Senin, 19 Desember 2011

Rasa dan Masa yang Tak Seirama

"Apa? Tak terjangkau? Gila kamu! Ngaca. Mas yang gak pernah bersungguh-sungguh mendapatkan aku. Sedikit aja kamu berusaha mas untuk aku.. Gak ada mas, gak ada. Kamu yang membiarkan aku pergi. Kamu yang lepasin aku!"

Umar tertegun. Tanpa jeda kubombardir dia dengan rasa yang setahun ini menyesak di dada.

"Dik.."

Aku membuang muka. Tetesan hangat mengalir melawati pipi. Terisak.

*
Kami berkenalan ketika syukuran empat bulan kehamilan kakakku. Papa mengundang sahabatnya, Gus Noor seorang pimpinan pondok pesantren di Jawa Timur beserta istri dan putranya, Umar.

Namanya juga anak ustad, pakaiannya rapi, mukanya bersih dengan sedikit rambut halus di dagunya, ada sedikit tanda di dahinya barangkali saking seringnya ia merendahkan kepalanya di hadapan Tuhan.

Bukan tanpa tujuan mereka diundang khusus oleh papa. Selain untuk memberi tausiah, mereka berniat menjodohkan kami. Papa dan mama tahu benar aku sedang dalam masa patah hati setelah ditinggal pergi Viky. Pria yang memacariku lebih dari tiga tahun ini.

Aku memandang sinis. Dia memberiku senyuman manis. Ck! Kulepaskan pashmina yang disangkut asal-asalan di kepala. Tanda bahwa aku tak menerima perjodohan ini. Aku anak nakal. Tak cocoklah dengan santri macam dia. Kuharap mereka mengerti.

Rupanya mereka tak patah arang. Dengan alibi sedang ada proyek bersama papa, Umar tak ikut kembali ke kampungnya. Dia mengontrak sebuah rumah yang hanya lima belas menit jaraknya dengan rumahku. Aku makin sebal.

Entahlah. Aku masih patah hati. Ini kesekian kali aku putus dengan Viky. Tapi sepertinya saat ini dia benar-benar pergi. Di malam tahun baru aku menangis menjadi-jadi.

Untunglah aku punya sahabat-sahabat yang begitu hebat. Ramai-ramai mereka memelukku dengan hangat. Menyemangatiku bahwa masih ada masa depan yang lebih baik sekalipun tak bersama si keparat.

Seperti air yang menetesi batu, perlahan aku mulai luluh. Di tengah hatiku yang pilu, apakah dia yang Tuhan pilihkan untukku? Apakah ini pintu menuju kebahagiaanku, di awal tahun baru?

Aku yang awalnya sengaja bertingkah menyebalkan di depan Umar kini mulai menjinak. Memakai celana panjang dan cardigan jika bertemu dengannya, bahkan aku mulai memberikan senyum untuknya.

Sekali waktu pulang kerja ia menjemputku. Di tengah kemacetan, adzan maghrib berkumandang. Ia memanggil seorang pedagang asongan.

"Aqua satu, pak." Dia menyerahkan selembar sepuluh ribuan. "Minum dik?" Tawarnya padaku. Aku menggeleng. Dia melambaikan tangannya ketika pedagang asongan itu hendak memberikan uang kembalian. Pria itu tersenyum, "terimakasih mas."

Umar membuka segel minumannya. Samar kudengar dia membaca doa berbuka puasa. "Mas puasa?" Tanyaku. Dia mengangguk, "Kemis dik." Hoo, aku ikut mengangguk. Entah apa arti anggukanku.

Dak dik dak dik. Cuma dia yang memanggilku 'dik', kependekan dari 'adik'. Dan entah kenapa aku memanggil dia mas. Awalnya canggung, lama-lama aku suka juga dengan panggilan itu. Bosan aku dengan panggilan sayang macam 'yang', 'beb'... Tunggu... Panggilan sayang? Emangnya 'dik' itu panggilan sayang dia ke aku? Sayang? Sayang oppooo tho nduk! Lha kok aku malah boso jowoan??

Tetiba mukaku merona, berkutat dengan khayalan dan analisaku sendiri. "Kenapa dik?" Umar membuyarkan lamunanku. Mukaku makin memerah. Aku menggeleng tegas. "Mo buka puasa dimana?" Mengalihkan pembicaraan.

"Adik mau makan apa?" Dia balik tanya.
"Terserah." Jawabku, standar.

Dia membelokkan setirnya, di sebuah rumah makan khas Jawa Timur. Sepertinya dia kangen kampungnya.

Sesaat setelah mencari meja dia pamit shalat. Tak sedikitpun ia menyuruhku ikut shalat.
"Bareng. Aku juga lagi shalat kok." Kataku, membuntutinya. Dia tersenyum. Eh tumben aku mau shalat tanpa disuruh.

Setelah meminjam mukena pegawai restoran, aku berdiri dua shaf di belakangnya, agak sebelah kanan. Mushola sudah kosong, karena jarum jam sudah hampir menunjuk angka tujuh. Lirih tapi jelas dia mengucap takbir. Aku mengikutinya.

Kulihat setiap gerakannya. Kepalanya menunduk ke arah sajadah ketika melantunkan fatehah dan tabarok. Punggungnya lurus ketika ruku', dahinya rata menyentuh sajadah, bibirnya sedikit mengangkat, bisa kudengar samar tasbihnya, jarinya kakinya melipat sempurna ketika duduk di antara dua sujud. Astaghfirullah, kenapa aku malah memperhatikan dia. Jauhlah aku dari khusyu'nya shalat.

Selepas salam dia mengadahkan tangannya. Matanya sedikit terpejam lalu tangannya mengusap muka. Amin. Dia berbalik, tanpa komando aku salim padanya.

Ini salim pertamaku terhadap seorang pria. Salim pertama yang dilakukan setelah shalat berjamaah pula. Padahal tak ada seorangpun yang menyuruh. Umar sekalipun.

Sahabatku bilang semenjak malam itu aku berubah. Penampilan, sikap, gaya hidup.. Aku memang tidak menjadi berkerudung, tapi setidaknya jika akan bertemu Umar aku tidak akan memakai mini dress atau kaos lengan pendek seperti yang biasa kukenakan.

Ini bukan masalah pakaian saja, tapi kemauanku untuk berpakaian sopan di depan Umar. Itu kata sahabatku. Aku mau berubah hanya demi seorang Umar.

"Umar yang nyuruh lo pake baju rapi gitu?" Tanya Wina.
"Enggaklah, dia gak pernah nyuruh-nyuruh atau ngelarang gue apapun"
"Iya sih, gue kenal lo, lo ga kan mau disuruh atau dilarang kaya gitu. Makanya gue heran kok lo mau berubah buat dia. Lo suka dia ya?"

Suka? Masa sih? Umar benar-benar bukan tipe pria idamanku. Viky dan mantan-mantanku yang lain benar-benar berbeda dengannya. I'll always fallin in love with a bad boy. Cowok alim, ikhwan macam dia gak pernah ada di kamusku.

Entah bagaimana, ceritanya kami masuk dalam fase taaruf. Pengenalan, penjajakan, semacam itulah. Boro-boro ada kecupan hangat, pegangan mesra aja gak ada. Satu-satunya masa kulit kami bersentuhan adalah jika aku salim padanya. Seusai shalat.

*
PING!
Godaan mulai menerpa. Sebuah seruan dari seseorang yang kukira sudah pergi jauh. Viky.

Batinku berkecamuk. Tak bisa kupungkiri. Aku masih mencintainya. Dan sepertinya masih ada harapan untukku bersamanya. Tapi bagaimana dengan Umar?

Dia tahu sekali kelemahanku. Ketika tahu aku sedang dekat dengan Umar, semua jurus dikeluarkannya. Kata-kata manis menyebar di setiap notification bb. Sms, bbm, twit. Jemputan di pagi hari, ajakan makan siang.. Aku sampai tak bisa bermapas dibuatnya!

Umar mulai mencium gelagat tak baik. Tak berapa lama dia kembali ke kampungnya. Setelah menyudahi hubungan kami. Aku putus dengan Umar. Eh, putus itu kalo pacaran ya? Kalo penjajakan gitu apa namanya? Ahh pokoknya semacam itulah.

Beberapa bulan kemudian aku kembali berpacaran dengan Viky. Dia memang berubah. Mama dan papa akhirnya menerima kembali Viky setelah dia membawa orang tuanya untuk bersilaturahim.

