Jumat, 13 Januari 2012

My Best Friend's Wedding

Kami sudah bersahabat sekitar sebelas tahun. Pertama mengenalnya ketika orientasi saat pertama masuk SMA. Saat itu, aku yang baru saja menginjak ibu kota belum mempunyai seorang teman pun. Dialah teman pertamaku, dia juga sahabatku, sahabat sejatiku, sampai saat ini. Atau setidaknya sampai tadi malam.

Mario, dia cowok yang tampan, setidaknya itulah anggapan sebagian besar teman-teman wanitaku. Dianugerahi wajah indo dengan hidung yang mancung dan mata yang agak sipit tapi tajam. Ibunya adalah turunan cina-menado, ayahnya konon cucu dari Daendels, Gubernur Hindia Belanda jaman VOC dulu.

Dia tidak pernah kesulitan mencari pacar. Ganteng, cukup tajir, supel, wanita mana yang tidak tersihir dengannya? Prinsipnya, pacaran adalah have fun. Jadi kalau pacarnya mulai agak rese, cut! Tinggalkan saja. Mantannya menumpuk dimana-mana. Mulai dari ababil sampai guru honorer pernah dia pacari. Sementara aku, akhir tahun lalu aku baru saja merayakan jomblo perakku. L

Kami punya hari lahir yang sama, mungkin itu salah satu sebabnya kami bisa benar-benar mengerti satu sama lain.
“Happy Birthday An, semoga cepat dapet pacar!” itulah doa pertama yang diucapkannya saat ulang tahunku. “Amin.” Jawabku.
“Happy Birthday Yo, semoga lo cepet kawin!” doaku padanya. “Amin.” Jawabnya.

Rupanya Tuhan cepat mendengar doaku. Jumat kemarin, lima bulan setelah kami berulang tahun yang ke 25 dia memberitahuku tentang rencana pernikahannya.
“An, gw akan nikah!” katanya ketika dia meneleponku jam 11 malam.
“Apa? Nikah? Lo mabok ya?” kataku bingung.
“Enggak! Barusan gw baru ngelamar Priska. Dan kita akan segera nikah!” ujarnya penuh semangat.
“Aduh, lo gila apa ya?! Gw baru aja molor, lo ganggu-ganggu gw! Nyimeng lagi lo ya?! Udah ah, gw ngantuk!” Klik. Kututup ponselku. Membenamkan kepala ke bantal, kutarik lagi selimutku.

“Aargh….!” Aku terperanjat segera bangun. Aku mimpi buruk. Aku mimpi sangat buruk, buruk sekali. Kulihat jam di samping tempat tidurku. 3.45 am. Aku berjalan menuju toilet, mencuci muka. Tidak lama aku segera kembali ke ranjangku, kuraih ponsel di sebelah bantal, one messege received, Mario.

Gw kagak mabok An! Serius, gw udah ngelamar Priska.

Tanganku gemetar, ponsel terjatuh. Aku menunduk lemas di samping tempat tidur. Gak mungkin Mario bisa nikah sama cewek yang baru dia kenal kurang dari sebulan. Cewek yang masih kuliah semester empat. Memang sih cewek itu cukup manis, tutur katanya lembut, orangnya juga sopan. Tapi mereka bahkan belum satu bulan kenal. Gimana mungkin Mario mesti nikahin dia? Jangan-jangan..

“Dia hamil?” serangku pagi ini.
“Ya enggak lah, dia tuh cewek baik-baik tau!” jawabnya.
“Terus, kenapa lo mesti nikahin dia?” tanyaku.
“Karena gw udah siap untuk nikahin dia, gw udah bosen pacaran-pacaran gak jelas An. Lo sendiri yang doain gw cepet nikah, bukan?” ujarnya.
“Ya tapi gak gitu juga kali, lo baru kenal dia berapa minggu sih? Emang dia bisa ngertiin lo? Bisa jadi pendamping hidup lo?” serangku lagi.
“Gw sih cukup yakin, An. Gak tau deh, tiba-tiba aja gw kaya dibukain mata dan hati untuk ngelamar dia.” