“Nemuin Arman lagi?”
“Iya Ma, hari ini jadwal dia
terapi.”
“Mama doain biar dia cepet sembuh,
jadi kamu ga repot kayak gini lagi?”
“Ma.. please..”
“Loh, bener kan. Emangnya mau sampai kapan kamu ngurusin
dia? Inget Sas, kamu bentar lagi tunangan sama Edo.”
Lagi Sasti menghela napas. “Aku
berangkat ya Ma.”
**
Sepulang merayakan pomosi jabatan
bersama teman-temannya, Edo sang kekasih sudah
menawarkan untuk menjemputnya tapi Sasti lebih memilih menyetir jazznya sendiri. Jalanan yang lenggang
karena saat itu sudah menunjukkan pukul 23.40 WIB. Sasti memacu kendaraanya
dengan kencang. Badannya sudah letih, matanya sudah cukup berat. Hanya kasur
dan guling yang ada di pikirannya. Untung besok hari Sabtu dan tidak ada klien
yang harus ditemui jadi dia bisa tidur sepuasnya.
Dari jauh Sasti melihat lampu lalu
lintas sudah berwarna kuning, Sasti menginjak pedal gasnya. Sayang sekali
rupanya lampu merah lebih dahulu menyala sebelum Sasti tiba di perempatan.
Melihat jalanan yang sepi tanpa pikir panjang ia menginjak lagi gasnya. Dari
arah kiri sebuah motor melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Tabrakan tidak
bisa dihindari. Mobil Sasti menabrak motor itu dan membuat pengendaranya
terpelanting sekitar lima
meter sebelum akhirnya motornya ikut terbang dan jatuh tepat di tubuhnya.
*
Mama dan Papa berada di samping
Sasti ketika ia sadar setelah tiba di Rumah Sakit. Tidak ada luka berarti
selain sedikit memar di tangannya.
“Ma, tadi Sasti…” kalimatnya
terhenti, badannya baru terasa sakit.
“Iya sayang, tadi kamu tabrakan.”
“Iya Sasti inget. Ama motor bukan?
Trus dia gimana?”
“Lagi ditanganin dokter. Udah
jangan dipikirin, semua pasti baik-baik aja.”
Tidak berapa lama Edo
tiba. Sasti meraung dipelukannya. Menyesal tidak menuruti tawaran Edo untuk menjemputnya.
**
“Sore Tante, Armannya udah siap?”
“Belum Sas, biasa masih di kamar.
Tante gak bisa ngebujuknya.”
“Biar Sasti coba ya.”
Marini, Ibunya Arman mempersilakan
Sasti masuk ke kamar Arman. Tampak Arman masih terbaring di sudut ranjang. Perlahan
dia mengganti posisinya, menghadap tembok. Membelakangi Sasti.
“Assalamualaikum, Arman.”
“Waalaikum salam.” Jawabnya masih
memunggungi Sasti.
“Kok masih tiduran sih, ayo bangun kan sekarang jadwal ke
dokter.”
Pria yang dipanggil tidak juga
bergeming. Sasti perlahan mendekat, diusapnya bahu Arman.
“Man, udah sore nih. Nanti keburu
penuh pasiennya.”
Arman menepis tangan Sasti.
“Arman. Jangan gitu dong. Sasti
udah repot-repot kesini jemput kamu kok malah gitu sih.” Seru Ibunya.
“Pergi kamu.” Kata Arman melirik
Sasti.
**
Duniaku
hancur. Karierku hancur. Hidupku hancur. Perempuan itu telah mengambil
semuanya. Merenggut semua harapan dan cita-citaku.
Perempuan
bodoh yang doyan minum dan suka melanggar lalu lintas. Sialan!
Mana
ada pengacara yang kakinya lumpuh seperti aku.
**
Sasti memainkan bola basket yang
tergeletak di samping sofa. Marini tersenyum menghampiri sambil membawakan
secangkir teh hangat.
“Bolanya udah kempes. Gak pernah
dipake lagi sama Arman. Aku udah ngehancurin hidupnya Arman ya Tante.”
“Sasti, jangan ngomong kaya gitu.
Semua udah ada jalannya. Sasti, Tante dan semua orang udah berbuat yang terbaik
untuk Arman. Sekarang kita tinggal menyerahkannya kepada Allah.”
Sasti tertunduk, untuk kesekian
ribu kali air matanya mengalir. Sudah tujuh bulan semenjak kecelakaan itu. Arman
terluka parah terutama di bagian kaki dan tangannya. Bahkan dokter menyarankan
agar mengamputasi kaki kanannya. Banyak saraf dan otot yang hancur di area
betis kanannya. Arman bergeming, dia tak ingin kehilangan kakinya.. Dokter
sudah memperingatkan bahwa terapi dan obat-obatan memang sedikit membantu tapi
tidak akan menyembuhkan kakinya seperti sedia kala.
**
“Di mana Sayang?”
“Aku di Rumah Sakit, jadwal
terapinya Arman, Sayang.”
“Arman lagi Arman lagi. Denger ya
Sas, udah berapa kali sih aku bilang,
aku udah muak liat kamu terus-terusan merhatiin cowok lain dibanding
aku!”
“Do, jangan gitu dong. Kamu tau kan Arman kayak gini
karena aku.. jadi udah sewajarnya aku ngurusin dia sampai sembuh. Lagian
sekarang kemajuanya udah pesat kok. Arman udah bisa…”
“Stop Sas! Aku gak mau denger soal
Arman lagi. Aku juga udah gak mau denger apa-apa lagi dari kamu. Sekarang
silakan kamu urus aja cowok itu.”
“Maksud kamu apa Do?”
“Putus. Kita putus Sas, sekarang
kamu bebas merhatiin dia.”
“Do..”
**
“Ihhh itu sih bukan huruf S, itu
sih Z tau!”
“Hahahahaa kebalik ya, oh harusnya
dimulai dari titik ini.”
“Iya, ditarik ke kiri, nah gitu.”
“Kamu jangan cuma
gini-gitu-gini-gitu. Ikut nulis juga dong.”
“Iyaaaa…. Siniin bolpennya.”
Marini tersenyum dari balik pintu
kamar. Sudah sebulan ini sikap Arman mencair. Usaha Sasti tidak sia-sia, dia
mau pergi terapi. Seminggu tiga kali, bahkan Sasti harus izin dari kantornya
agar bisa pulang lebih cepat dan bisa menjemput Arman. Sikapnya terhadap Sasti
juga melunak, bahkan kini mereka sedang belajar menulis menggunakan tangan
kiri.
Kondisi tangan Arman memang tidak
separah kakinya. Tapi akibat tertimpa badan CBR berwarna hitam itu,
pergelangannya sedikit retak. Masih harus digips hingga beberapa minggu ke
depan.
**
“Ma, aku sayang sama Arman.”
“Sayang sama kasihan itu beda tipis
Sas.”
“Gak Ma, ini bukan kasihan. Ini
memang sayang. Aku sayang dia selayaknya seorang wanita terhadap seorang pria.”
Mamanya hanya menggeleng pelan.
“Sekarang gimana keadaannya?”
“Alhamdulillah, sesekali udah bisa
pakai kruk. Cuma karena tangannya juga masih sakit jadi sekarang masih pakai
kursi roda.”
“Kalo kesana, salamin buat Arman dan
Ibunya ya. Bilang maaf karena Mama gak pernah jenguk lagi.”
Sasti tersenyum senang.
**
Arman meringis, kakinya kembali sakit.
Sasti dan Ibunya segera membawa Arman ke Rumah Sakit.
“Bu, obat-obatan ini cuma membantu
meringankan sakitnya. Arman harus dioperasi lagi.”
“Gak dok, saya gak mau diamputasi.
Saya akan sembuh tanpa harus kehilangan kaki saya!”
**
“Tante, nanti kita ijin jalan ke
luar ya.”
“Apa? Arman mau pergi ke luar?”
“Iya Tante, kemaren Arman telepon,
ada undangan makan-makan gitu sama teman-teman kuliahnya dulu.”
“Trus dia mau?”
“Iya, Alamdulillah sekarang Arman
udah mau melihat dunia luar.”
“Berkat kamu Sas, semuanya karena
kamu. Kegigihan kamu. Makasih ya sayang.”
“Bukan cuma aku Tante, Tante juga
berperan sangat besar. Juga Arthur.”
“Iya nih, ngomong-ngomong Arthur
kok minggu ini gak pulang ya?”
“Lagi sibuk nyelesein thesisnya
kali Tan.”
“Gak tau tuh katanya tinggal revisi
akhir tapi kok masih sibuk terus.”
“Wah berarti bentar lagi jadi dong
bikin firma hukum. Arman and Brother apa Arthur and Brother? Atau the Brother
namanya?”
“Lah kok jadi kayak nama band. Kamu
tuh bisa aja Sas.”
“Hahahahaa iya, trus udah dihubungin
pulang apa gak gitu?”
“Tadi sih udah sms tapi belum
bales. Padahal kita mau ada syukuran.”
“Syukuran apa Tan?”
“Syukuran kesembuhan Arman. Tante
pengen kumpul juga sama keluarga besar. Apalagi sekarang Arman udah mau membuka
diri. Gak diem terus di kamar.”
“Iya, dari tadi juga tuh asik duduk
di teras belakang, main sama kucingnya.”
**
“Cowok tuh ya kalo dasarnya udah
ganteng, mau di kursi roda sekalipun tetep ganteng ya.”
“Iya, Arman emang ganteng dari
dulu, mantannya aja ada berapa coba? Gua aja sempet klepek-klepek ama dia.”
“Hihihiii iya ya, agak gemukan dia
sekarang. Mungkin karena diem di rumah ya belum kerja. Padahal dulu dia sibuk
bener deh. Diajakin ketemu aja susah.”
“Bener, gemukan terus ada
jambangnya segala. Messy-messy gimana gitu ya. Duh kalo gak liat ceweknya itu
gua mau nyekil lgi deh.”
“Ah lo ada-ada aja. Eh iya, itu
katanya cewek yang nabrak dia ya? Trus si Amel ceweknya dulu gimana? Terakhir
ama dia kan
kita ketemu sebelum kecelakaan.”
“Si Amel udah kemana kali, gak mau
nerima Arman setelah kecelakaan. Jodoh emang gak kemana ya, eh ternyata
sekarang Arman pacaran ama cewek yang nabrak dia.”
Tiba-tiba ada suara flush dari toilet ujung. Sasti berdehem
lalu ke luar dari toilet. Tiga wanita yang sedang bercakap-cakap di depan
wastafel segera menutup mulutnya.
“Mampus lo, ceweknya Arman dari
tadi ada di situ!”
**
Bendera kuning sudah dipasang
Arthur sejak pagi. Sofa dan meja dikeluarkan.. Karpet digelar. Pukul delapan
pagi jenazah Arman sudah dimandikan dan dikafani, seluruh keluarga dan kerabat
berkumpul bersiap menyolatkannya.
Infeksi telah menjalar ke seluruh
saraf kakinya. Perintah dokter untuk mengamputasi kaki Arman memang tidak
dihiraukan.
Sasti masih terdiam di ranjang
Arman, memeluk sweater yang terakhir
dipakai Arman. Subuh tadi dia masih bercakap dengannya. Semalaman mereka
berbicara di telepon. Sampai akhirnya Arman menutup telepon setelah menyuruh
Sasti menunaikan salat shubuh. Dia membaca berulang kali pesan yang dikirim
Arman. Aku mencintaimu. Hingga ujung
waktu.
***