Jumat, 27 Juli 2012

Langit Tak Mendengar

~Ketika kamu membawa pergi cintaku, detik itu pula nyawa lepas dari ragaku.

*
Nasi uduk dan pecel lele di hadapanku sudah dingin tertiup angin malam. Kucomot kol goreng yang juga tak kalah dingin, melembek penuh minyak.
Hambar.

Sedari siang nasi uduk dan pecel lele sudah kuidamkan untuk santapan malam ini. Ditambah kol goreng dan teh hangat tentu menjadi surga kecil untuk perutku.

Dan entah kenapa, setelah pengamen tadi masuk dan bernyanyi di sampingku, rasanya selera makanku menguap begitu saja.

Pikiranku lalu melayang. Pada hidup yang selama ini kujalani.

Umur enam belas aku keluar dari rumah. Setelah pertengkaran hebat dengan Bapak. Beberapa bulan setelah luntang-lantung, kudengar kabar bahwa Ibu meninggal dunia. Aku datang ke pemakamannya, belum sempat menabur bunga ke pusara Ibu, Bapak sudah mengusirku. Amarahnya belum padam. Bahkan beliau menyalahkanku atas kepergian Ibu.

Tak ada lagi harapan untukku kembali ke rumah.

Aku juga meninggalkan bangku sekolah lalu akhirnya bertemu dengan kawan-kawan baru. Yang mau menerimaku. Aku tinggal bersama dengan mereka di rumah petakan. Jalanan menjadi tempatku mencari uang. Mengamen, membagikan brosur kredit, menjual koran. Oya, yang terakhir itu terhitung sukses. Sukses gagal. Iya, seharian aku berpanas-panasan paling hanya laku 1-2 eksemplar saja.

Mengamen lebih banyak menghasilkan uang, padahal suaraku tak merdu-merdu amat. Mungkin mereka terpesona oleh kecantikanku. Atau hanya sekedar kasihan. Jauh dari rumah, kini aku mulai mengenakan rok mini yang sejak dulu kuidamkan. Mana berani aku dulu emakainya di rumah, terutama di depan Ayah. Teman-temanku pun tak pelit meminjamkan lipstik dan eyeshadow.

Hasil mengamen di siang hari bisa setengahnya harus disetorkan ke Bang To'ink. Pelafalannya harus agak mendengung seperti mengucap 'ain dalam bahasa Arab. Kalau salah, dia bisa ngomel-ngomel. Dia preman di areaku mengamen. Katanya jika tidak setor, kita bisa digebukin. Aku sih belum pernah diapa-apain, karena selalu setor dengan jumlah lumayan. Kadang-kadang dia suka menggodaku sih, malahan suka mencubit pipiku. Aku hanya tersenyum saja menganggap angin lalu.

Kucoba mengamen di atas maghrib, hasilnya lumayan. Di sepanjang tenda-tenda makan di pinggir jalan, menemani mereka yang menyantap makan malam setelah pulang bekerja. Dan yang pasti, tidak ada potongan setengah penghasilan yang harus disetorkan ke Bang To'ink.

Beberapa bulan mengamen di malam hari ternyata aku bisa mengontrak petakan sendiri. Tidak lagi numpang bareng teman-temanku. Setidaknya sekarang aku bisa menikmati ruangan 2x2 meter milikku sendiri, bisa selonjoran sepuasnya, tak perlu mencium parfum menyengat milik Rebecca. Iya, si Rebecca, gak usah nanya nama aslinya siapa. Kamu akan terbahak seperti saat mengetahui nama asli vokalis band yang nama panggungnya berbau Belanda walau mukanya tak ada indo-indonya sedikitpun.

Kehidupan bahagiaku ternyata tak berlangsung lama. Suatu malam ketika selesai mengamen, aku nongkrong bersama teman-temanku. Tiba-tiba ada petugas Kamtib dan mengangkut kami semua tanpa ba bi bu. Sial!

Dua malam berada di panti sosial yang menurutku lebih seperti penjara busuk, aku dikeluarkan dengan jaminan atau sogokan entahlah apa, oleh temanku. Jordy.

Jordy anak rantauan dari Sulawesi. Bapaknya Ambon, Ibunya Manado. Silakan bayangkan pria sipit dengan hidung mancung berkulit putih dan perawakan tegap. Entah kenapa belum ada agensi yang merekrutnya menjadi model atau pemain sinetron hingga saat ini. Padahal ia sudah beberapa kali ikut casting.

Aku berkenalan dengannya di sebuah warung pecel lele. Saat itu aku dan temanku baru selesai mengamen, dia duduk di sebelahku memesan menu yang sama. Pecel lele, nasi uduk dan kol goreng. Karena malam sudah larut, kol goreng di warung itu sudah habis. Jordy yang mendapat jatah terlebih dahulu mau membaginya denganku. Padahal kamu tau sendiri kan, kol goreng di warung pecel lele itu cuma seuprit.

Tapi ya begtulah Jordy, dia mau membaginya denganku. Manusia yang bahkan belum dikenalnya. Sejak saat itu kami beberapa kali bertemu. Bertukar nomor telepon. Seperti cerita FTV ya?! :)

Setelah keluar dari panti sosial, Jordy melarangku mengamen malam-malam. Terlalu riskan dia bilang. Aku menurut saja. Pengalaman digaruk Kamtib seperti itu sungguh membuat trauma. Beberapa hari kemudian Jordy memberikan pekerjaan di sebuah salon milik temannya.

Di salon, sebagai anak baru aku diajari keramas yang baik dan benar. Lalu cara creambath. Beberapa kali Jordy menjadi kelinci percobaanku. Hihihihihi. Setelah lulus uji coba, akhirnya aku diberikan customer beneran. Wah ternyata dia suka dengan pijatanku. Tidak butuh waktu lama aku punya pelanggan tetap. Mereka ketagihan dengan pijatanku yang lembut namun bertenaga.

Memang sejak kecil aku sering memijit almarhum Ibu. Beliau suka sekali kupijit hingga tertidur. Bahkan ketika masuk angin atau pening-pening, Ibu tak butuh obat, cukup dengan pijatan anak sulungnya ini.

Ah waktu, begitu cepat berlalu. Ibu sudah tiada, kini aku seperti sebatangkara.

Hubunganku dengan Jordy makin dekat. Langgananku juga makin banyak. Tak jarang mereka member tip cukup besar sebagai ucapan terimakasihnya.

Setelah casting puluhan kali, akhirnya ia mendapat peran di sebuah FTV. Walau hanya sebagai figuran tapi honornya lumayan. Dan yang pasti membuka celah menuju impiannya selama ini.

Beberapa waktu berlalu, aku makin sayang padanya. Suatu siang aku memasak ikan rica-rica kesukaannya. Aku berniat membawanya ke lokasi syuting. Kotak makan siang kubalut dengan kain bunga-bunga berwarna biru muda, lalu kupitakan di atasnya. Persis seperti di serial korea favorit kami.

Bagai petir di siang bolong, seperti adegan di film hantu murahan, aku melihat Jordy bercumbu dengan pria lain. Dan itu bukan adegan dalam FTVnya. Karena mereka melakukannya di tempat tersembunyi, di kamar make up, tanpa ada lighting dan kamera. Hanya mereka berdua. Cuih!

Kulempar kotak makan siang ke arah mukanya. Jordy berusaha mengejarku. Tapi dia mengurungkan niatnya, tentu saja tak mungkin ia keluar mengejarku tanpa menggunakan celana.

Pertengkaran dilanjut di kontrakanku. Aku menampar wajahnya. Kupukul dadanya. Kudorong hingga menabrak pintu. Jordy melawan sambil memakiku. Bahkan ia mengatakan kalau aku yang sebenarnya berselingkuh. Dengan bosku di salon.

"Kamu yang sialan! Bencong murahan selingkuh dengan Mas Yance!" teriaknya.

Bencong murahan? Baru kali ini dia mengataiku seperti itu. Kutendang dia keluar dari rumah. Tak sudi aku melihatnya lagi. Aku menangis sejadinya.

Tiada lagi orang yang kucintai. Aku sendiri. Tak ada yang mengerti.

Air mataku mengalir, pengamen yang sedari tadi menyanyi mengulurkan bekas bungkus permen yang dijadikan wadah pengumpul pundi. Temannya tetap memetik gitar, mengalunkan lagu yang menyayat hati.

Jadi hidup telah memilih

Menurunkan aku ke bumi

Hari berganti dan berganti

Aku diam tak memahami



Mengapa hidup begitu sepi

Apakah hidup seperti ini


Mengapa kuslalu sendiri

Apakah hidupku tak berarti



Coba bertanya pada manusia

Tak ada jawabnya

Aku bertanya pada langit tua



Langit tak mendengar

4 komentar: