“Kak kenapa pikniknya sore sih? Kenapa gak pagi-pagi?”
“Namanya juga Senja. Ya sore-sore dong.”
Beralas tikar, di bawah pohon-pohon rindang di taman kota . Diskusi ringan buku
senja yang baru dilaunching berlangsung hangat. Diiringi petikan gitar seorang sahabat,
Senja larut dalam dunianya.
Sesekali ia tertawa riang. Matanya bercahaya.
Ingin sesekali aku menjadi angin yang membelai lembut rambutnya, menerpa halus
kulitnya.
“Hey!”
Lamunanku buyar, gadis itu sedah berdiri di hadapanku.
“Eh nona manis udah selesai diskusinya?” Beberapa peserta
tertawa menggoda ketika melewati kami. “Udah cantik, pinter lagi… makin cintaa
deh.” Dia hanya meninju pelan lenganku. Lalu mendelik dan meninggalkanku.
“Tuh kan
udah ditemenin malah ngeloyor gitu aja.”
“Genit bener sih lu jadi orang! Males gue”
Aku menarik lengannya. “Siapa yang genit sih? Aku kan cuma berkata jujur
sayang”
Dia melepaskan tanganku. “Sayang-sayang, semua cewek aja lu
panggil sayang. Gombalan lu gak ngepek buat gue. Basi!”
“Tapi aku serius tau sama kamu. Sumpah.”
“Whatsoever.”
“Kamu kenapa sih, ga pernah percaya sama aku?”
“Ngomong apa sih lu? Males ah.”
“Kamu tuh ga pernah ngasih aku kesempatan sih.”
“Kesempatan? Dana umum? Maen monopoli sana !”
Tarikkan tanganku kini agak erat agar kali ini dia
menghentikan langkahnya. Mendengarkanku baik-baik.
“Kayaknya kamu akan lebih ngasih 2-3 kali kesempatan bagi
pria brengsek manapun kecuali aku.” Dia bengong atau bingung, entah. “Iya, kamu
akan menerima pria brengsek manapun yang akan main-main sama kamu, bahkan bisa
ngasih kesempatan lagi untuk dia nyakitin kamu. Tapi kamu gak akan pernaah
ngasih aku kesempatan untuk menunjukkan keseriusan aku. Iya kan ?”
“Udah selesai ngomongnya?” dia menghentikan taksi. “gue ada
perlu dulu, daah.” Lalu meninggalkaku begitu saja. Dengan segala kekesalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar