Kamis, 09 Agustus 2012

Hingga Ujung Waktu


“Nemuin Arman lagi?”
“Iya Ma, hari ini jadwal dia terapi.”
“Mama doain biar dia cepet sembuh, jadi kamu ga repot kayak gini lagi?”
“Ma.. please..”
“Loh, bener kan. Emangnya mau sampai kapan kamu ngurusin dia? Inget Sas, kamu bentar lagi tunangan sama Edo.”
Lagi Sasti menghela napas. “Aku berangkat ya Ma.”

**

Sepulang merayakan pomosi jabatan bersama teman-temannya, Edo sang kekasih sudah menawarkan untuk menjemputnya tapi Sasti lebih memilih menyetir jazznya sendiri. Jalanan yang lenggang karena saat itu sudah menunjukkan pukul 23.40 WIB. Sasti memacu kendaraanya dengan kencang. Badannya sudah letih, matanya sudah cukup berat. Hanya kasur dan guling yang ada di pikirannya. Untung besok hari Sabtu dan tidak ada klien yang harus ditemui jadi dia bisa tidur sepuasnya.

Dari jauh Sasti melihat lampu lalu lintas sudah berwarna kuning, Sasti menginjak pedal gasnya. Sayang sekali rupanya lampu merah lebih dahulu menyala sebelum Sasti tiba di perempatan. Melihat jalanan yang sepi tanpa pikir panjang ia menginjak lagi gasnya. Dari arah kiri sebuah motor melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Tabrakan tidak bisa dihindari. Mobil Sasti menabrak motor itu dan membuat pengendaranya terpelanting sekitar lima meter sebelum akhirnya motornya ikut terbang dan jatuh tepat di tubuhnya.

*
Mama dan Papa berada di samping Sasti ketika ia sadar setelah tiba di Rumah Sakit. Tidak ada luka berarti selain sedikit memar di tangannya.

“Ma, tadi Sasti…” kalimatnya terhenti, badannya baru terasa sakit.
“Iya sayang, tadi kamu tabrakan.”
“Iya Sasti inget. Ama motor bukan? Trus dia gimana?”
“Lagi ditanganin dokter. Udah jangan dipikirin, semua pasti baik-baik aja.”

Tidak berapa lama Edo tiba. Sasti meraung dipelukannya. Menyesal tidak menuruti tawaran Edo untuk menjemputnya.

**
“Sore Tante, Armannya udah siap?”
“Belum Sas, biasa masih di kamar. Tante gak bisa ngebujuknya.”
“Biar Sasti coba ya.”
Marini, Ibunya Arman mempersilakan Sasti masuk ke kamar Arman. Tampak Arman masih terbaring di sudut ranjang. Perlahan dia mengganti posisinya, menghadap tembok. Membelakangi Sasti.

“Assalamualaikum, Arman.”
“Waalaikum salam.” Jawabnya masih memunggungi Sasti.
“Kok masih tiduran sih, ayo bangun kan sekarang jadwal ke dokter.”
Pria yang dipanggil tidak juga bergeming. Sasti perlahan mendekat, diusapnya bahu Arman.
“Man, udah sore nih. Nanti keburu penuh pasiennya.”
Arman menepis tangan Sasti.

“Arman. Jangan gitu dong. Sasti udah repot-repot kesini jemput kamu kok malah gitu sih.” Seru Ibunya.
“Pergi kamu.” Kata Arman melirik Sasti.

**
Duniaku hancur. Karierku hancur. Hidupku hancur. Perempuan itu telah mengambil semuanya. Merenggut semua harapan dan cita-citaku.
Perempuan bodoh yang doyan minum dan suka melanggar lalu lintas. Sialan!
Mana ada pengacara yang kakinya lumpuh seperti aku.

**

Sasti memainkan bola basket yang tergeletak di samping sofa. Marini tersenyum menghampiri sambil membawakan secangkir teh hangat.
“Bolanya udah kempes. Gak pernah dipake lagi sama Arman. Aku udah ngehancurin hidupnya Arman ya Tante.”
“Sasti, jangan ngomong kaya gitu. Semua udah ada jalannya. Sasti, Tante dan semua orang udah berbuat yang terbaik untuk Arman. Sekarang kita tinggal menyerahkannya kepada Allah.”

Sasti tertunduk, untuk kesekian ribu kali air matanya mengalir. Sudah tujuh bulan semenjak kecelakaan itu. Arman terluka parah terutama di bagian kaki dan tangannya. Bahkan dokter menyarankan agar mengamputasi kaki kanannya. Banyak saraf dan otot yang hancur di area betis kanannya. Arman bergeming, dia tak ingin kehilangan kakinya.. Dokter sudah memperingatkan bahwa terapi dan obat-obatan memang sedikit membantu tapi tidak akan menyembuhkan kakinya seperti sedia kala.

**
“Di mana Sayang?”
“Aku di Rumah Sakit, jadwal terapinya Arman, Sayang.”
“Arman lagi Arman lagi. Denger ya Sas, udah berapa kali sih aku bilang,  aku udah muak liat kamu terus-terusan merhatiin cowok lain dibanding aku!”
“Do, jangan gitu dong. Kamu tau kan Arman kayak gini karena aku.. jadi udah sewajarnya aku ngurusin dia sampai sembuh. Lagian sekarang kemajuanya udah pesat kok. Arman udah bisa…”
“Stop Sas! Aku gak mau denger soal Arman lagi. Aku juga udah gak mau denger apa-apa lagi dari kamu. Sekarang silakan kamu urus aja cowok itu.”
“Maksud kamu apa Do?”
“Putus. Kita putus Sas, sekarang kamu bebas merhatiin dia.”
“Do..”

**
“Ihhh itu sih bukan huruf S, itu sih Z tau!”
“Hahahahaa kebalik ya, oh harusnya dimulai dari titik ini.”
“Iya, ditarik ke kiri, nah gitu.”
“Kamu jangan cuma gini-gitu-gini-gitu. Ikut nulis juga dong.”
“Iyaaaa…. Siniin bolpennya.”

Marini tersenyum dari balik pintu kamar. Sudah sebulan ini sikap Arman mencair. Usaha Sasti tidak sia-sia, dia mau pergi terapi. Seminggu tiga kali, bahkan Sasti harus izin dari kantornya agar bisa pulang lebih cepat dan bisa menjemput Arman. Sikapnya terhadap Sasti juga melunak, bahkan kini mereka sedang belajar menulis menggunakan tangan kiri.
Kondisi tangan Arman memang tidak separah kakinya. Tapi akibat tertimpa badan CBR berwarna hitam itu, pergelangannya sedikit retak. Masih harus digips hingga beberapa minggu ke depan.

**
“Ma, aku sayang sama Arman.”
“Sayang sama kasihan itu beda tipis Sas.”
“Gak Ma, ini bukan kasihan. Ini memang sayang. Aku sayang dia selayaknya seorang wanita terhadap seorang pria.”
Mamanya hanya menggeleng pelan. “Sekarang gimana keadaannya?”
“Alhamdulillah, sesekali udah bisa pakai kruk. Cuma karena tangannya juga masih sakit jadi sekarang masih pakai kursi roda.”
“Kalo kesana, salamin buat Arman dan Ibunya ya. Bilang maaf karena Mama gak pernah jenguk lagi.”
Sasti tersenyum senang.

**
Arman meringis, kakinya kembali sakit. Sasti dan Ibunya segera membawa Arman ke Rumah Sakit.

“Bu, obat-obatan ini cuma membantu meringankan sakitnya. Arman harus dioperasi lagi.”
“Gak dok, saya gak mau diamputasi. Saya akan sembuh tanpa harus kehilangan kaki saya!”

**
“Tante, nanti kita ijin jalan ke luar ya.”
“Apa? Arman mau pergi ke luar?”
“Iya Tante, kemaren Arman telepon, ada undangan makan-makan gitu sama teman-teman kuliahnya dulu.”
“Trus dia mau?”
“Iya, Alamdulillah sekarang Arman udah mau melihat dunia luar.”
“Berkat kamu Sas, semuanya karena kamu. Kegigihan kamu. Makasih ya sayang.”
“Bukan cuma aku Tante, Tante juga berperan sangat besar. Juga Arthur.”
“Iya nih, ngomong-ngomong Arthur kok minggu ini gak pulang ya?”
“Lagi sibuk nyelesein thesisnya kali Tan.”
“Gak tau tuh katanya tinggal revisi akhir tapi kok masih sibuk terus.”
“Wah berarti bentar lagi jadi dong bikin firma hukum. Arman and Brother apa Arthur and Brother? Atau the Brother namanya?”
“Lah kok jadi kayak nama band. Kamu tuh bisa aja Sas.”
“Hahahahaa iya, trus udah dihubungin pulang apa gak gitu?”
“Tadi sih udah sms tapi belum bales. Padahal kita mau ada syukuran.”
“Syukuran apa Tan?”
“Syukuran kesembuhan Arman. Tante pengen kumpul juga sama keluarga besar. Apalagi sekarang Arman udah mau membuka diri. Gak diem terus di kamar.”
“Iya, dari tadi juga tuh asik duduk di teras belakang, main sama kucingnya.”

**
“Cowok tuh ya kalo dasarnya udah ganteng, mau di kursi roda sekalipun tetep ganteng ya.”
“Iya, Arman emang ganteng dari dulu, mantannya aja ada berapa coba? Gua aja sempet klepek-klepek ama dia.”
“Hihihiii iya ya, agak gemukan dia sekarang. Mungkin karena diem di rumah ya belum kerja. Padahal dulu dia sibuk bener deh. Diajakin ketemu aja susah.”
“Bener, gemukan terus ada jambangnya segala. Messy-messy gimana gitu ya. Duh kalo gak liat ceweknya itu gua mau nyekil lgi deh.”
“Ah lo ada-ada aja. Eh iya, itu katanya cewek yang nabrak dia ya? Trus si Amel ceweknya dulu gimana? Terakhir ama dia kan kita ketemu sebelum kecelakaan.”
“Si Amel udah kemana kali, gak mau nerima Arman setelah kecelakaan. Jodoh emang gak kemana ya, eh ternyata sekarang Arman pacaran ama cewek yang nabrak dia.”

Tiba-tiba ada suara flush dari toilet ujung. Sasti berdehem lalu ke luar dari toilet. Tiga wanita yang sedang bercakap-cakap di depan wastafel segera menutup mulutnya.

“Mampus lo, ceweknya Arman dari tadi ada di situ!”

**
Bendera kuning sudah dipasang Arthur sejak pagi. Sofa dan meja dikeluarkan.. Karpet digelar. Pukul delapan pagi jenazah Arman sudah dimandikan dan dikafani, seluruh keluarga dan kerabat berkumpul bersiap menyolatkannya.

Infeksi telah menjalar ke seluruh saraf kakinya. Perintah dokter untuk mengamputasi kaki Arman memang tidak dihiraukan.

Sasti masih terdiam di ranjang Arman, memeluk sweater yang terakhir dipakai Arman. Subuh tadi dia masih bercakap dengannya. Semalaman mereka berbicara di telepon. Sampai akhirnya Arman menutup telepon setelah menyuruh Sasti menunaikan salat shubuh. Dia membaca berulang kali pesan yang dikirim Arman. Aku mencintaimu. Hingga ujung waktu.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar