Kamis, 06 September 2012

Kepada Tuhanmu dan Tuhanku


"Nak.."
Sebuah tepukan halus mendarat di pundakku. Dengan setengah nyawa aku mendapati seorang pria berpakaian hitam lengkap dengan topi kecil putih.

"Maaf Bapa, saya ketiduran."
"Tidak apa-apa nak. Tapi kamu sedang apa disini?" Tanyanya halus.
"Saya sedang berdoa."

Matanya agak terbelalak. Pastur itu nampaknya agak kaget juga bingung. Aku baru sadar, dengan hijab yang kupakai, memang nampak tidak wajar jika mengatakan aku sedang berdoa, di dalam gereja.

"Berdoanya khusuk sekali sampai ketiduran seperti tadi." Ujarnya dengan senyum.

Aku mengangguk malu. Dua hari mataku tak terpejam sama sekali, kurasa pantas jika tadi aku sempat ketiduran di bangku panjang tempat ibadat.
"Apa yang kau pinta nak?"
"Dibukakan jalan terbaik, Bapa."

*
Ornamen natal masih terpasang di beberapa sudut. Lingkaran rotan berbalut daun berhiaskan pita merah. Pohon natal masih tegak berdiri di dekat mimbar. Hiasan lonceng, kado dan peri-peri kecil bergelantungan di tangkainya. Aku tersenyum pahit.

Di dalam hati ini hanya satu nama
Yang ada di tulus hati ku ingini


Tiga minggu yang lalu aku membantu Tian menghias pohon serupa yang ukurannya lebih kecil. Pohon natal setinggi 70 cm yang kami taruh di salah satu sudut kamar kostnya. Ini tahun kedua aku membantunya menghias pohon natal.

Kesetiaan yang indah takkan tertandingi
Hanyalah dirimu satu peri cintaku


Hampir tiga tahun ini aku berpacaran dengan Tian. Sudah hampir tiga tahun pula Papa bersikap sinis padaku. Aku dianggapnya durhaka karena berpacaran beda agama.

Benteng begitu tinggi sulit untuk ku gapai

Apa yang bisa kulakukan ketika hati ini telah menjatuhkan pilihan pada seorang Kristiani. Dia sosok yang murah hati, penyayang, pintar sekaligus bijak dalam bersikap. Wajahnya tampan dengan rahang tegas dan hidung mancung. Alisnya tebal, matanya tajam.

Dia mengingatkanku untuk menjalankan shalat. Dia ikut berpuasa saat Ramadhan. Bagaimana bisa aku berpaling darinya?

Aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda


Siang tadi diam-diam aku mengikuti Tian. Dia masuk ke gereja ini dengan wajah tertunduk. Semalam kami bertengkar hebat. Tentu saja mengenai perbedaan yang tak mungkin disatukan. Dia berlutut di hadapan salib. Mengepalkan kedua tangannya. Menunduk hingga menitikan air mata.

Aku sendiri terdiam di deretan kursi paling belakang. Menadahkan kedua tanganku. Menyujudkan hatiku. "Bukakanlah jalan terbaik bagi hamba-hambamu yang lemah ini."

Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar