti dilema sekali ketika dia berada di antara lautan Milanisti :))


Permainan sudah pasti tidak imbang ya, heuheu. Beda kelas. Sekalipun sama-sama udah 'lejen', tim tamu pasti lebih menguasai permainan. Tapi bukan berarti tim Indonesia gak ada upaya. Sempet beberapa kali bola terbang di area gawang Milan.


Kami para Milanisti terbagi hati antara jiwa sebagai pendukung Milan sekaligus pendukung Indonesia. Maka gak aneh kalo kami berseru ketika Billy Costacurta menembak ke arah gawang Indonesia, juga bersorak ketika Rocky Putiray mendekati kotak penalti Milan.


Yel-yel Milan dinyanyikan bergantian dengan Garuda di dadaku. Tidak, kami tidak labil. Tapi memang kami menonton tanpa ada beban. Kami mendukung kedua tim :)


Menonton pun agak peer. Namanya nonton di stadion, jarak pandang jauh ya bo. Udah mah gak hapal semua susunan pemain. Dan tau sendiri di GBK kagak ada layar teve yg nyiarin. Itu layar segede gaban cuma jam doang pan yak. Jadi pas ada gol kagak ada replay. Mo dengerin MC, soundnya udah pasti kalah ama suara penonton. Jadi kalo ada gol atau pergantian pemain gak aneh ada nanya-nanya  "sapa tu yg golin?" "sapa tu yg diganti?" :)) 



Nah orang di depan gw dengan pintarnya bawa HP yang ada tipinya. Jadi kalo ada kejadian penting yg gak ngerti, doi langsung nyalain hapenya. Gw? curi-curi pandang ke layar pleus curi-curi dengar pas temennya nanya "siapa bro?" :))


Lesson: Jadi jangan suka ngeremehin hp cina. Ada gunanya bo!


Pergantian pemain yang paling kocak pas Dida yang udah ditarik keluar terus masuk lagi dan jadi striker. Berhubung Dida -sepertinya- yang paling dikenal oleh seantero penonton GBK maka kami bersorak sorai sekaligus terheran-heran kenapa bisa seperti itu. Tapi ya namanya charity match yak?! :)


Oh ya ternyata oh ternyata serombongan penonton di depan kami adalah keluarga Roy Jekoniyah (gitu bukan sih nulisnya?) vocalist boomerang. Dan ternyata oh ternyata lagi, doi ganteng! Sekeluarga ganteng! Gw -yang bahkan ngak tau lagunya- minta poto bareng. Ayeeee!


Berhubung tanggal 4 adalah hari terakhir masa liburan lebaran, yang artinya itu adalah hari minggu, dan besoknya adalah hari Senin dimana gw mesti masuk kerja. Agak peer ketika harus mikir gimana ceritanya pertandingan yang baru mulai jam 7 malam, selesai pasti sekitar jam 9 malam. Dan harus melewati perjalanan pulang ke Bandung sekitar 3 jam-an, dan besok paginya harus datang jam 7 pagi di kantor.


Perjalanan perginya juga cukup bikin iris nadi bo! -nadi ayam yah- secaraaaa gw berangkat sabtu malam, dimana saat itu adalah puncak arus balik. Kami stuck di KM 80-57 Tol Cipularang. Udah pengen nangis aja mameeennn... Mana dari KM 90 gw udah parno gegara siangnya kecelakaan bang ipul.


Perjalanan pulang sih lancar jaya! Tapi gw yang berada di bus 3/4 sebuah travel ternama, yang penumpangnya cuma gw dan adek gw. Eh pas mo berangkat ada juga deng 3 orang yang naik di belakang. Dan langsung molor. Ternyata e ternyata sang sopir ngantuk. Ngantuk tingkat tinggi sampai terantuk-antuk. Takutlah gw... secara yang masih hidup banget cuma gw dan kenek. Gw suruh aja istirahat dulu di rest area. Lha dasar ngantuk, udah masuk ke rest area bukannya ke tempat parkir malah belok ke arah keluar. Masuk jalan tol lagi kitah!


Dengan gagah berani gw langsung suruh sopir untuk menepi. Daripada celaka kaan?! akhirnya kita berhenti di pinggir jalan. Gak jauh dari rest area. Sopirnya gw suruh beli kratingdaeng, gw suruh ngerokok, gw suruh jalan-jalan dulu. Pokoknya bikin dia seger deh. Dan dia nurut. Alhamdulillah, gw sampai dengan selamat sampai tujuan.


Tapi ternyata semua capek hilang setelah gw benar-benar menyaksikan secara langsung klub favorit gw. Meski udah ketinggalan 2 travel dan mesti gambling nyari on the spot travel balik ke Bandung. Toh setelah nyampe rumah sekitar jam 1 pagi gw tetap merasa happy. :)



Gw sebagai Milanisti -cieee- pasti bangga dong. Nonton klub favorit secara live!


Banyak yang ngeledekin karena yg tanding bukan starting eleven sekarang. Tapi tetep aja, Milan bo! Klubnya, bukan sekedar pemainnya..


Gak bisa dipungkiri pertama kali gw ngefans Milan karena Kaka'nya. Sempet galau juga ketika Kaka' pindah ke klub yg gak gw suka. Tapi ternyata lama-lama gw menyadari bahwa gw cinta Milan. Sekalipun pelatih berganti, pemain angkat kaki..


Memang bukan hanya Milan klub favorit gw. Masih ada Chelsea, Liverpool, Barcelona dan tentu saja Persib. Hehe. Siapa tahu gw juga bisa nonton klub terbaik lainnya suatu hari nanti. Bukan saja ketika mereka berkunjung ke Indonesia, tapi gw bisa nonton di stadium kebanggaannya masing-masing. -give me Amin please-

Selasa, 04 Oktober 2011

Seperti Yang (kurasa) Mama Inginkan

Kakak tertawa puas setelah merobek poster NKOTB di depan perosotan sekolah. Poster yang kubeli dari uang jajanku selama seminggu. Aku tidak jajan seminggu tahu!


Dia bilang aku gak pantas menyukai NKOTB. Aku masih terlalu kecil. Padahal aku suka sekali pada Jordan Knight. Dia begitu tampan! Aku suka menciumnya setiap pagi dan sebelum tidur. Itu kurasa alasannya kakak merobek posterku.


Aku segera berlari ke arah mama. Mengadukan perilaku kakak. Mama langsung menjewernya. "Kamu jangan rusak barang adikmu!" Aku tersenyum senang. Kakak mendengus kesal.


Dia juga marah besar ketika mendapati aku di depan meja rias sedang memakai lipstik dan eye shaddow mama.
Bahkan dia sempat merobek rok yang kupinjam dari teman sekelasku.


Mama saja gak protes, kenapa kamu yang ribet sih.


Kakak sangat menyebalkan! Dia memaksaku mengikuti kegiatannya. Main bola, layangan, main kelereng. Huh!


Aku merasa memang mama lebih menyayangiku dibanding kakak. Kakak selalu memaksakan kehendaknya. Tidak seperti mama, beliau lebih sering mengajakku jalan-jalan, belanja dan ke salon. Aku tergelak ketika di manicure dan pedicure, geli sekali rasanya.


Seperti yang kakak bilang, aku ini kayanya puber dini. Masa aku udah suka pada teman sekolahku. Dan tentu saja kakak lagi-lagi melarangku.


Ramon, namanya. Dia TK 0 besar. Rambutnya selalu terlihat klimis. Dia juga tidak nakal, selalu mengantre saat main perosotan, tak pernah mendorong ayunan temannya tinggi-tinggi. Tawanya begitu riang ketika main jungkat-jungkit.


Ketika aku menginjak bangku SD mama tiada. Dulu aku kira kakak akan menjahatiku setelah mama pergi. Nyatanya tidak. Bahkan sekarang dia lebih baik padaku. Tak pernah mengolok-olok, membentak, atau mengerjai aku. Dan yang pasti dia sekarang mau menerima aku apa adanya.
***


"Hei bengong aja kamu!" Serunya membuyarkan lamunan. Aku bangkit dari ayunan. Tadi pagi setelah nyekar ke makam mama aku menuju TK Ceria. Sekolahku dua puluh tahun yang lalu.


"Udah siang, ntar gak keburu ngejar pesawat loh." Katanya lagi.
"Iya, ayo kak.." Ujarku seraya berjalan menuju mobilnya.


Kakak mengantarku ke bandara. Penerbangan CGK-BKK lepas landas sekitar dua jam lagi. Aku menyambut kehidupan baruku. Kelamin baruku. Seperti yang kurasa mama inginkan sejak dulu.