Kuparkirkan mobil di depan Canary Bakery lalu melangkah menyusuri Jalan Braga. Banyak yang
berubah dari terakhir yang kuingat sekitar dua puluh tahun lalu.. Dan baru kali
ini aku berani kembali ke kota
ini.
Lukisan-lukisan masih berjejeran di trotoar maupun galeri. French Bakery yang terletak di sebrang parkir
mobilku sudah berubah suasana, walaupun tetap berdampingan dengan optik Kasoem.
Jalanan kini tertutup paving blok
dengan lubang sana-sini. Aku menghampiri penjual rokok asongan, sedikit
bercerita katanya kalau siang hari cukup macet. Ternyata memang sudah berubah.
Sebagai jalan protokol, kuingat dahulu jalanan ini cukup
ramai. Tapi tidak pernah macet. Setiap tahun ada pawai atau bazaar di sepanjang
jalan. Konvoi bunga, marching band
ataupun konvoi kendaraan kepresidenan.
Langkahku terhenti di depan toko buku Djawa. Bayangan dua
puluh tahun silam terproyeksi begitu saja di hadapanku.
*
“Kang, gaduh korek?”
Kuraba saku celana dan kemeja, “aduh teu kacandak Kang.”
“Ai eta ngajendol kandel kitu ning.” Bau alcohol samar hinggap
di hidungku.
Kuraba kembali saku belakang celana. Perasaanku mulai tak
enak, “dompet ieu mah Kang.”
“Seueur sigana eusina nya?”
Pria bertato naga di lehernya ini mulai mengusikku. Kurasa permintaan
koreknya tadi sekadar basa-basi.
“Geulis oge Rai na.” Serunya menatap gadis di sampingku.
Kania mundur lalu mengapit lenganku. Kurasakan ketakutannya.
“Punten Kang, abdi bade mulih.”
Pria itu melebarkan kakinya, mencoba menghalangi langkahku.
“Kadiekeun heula nu di saku!”
Kulebarkan pandangan ke sekeliling, tidak ada orang yang
melintas di sekitar kami.
“Atawa si Neng we nu ngilu jeung urang?” nada bicaranya
mulai tinggi.
Aku mundur selangkah, Kania makin mendekapku. Pria itu
mengeluarkan pisau lipat dari sakunya.
“Ieu Kang, candak we artos sadayana.”
“Geus teu hayang, urang hayang si eta we!” jawabnya sambil
mencoba menarik lengan Kania.
Aku menepisnya, lalu mendorong pria itu. Dia lalu
menghajarku. Pisaunya sedikit melukai pelipisku. Kania menjerit histeris dan
meminta tolong,
Beberapa orang dari toko kamera di sebelah segera keluar. Pria
itu lalu mengayunkan lagi pisaunya, kali ini mengenai pergelangan tangan Kania.
Seketika darah memuncrat dari nadinya. Orang-orang segera menangkap pria itu. Aku
berteriak meminta pertolongan. Dan entah mengapa rasanya ambulance tiba begitu lama.
*
Siang itu Kania ingin sekali jajan bakso di lorong samping
Toko Buku Djawa. Terowongan yang menghubungkan jalan utama dan perumahan padat
penduduk di belakang jalan Braga .
Sudah jam tiga sore, aku yang baru tiba dari Jakarta segera menjemputnya lalu naik angkot sampai Jalan
Naripan dan bergandengan menyusuri jalan Braga .
Sore yang cukup cerah, kendaraan hanya satu-dua. Sempat kami berhenti sejenak
di sebuah toko lukisan di samping gang, ada lukisan sepasang nenek-kakek yang
sedang tersenyum memamerkan gigi ompongnya. Kami tertawa, “Semoga kita bisa
terus ketawa bareng sampai tua gitu ya.” Aku mengangguk dan mengamini sepenuh
hati.
*
“Aduh maaf Pak.”
Lamunanku buyar, seorang gadis remaja yang sedang berfoto
bersama teman-temannya menabrak kakiku. Aku tersenyum mengangguk lalu bergeser
memberikan tempat agar dia bisa mengambil latar tulisan Djawa di hadapanku.
Malam mulai mendekap, hentakan musik dari café sudah
terdengar, kulangkahkan kaki kembali menuju parkiran mobil. Hati ini masih
terlalu sakit untuk mengingat kenangan di sini. Tadi siang aku ke TPU Sirna Raga, mengengok makam Kania. Sejak kejadian itu aku pindah dan tak pernah kembali ke kota ini.
Kalau saja Kania masih ada, mungkin kami sudah punya anak sebesar gadis tadi. Ah, semoga kamu tenang di sana sayang.