Hubungan kami makin serius. Bahkan orangtuanya sudah merencanakan lamaran. Insya Allah awal tahun depan akan dilaksanakan.

*
Sebelum natal aku ditugaskan ke Pacitan. Kira-kira tiga hari aku disana. Bukan masalah tiga harinya, tapi Pacitan. Disana Umar tinggal.

Keluarganya masih berhubungan baik dengan keluargaku. Termasuk Umar. Dia bahkan sengaja datang ke rumah untuk mengundang kami di pernikahannya. Iya, beberapa bulan lalu Umar menikah. Tentu saja aku tak ingin datang. Entah dimana akan kutaruh mukaku untuk menghadapi orangtuanya.

Mama dan papa mengira bahwa keputusan Umar meninggalkanku adalah karena aku yang sengaja membuat ilfeel Umar, aku bertingkah macam-macam di depannya. Ya Tuhan, tak adakah yang percaya bahwa sesungguhnya aku benar-benar berubah?

Sebuah sms masuk ketika turun dari kereta. Dari Umar.
"Assalamualaikum, apa kabar dik? Saya dengar adik hari ini ke Pacitan ya. Kalau sempat kita silaturahim."
DEG. Hatiku tak keruan sepanjang perjalanan ke hotel. Aku bahkan masih terlihat bloon ketika bertemu dengan kolega siang harinya. Silaturahim? Ketemu dengan Umar? Umar.. Umar.. Hanya itu yang ada di kepalaku di ruang meeting.

*
Entah bagaimana, malam itu aku sudah berada di mobil Umar. Dia mengajakku mencicipi restoran favoritnya di Pacitan. Seperti dua orang sahabat, walau awalnya canggung, kami bisa menguasai keadaan. Obrolan ringan seputar hidup, pekerjaan mengiringi perjalanan pulang menuju hotel.

"Bulan depan aku lamaran mas."
"Dengan Viky? Selamat ya. Alhamdulillah.."
"Iyalah, sama Viky. Siapa lagi.."
"Iya, akhirnya kamu bersama lagi dengan pria yang kamu cintai dik."
"Maksud mas?"
"Viky memang tak tergantikan. Dia selalu di hatimu kan."
Dahiku mengernyit. "Maksud mas apa?"
"Aku sadar diri dik. Kamu sangat mencintai Viky. Aku gak akan pernah bisa dapatin kamu. Gak kesampaian.."
Dadaku sesak. Merasa dipersalahkan. Kuluapkan semua rasa yang kusimpan selama setahun. Kubombardir dia tanpa jeda.
"Apa? Tak terjangkau? Gila kamu! Ngaca. Mas yang gak pernah bersungguh-sungguh mendapatkan aku. Sedikit aja kamu berusaha mas untuk aku.. Gak ada mas, gak ada. Kamu yang membiarkan aku pergi. Kamu yang lepasin aku!"

Umar tertegun.

"Aku mencintaimu, mas."

Di basement hotel, dengan mata yang masih basah aku turun tanpa sepatah kata. Kubanting pintu mobilnya. Dia segera mengejar.

"Dik.. Tunggu.." Tanganku ditariknya. Padahal dulu tak pernah ia menyentuhkan kulitnya padaku, selain ketika salim setelah shalat. "Apa benar kamu mencintaiku? Pernah mencintaiku?"

Aku menatap matanya. Tanda bahwa aku tak berbohong. Air mata lagi-lagi meleleh ke pipiku. Aku memeluknya. Meluapkan semuanya. Bibir kami berpagut. Begitu hangat. Seolah ingin membayar rindu dan napsu yang sempat terbelenggu. Dia mencium dahiku.

Astaghfirullahaladzim. Dia mundur selangkah. Pun aku segera tersadar. Apa yang telah kulakukan? Aku berciuman dengan seorang ustad. Suami orang.

"Jangan pernah ketemu aku lagi mas." Kataku menunduk lemah.
"Iya." Jawabnya lirih.
Aku berbalik meninggalkannya sendirian.


Hatiku perih. Rasanya lebih sakit dibanding saat dulu aku ditinggal Viky. Entah apa namanya ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar