Selasa, 24 September 2013

Kirana - Chapter 4

“Emangnya si Rama ngapain elu sih?”
“Umm..”
“Sebrengsek apa sih dia? Dia nyakitin elu? Selingkuh? Punya cewek lagi? Bohongin elu? Atau..berbuat gak senonoh?”


Tak ada satupun pertanyaan Katy yang bisa kujawab. Aku hanya bisa termenung di samping jendela bus yang kutumpangi dengan ponsel yang masih bertengger di kuping kiri. Ini hari pertamaku bekerja.

Pagi tadi Katy mengabari kalau muka Rama bonyok. Entah apa yang dilakukannya sehingga seorang pria melayangkan bogem mentah di muka Rama hingga hidung mancungnya patah dan harus dibawa ke Rumah Sakit. Rumor yang beredar karena Rama sudah membuat patah hati adiknya. Usut punya usut pria itu adalah Malik. Kakakku.
*
Aku memutuskan untuk mengambil tawaran pekerjaan di Jogja. Kota yang menurutku sangat tepat untuk keadaanku saat ini. Cukup tenang, tidak terlalu bising seperti Bandung apalagi Jakarta.

Mama, Papa dan Kak Malik melepas kepergianku dengan penuh tanda tanya. Aku si gadis manja yang dua puluh tahun lebih hidup nyaman di Bandung, di tengah pelukan kehangatan keluarga tiba-tiba memutuskan untuk bekerja dan pindah ke luar kota.
*

Apa salah Rama? Entahlah. Yang kuingat setelah hari-hari yang begitu indah kemudian semuanya terasa hambar. Rama tak pernah lagi menemuiku, sekadar menjemputku atau menghubungiku. Dia hanya hilang. Lenyap begitu saja.

Dari Katy kutahu dia sedang dinas di luar kota. Kota yang menurutku sudah cukup modern, tidak akan miskin sinyal, terjamah internet dan hanya memakan empat jam perjalanan pulang. Tapi dia tak ada kabar.

Aku bukannya tanpa usaha menghubungi dia. BBM, SMS, telepon semua tidak ada sahutan. Pencarianku terhenti ketika menghubungi telepon rumahnya. Ibunya yang mengangkat, “Dari Kirana? Kirana siapa ya?”

Iya, Kirana siapa? Kirana siapanya Rama?

Setelah berbulan-bulan jalan bareng dan bersikap seperti pacar.. Eh wait, seperti pacar? Ini kata kuncinya. Mungkin memang kami ini baru hanya seperti pacar. Belum pacaran. Rama memang belum menembakku, tapi please deh, kami bukan anak SMA lagi yang perlu kalimat tembakan “kamu mau jadi pacarku?” untuk jadi sepasang kekasih, bukan? Bukan. E n t a h.

Sejak saat itu aku berhenti mencarinya.

Hingga suatu hari semesta mempertemukan aku dan Rama. Di sebuah café, saat itu aku bersama Katy sedang berbuka puasa. Rama yang datang bersama teman-teman sekolahnya menghamipiri meja kami sejenak, mengobrol dan bercanda seolah tidak ada apa-apa. Atau mungkin memang tidak ada apa-apa? Katy menyangka hubungan kami berjalan baik. Entah definisi baik seperti apa yang dia pikirkan.

Honestly, aku bingung dengan sikapnya. Kenapa dia bisa setenang itu. Tidak pernah ada kabar, tidak pernah menjawab pesan-pesanku tapi ketika bertemu bersikap biasa saja.
*

“Kamu ke mana aja? Ditelepon, sms, bbm. Semua gak ada jawaban. Kamu ngehindarin aku? Salah aku apa?” cecarku.
“Aku dijodohin..” jawabnya menunduk.
Seketika aku tersedak. “Kalau mau ninggalin aku, cari alasan yang gak sekonyol ini.” Lalu aku meninggalkannya.
**




Rabu, 18 September 2013

Biarkan Rasa

quote atau pepatah mengenai patah hati tak ternah terlintas di garis waktuku

kalaupun ada, sudah pasti terlewati begitu saja

sepertii sahabatku pernah berkata, kamu takkan pernah mendengarkan perkataan siapapun ketika jatuh cinta, pun patah hati

jadi kini kubiarkan saja nano-nano rasa itu menari di hati

Minggu, 15 September 2013

Jika

Jika
Kamu memutuskan untuk pergi
Aku akan tetap tinggal
Jika
Kamu memilih bersama dia
Aku akan tetap tinggal
Jika
Kamu nanti merinduku
Kembalilah
Karena aku tetap tinggal
Jika
Kamu tak menemukan yang kamu cari
Kembalilah
Karena aku akan tetap tinggal
Jika
Kamu merasa hanya khilaf
Kembalilah
Karena aku akan tetap tinggal
Jika
Kamu merasa cintaku lebih besar darinya
Kembalilah
Karena aku akan tetap tinggal
Jika
Kamu ingin kembali
Kembalilah
Aku akan tetap tinggal

#gerakanmenolakmoveon


Selasa, 10 September 2013

#tititrip Tiba-Tiba NgeTrip: Garut

Tititrip. Tiba-tiba ngetrip kali ini: GARUT!

Sabtu sore yang cerah, sepulang lembur, daku gegoleran manja di ranjang tercinta sampai kemudian telepon dari sang partner in crime masuk. Desye lagi perjalanan menuju Bandung.

PIC (Partner in Crime): 9a,  wisata alam apa ya di Bandung?
FaN (Fani alias Na9a): Emmhhh byasaa dehhh…
PIC: bla..bla..bla..
FaN: bla..bla..bla

Long sort story (labil banget sih, mo cerita lengkap tapi keburu males) ceritanya si PiC jemput daku di malam minggu. Daku yang mengira kami hanya akan jalan di seputaran Bandung ternyata dikejutkan dengan perubahan tujuan.

Emang sih ya.. Kan, dalam hidup ini suka adaaa aja perubahan tujuan. Awalnya mau membangun hubungan bersama sampai ke jenjang pernikahan eh tiba-tiba ada yang ingin mengubah haluan. Gak, ini bukan curcol. Oke lanjut!

Ketika jam digital memampangkan angka 09:20,  nasi kuning di pinggir jalan pasir koja itu telah habis masuk ke dalam perut. Perjalanan dimulai. Kami cus menuju tol moh toha. Jam sebelasan kita sudah ada di persimpangan ke arah Kampung Sampireun. Sesuai feeling kami ambil jalan lurus, gak belok ke arah  Kampung Sampireun.

Dipandu GPS, kami berjalan di tengah kegelapan dan keheningan malam Garut. Teruuus aja lurus, biarpun gak yakin. Sampai bertemu dengan jembatan besar, ketidakpedean itu makin menjadi. Kendaraan makin sedikit, manusia tidak kami jumpai, jam juga sudah menyentuh angka dua belas. OMG untung kami berada di dalam mobil, kalo di kandang ayam pasti sudah digerebek hansip. *apeu*

Gak seru kan ya kalo ngetrip ga ada drama, nah ketidakpedean itu membawa kami balik arah. Iya, balik lagi, karena takut tiba-tiba udah ada di Jawa Tengah aja gitu..

Sekitar 4 KM balik arah, akhirnya di gang sempit ketemu juga sama manusia (mudah-mudahan sih ya dia beneran manusia), dia ngasih tahu jalan menuju Darajat. Ternyata…… jalan yang kita tempuh tadi itu memang benar. Yuks mareee kita balik lagi ke jalanan yang sama. Yang makin sepi. Karena gak pede lagi, kami memutuskan kembali bertanya, kali ini kepada seorang penjual martabak.

Me: “Kang, ai Darajat ka palih mana nya?”
Kang Martabak Tengah Malem Masih Jualan (KMTMMJ): Oh ka palih ditu (nunjuk ke arah kami datang) 
Me: Oh kelewatan ya?
KMTMMJ: Kelewatan gimana sih maksud kamu? Aku kan Cuma nunjukin jalan biasa aja iya teh, kembali lagi ka pasar teras lurus weh sampe ka aya ieu tah nu kieu naon namina? BNI, ATM BNI langsung belok kiri, teraaas we ka luhur.
Me: Oh kitu, hatur nuhun atuh nya
KMTMMJ: Muhun mangga teh.

Lalu kami pun kembali balik arah, melewati pasar, mencari jejak-jejak kehidupan yang tersisa. *halah*
Pasar, kampung, sawah sudah kami lewati, tak ada satupun ATM BNI yang kami jumpai. Ketidakpedean kembali muncul setelah setengah jam perjalanan kami tak menemui petunjuk apapun. Malam makin mencekam, desir angin kian berhembus kencang lalu tiba-tiba…….

Ada sebuah mobil bak terbuka yang lampunya menyala, tampaknya sang pengemudi hendak meninggalkan parkiran. Dengan penuh kehati-hatian kami pun kembali bertanya, apakah jalan yang kami tempuh ini benar atau tidak.

Me: Kang, pami ka Darajat leres ka dieu?
Sang Pengemudi Bak Terbuka (SPBT): Iya Iya
Me: Jalannya masih lurus?
SPBT: Bisa Jadi Bisa Jadi
Me: Masih jauh?
SPBT: Tidak Tidak

Setelah melempar helm eat bulaga Sang Pengemudi Bak Terbuka pun mengatakan kalau perjalanan tinggal sekitar sejaman lagi. HAH? Sejam? Udah tengah malem gini masih harus sejam lagi…. Nanti di pasar belok kiri, ada plang “Pasir Berbisik Wangi”.

Sekitar 2 kilometer kemudian kami menemukan sebuah ATM BRI. ATM BRI sodarah-sodarahhh bukan ATM BNI seperti yang dikatakan Kang Martabak Tengah Malem Masih Jualan tea. Di situ ada dua tukang ojek, kami pun kembali bertanya. Ah tak apalah ya, banyak bertanya, dari pada banyak utang. (?)

Tukang ojek mengiyakan arah kami, benar, kami belok kiri di situ, menuju puncak gemilang cahaya mengukir cita seindah asa Darajat. Ya namanya puncak, berarti emang harus naik gunung. Tinggiii tinggi sekali.

Setelah melawati tanjakan super, bertemu dengan AKASI-AKASI yang ngebut seenaknye, AKHIRNYA KAMI SAMPAI DAN OH MY GOD DINGIN BINGIT OH MY GOD! Bahkan lantai rumah tempat kami menginap pun dinginnya serasa es batu. Untunglah di rumah sewa seharga 450 ribu/malam ini banyak karpet, jadi daku bisa memasangnya dan melompat-lompat melewati lantai keramik seolah sedang bermain benteng takeshi. *apeu*

Rumahnya lumayan enak, terdiri dari 2 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 ruang tv, 1 dapur lengkap dengan kompor dan lain-lain, 1 kamar mandi yang airnya super dingin dan juga rumah ini banyak selimut. Oya ada kasur Palembang juga yang disediakan, jadi bisa nampung banyakan lah. Nginep di Darajat artinya harus prepare jaket dan kaos kaki, karena eh karena rencana ini mendadak dan kami tak terlalu memahami medan maka tak satupun dari kami berempat yang membawanya. Alhasil semalaman kami menggigil kedinginan.
Setengah enam pagi daku terbangun untuk shalat dan melihat keadaan di luar. Maklum, kami kan datengnya menjelang dini hari jadi tak ada satupun pemandangan yang kami lihat. Dan inilah yang terlihat…



Jajanan di warung sekitar masih sangat murah, gorengan seperti bala-bala, pisang goreng dan ubi goring masih seharga 500 rupiah. Huwow! Tepat jam 7 pagi kami ke area pemandian air hangat, gak nyangka kalau tempatnya sebesar ini..


Bukit yang masih berselimut kabut....


Gak sia-sia kan perjalanan jauh dan penuh drama kalau pemandangannya kayak giniiii...



oh iya kalo ke Garut jangan lupa beli ini...