Senin, 03 September 2012

Surat Dari Anak Desa Renokenongo Porong Sidoarjo


Ku lihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matamu berlinang
Mas intanmu terkenang


Hawa panas terasa membakar kulit. Aroma lumpur menusuk hingga paru-paru. Kututupi hidung dan mulut dengan syal sekenanya.

Enam tahun yang lalu aku masih bersekolah di kampung ini. Saat itu aku masih duduk di kelas empat SD. Kampungku, Dusun Balongnongo Desa Renokenongo Porong Sidoarjo.
29 Mei 2006, dua hari setelah Negeriku diliputi rasa duka atas terjadinya gempa di Yogyakarta.

Awalnya hanya ada beberapa titik kecil semburan, lalu memamah biak di mana-mana. Volumenya makin besar, semburannya makin tinggi. Tanggul-tanggul yang terbuat dari karungan tanah dan pasir sudah tidak bisa menahannya.

Lalu bencana itu mulai memangsa kami.

Awalnya hanya tanah dan pekarangan, lalu ke jalanan, sawah, dan rumah.

Semua mata menatap pada sumur Banjar Panji-1 yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas.

Kami menduga-duga bahwa hal ini diakibatkan pengeboran yang dilakukan di sana. Entah eror di sebelah mana, kami tak mengerti.

Enam tahun berlalu, tidak ada penjelasan yang bisa ku mengerti. Mungkin otakku terlalu bodoh untuk mencerna semua analisa para orang-orang di atas sana.

Rumah kami lenyap, kampung kami hilang, nyawapun menjadi korban.

Jangan tanya berapa banyak air mata ibu dan anak-anak yang tumpah bertahun-tahun di pengungsian.


Hutan gunung sawah lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang susah
Merintih dan berdoa


Kepada Yth
Orang-orang pintar di atas sana,

Kapankah penderitaan kami berakhir?



Tertanda,

Adhi Heryanto (16 tahun)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar