Kamis, 15 Maret 2012

Kala Memilih

Kamu berdiri di samping balkon restoran favorit kita. Mengenakan kemeja hijau dengan celana berwarna khaki. Mempesona. Seperti biasa.

"Adrian.." Panggilku laun dari balik pintu teras. Beberapa meja masih kosong. Hanya ada sepasang anak muda yang sedang asyik dengan gadgetnya di meja pojok.

Kamu membalik badan, tersenyum padaku. Membelakangi bukit dengan rimbunan pohon cemara yang mulai dihinggapi kabut. Pemandangan yang indah. Mungkin karena ada kamu disitu.

Senyummu yang mengembang lalu menguncup dengan dahi terkerut. "Ada apa sayang?" Tanyamu melihat mataku yang sembab.

Air mataku mengalir lagi. Berat sekali.

Kuhela napas dalam-dalam. "Aku mau pamit." Kataku tertunduk.

"Kemana?" Tanyamu sembari mengelus rambutku, mencoba mengadahkan kepalaku.

"Aku mau balik ke Seattle." Kataku lirih. Mataku tertutup. Mana sanggup aku menatap matamu.

Hening sejenak.

Mungkin kamu berharap bahwa kupingmu salah dengar. Atau aku hanya membual. Tapi aku terdiam. Menegaskan bahwa yang kukatakan barusan itu benar.

"Balikan sama Ray?" Tanyamu lagi.
Aku mengangguk pelan. Bersiap mendengar makianmu.

Air mataku meleleh. Kamu memelukku lagi. Mencium rambutku. Aku kembali menangis sejadinya.

Aku bersembunyi di balik dada bidangmu. Kurasakan helaan napasmu. Begitu berat. "Kamu sudah yakin?" Tanyamu lembut. Kepalaku lebih menunduk. Kamu menganggapnya sebagai jawaban iya.

Padahal entahlah. Tujuh bulan aku berpisah dengan Ray, juga Alia putri kami. Kembali ke Indonesia membawa Angga putra bungsuku yang berumur 3 tahun. Sudah dua kali Ray mengunjungiku kesini. Pertama bersama Alia, dan kini ia datang lagi, membujukku untuk kembali.

Kami memang belum bercerai. Percekcokan kerap terjadi. Kami sama-sama keras kepala. Aku ingin berkarier. Meneruskan magister, Ray melarang. Dia ingin aku menjadi ibu rumah tangga saja. Hingga satu hari kami bertengkar hebat. Aku ingin kembali ke Indonesia. Setelah adu mulut cukup lama, akhirnya kami sepakat aku boleh pergi membawa Angga sedangkan Alia tetap tinggal bersama Ray.

Sungguh itu bukan hal yang mudah. Berpisah dengan putriku nyaris membuatku gila. Kami berpisah bukan hanya ratusan kilometer yang bisa ditempuh mobil, tapi 36 jam perjalanan pesawat.

Dan kamu, Adrian sahabatku seperti biasa selalu di sampingku. Melewati hari-hari terberat dalam hidupku. Sama ketika awal aku menginjak kaki di University Of Washington. Kamu menemaniku berkeliling kampus. Kamu menemaniku mengerjakan presentasi. Kamu selalu menemani hari-hariku.

Kali ini berbeda. Kamu melepas pelukan. Membalikan badanmu. Mundur satu langkah dariku. Jarak terjauh yang pernah kurasakan.
"Jangan menatapku seperti itu." Katamu. Ketika aku memelas meminta pengertianmu.

Aku menunduk mengerti. Aku seperti serpihan debu yang terayun di udara. Tak mampu menahan tiupan angin. Melayang tanpa daya.

"Apa kamu juga mau balik ke Seattle?" Lawanku. Mencari celah apakah kita masih dapat bersama.

Dahimu mengernyit. Sungguh aku tak pernah melihatmu seperti itu.

"Gak semua selalu bisa kamu dapatkan. Ada saatnya kamu harus memilih. Aku atau Ray."

Kamu membalikan badan lagi. Menatap lurus pohon-pohon cemara. Sungguh, pemandangan yang sangat tidak indah. Angin menelusup ke tulang rusuk. Aku beku.

5 komentar: