Sabtu, 01 Oktober 2011

Istriku Ada Lima


Hubunganku dengan Siska putus-nyambung. Senakal apapun aku, dia pasti mau menerimaku kembali. Pernah aku selingkuh dengan Gita, sahabatnya tapi akhirnya dia mau menerimaku kembali. Memasuki tahun kelima, kami –atau aku- sudah merasa sangat jenuh dengan hubungan ini. Hubungan kami menggantung.

Aku bertemu dengan Ratna, gadis cantik, adik dari sahabatku Bintang.  Dengan perawakan mungil, rambut terikat rapi lengkap dengan poni di atas alis, sungguh dia imut sekali. Aku sangat menyukainya. Aku jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Kuungkapkan keseriusanku pada Bintang, karena kutahu dia takkan membiarkan adiknya kupermainkan begitu saja. Dua bulan kemudian aku menikahinya.

Banyak yang mengira aku menikah karena Ratna keburu hamil, tentu saja tidak. Mana berani aku menghamilinya di luar nikah, bisa dibuat cacat seumur hidup oleh kakaknya. Siska datang seorang diri ke pernikahanku, padahal bisa saja dia membawa pasangan, banyak pria yang mengantre ingin menggantikan posisiku. Ah andai saja dia membawa seorang teman prianya, aku akan merasa jauh lebih baik.

Seminggu kemudian aku dan Siska makan siang bersama. Tidak banyak yang kata yang keluar dari mulut kami. Kulihat betapa kesedihan sangat tampak di matanya, walaupun dia sudah berusaha menutupinya. Aku tahu, aku sudah sangat menyakitinya. Dia masih sempat membetulkan kerah kemejaku ketika kami akan beranjak pulang. Kupandangi dia, dia hanya tersenyum.

Entah terbuat dari apa hati Siska, dia masih selalu ada untukku. Ratna yang manja, lucu, manis dan menyenangkan. Aku senang memanjakannya, terlebih karena aku juga masih membiarkan dia meneruskan sarjananya. Tapi aku masih ingin juga dimanja, seperti yang selalu dilakukan Siska. Setelah pertemuan siang itu kami jadi sering bertemu lagi. Jauh di lubuk hatiku, aku masih sangat menyayanginya, masih membutuhkannya, begitupun dia. Sampai kutanyakan satu hal padanya. Gimana menurut kamu tentang poligami? Dia hanya menjawab, aku hanya ingin menikah dengan pria yang kucintai. Sebulan kemudian kami menikah.

Dengan dua istri yang kucintai dan mencintaiku, hidupku sangat menyenangkan. Hanya saja, kesenanganku sedikit terusik dengan kehadiran partner kerja baruku. Sinta. Wanita mandiri lulusan Harvard ini mulai mencuri semua attensi atasanku. Mereka bilang: Pekerjaannya selalu sempurna. Otaknya brilian. Tapi sikapnya sangat angkuh –menurutku-tidak menurut atasanku-. Jadilah kami sering bersitegang di ruang rapat, kubikle, bahkan di pantry ketika membuat kopi, sungguh dia sangat egois.

Bulan ini kami akan mengerjakan project baru, aku dan dia sudah mempersiapkan semua bahan untuk presentasi di depan calon klien kami. Biasanya akulah yang akan presentasi, tapi karena aku sedang kurang fit jadi tugasku kualihkan padanya. Kuperhatikan caranya presentasi, cara dia menjawab, cara dia menguasai pembahasan. Baiklah kuakui, dia memang pintar.

Tanpa hambatan berarti, project kami goal. Aku dan beberapa rekan kerja merayakannya di sebuah lounge. Sinta menghampiri mejaku, cheers partner! Serunya seraya mengangkat liqueur. Akhirnya kami duduk satu table, tak kusangka ternyata dia cukup friendly di luar jam kerja. Kami mengobrol tentang banyak hal.  Jika sahabatku, Army pernah bilang kalau smart is new look of sexy kurasa benar. Sinta terlihat seksi dengan kepintarannya. Wawasannya sangat luas.

Aku baru tahu kalo ternyata dia sedang ditekan oleh keluarganya untuk segera menikah. Di usia yang cukup matang, materi berlimpah, karier yang menjanjikan tentu saja tinggal pernikahanlah yang mereka tunggu. Tapi setelah pertunangannya gagal dua tahun lalu sepertinya dia benar-benar mengenyampingkan urusan asmara.

Entah bagaimana prosesnya, setahun kemudian aku melamar Sinta kepada orangtuanya. Hari baik segera ditentukan, bulan depan kami menikah.

Yup, sekarang inilah aku, dengan tiga istri. Siska sedang hamil tiga bulan. Ratna baru memasuki  semester lima perkuliahan. Sinta sedang ditawari sebuah perusahaan asing untuk posisi eksekutif.

Suatu hari aku sedang mencari cemilan di sebuah swalayan 24 jam, kuambil snack favoritku. Seorang bocah tiba-tiba mencolek tanganku, meminta tolong diambilkan Pocky Banana seperti yang kupegangKucoba tawarkan rasa lain, dia menggeleng. “Mau yang banana om!” Kucoba lagi dengan rasa lain, dia tetap menggeleng, sedikit berteriak dia menegaskan bahwa dia hanya mau yang banana. Dengan berat hati kuberikan padanya, padahal stocknya tinggal satu. Seorang wanita menghampiri kami, sepertinya ibu bocah itu.

“Kenapa nak?” tanyanya.
“Aku pengen yang banana, omnya ga mau kasih. Disitunya udah abis.” Jawab si bocah.
“Eh kamu jangan gitu, itu pockynya punya om, ayo kembaliin.” Tegur sang ibu. Si bocah menggeleng, seperti hendak menangis. Aku jadi tidak tega. "Kamu tuh sama persis bapakmu.  Cuma doyan pocky banana!" dumelnya lagi.
“Ga papa ko bu, saya bisa ambil rasa lain.” Seruku.
“Aduh maaf ya mas, jadi…” kalimatnya terputus. Kami saling berpandangan.
“Gita?” Tanyaku.

Aku mengantarnya pulang, sedikit memaksa karena dia bersikeras tak mau diantar. Tapi akhirnya dia setuju juga karena hujan tak kunjung reda, dia tidak tega kalau Gilang, putranya, harus hujan-hujanan.

“Gilang umurnya berapa?” Tanyaku.
“Tiga setengah om.” Jawabnya sambil mengemut Pocky.
“Tiga setengah? Berarti kamu nikah pas kita kuliah dong?” Tanyaku pada Gita. Dia hanya mengangguk. “Sama siapa?” sambungku.
“Berhenti disini aja, aku masuk gang situ. Thanks ya! Salam buat Siska.” Jawabnya seraya membuka pintu mobilku.

Agak aneh dengan sikap Gita, kuceritakan pertemuan kami pada Siska. Siska juga tak kalah bingung, dia sama sekali tidak tahu kalau Gita sudah menikah dan punya anak. Seminggu kemudian aku mendapat kabar sangat mengejutkan. Gita tidak pernah menikah, dan Gilang adalah anakku. Siska mengucapkannya sangat jelas. Ya, Siska yang mencari tahu mengenai Gita. Dan yang lebih mengejutkan, Siska memintaku untuk menikahi Gita. “Aku gak bisa bayangin untuk besarin anak sendirian, kamu harus tanggung jawab.” Pintanya.Aku menikahi Gita, demi masa depan Gilang. Karena sampai saat ini dia belum punya akta lahir, padahal sebentar lagi dia masuk sekolah.

Dengan istri empat, kuakui harus mempunyai pemasukan lebih. Walaupun sebenarnya kami tidak kekurangan, tapi aku harus bertanggungjawab untuk membahagiakan mereka. Aku mencoba memulai bisnis dengan temanku Denny. Syukurlah, bisnis kami berjalan cukup lancar. Bahkan di tahun kedua aku berniat untuk mengembangkan usahaku. Tapi kami butuh modal yang cukup besar. Dia mengenalkanku pada seorang pengusaha sukses, Lena. Janda kaya yang bisnisnya dimana-mana. Putrinya masih kuliah di San Fransisco. Dia tinggal sendiri di Indonesia.

Ternyata perkenalan kami tidak hanya membuahkan bisnis yang menguntungkan, ada timbul benih cinta seiring seringnya kami pergi keliling Indonesia berdua. Akupun menikahinya.

Istriku ada lima, macam-macam sifatnya. Ada yang manja, sabar, mandiri, tegar, ambisius, tapi satu hal. Mereka mencintaiku dan aku juga mencintainya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar