Ku lihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matamu berlinang
Mas intanmu terkenang
Hawa panas terasa membakar kulit. Aroma lumpur menusuk
hingga paru-paru. Kututupi hidung dan mulut dengan syal sekenanya.
Enam tahun yang lalu aku masih bersekolah di kampung ini.
Saat itu aku masih duduk di kelas empat SD. Kampungku, Dusun Balongnongo Desa
Renokenongo Porong Sidoarjo.
29 Mei 2006, dua hari setelah Negeriku diliputi rasa duka
atas terjadinya gempa di Yogyakarta .
Awalnya hanya ada beberapa titik kecil semburan, lalu
memamah biak di mana-mana. Volumenya makin besar, semburannya makin tinggi.
Tanggul-tanggul yang terbuat dari karungan tanah dan pasir sudah tidak bisa
menahannya.
Lalu bencana itu mulai memangsa kami.
Awalnya hanya tanah dan pekarangan, lalu ke jalanan, sawah,
dan rumah.
Semua mata menatap pada sumur Banjar Panji-1 yang merupakan
sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas.
Kami menduga-duga bahwa hal ini diakibatkan pengeboran yang
dilakukan di sana .
Entah eror di sebelah mana, kami tak mengerti.
Enam tahun berlalu, tidak ada penjelasan yang bisa ku
mengerti. Mungkin otakku terlalu bodoh untuk mencerna semua analisa para
orang-orang di atas sana .
Rumah kami lenyap, kampung kami hilang, nyawapun menjadi
korban.
Jangan tanya berapa banyak air mata ibu dan anak-anak yang
tumpah bertahun-tahun di pengungsian.
Hutan gunung sawah
lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang susah
Merintih dan berdoa
Kepada Yth
Orang-orang pintar di atas
sana,
Kapankah penderitaan kami
berakhir?
Tertanda,
Adhi Heryanto (16 tahun)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar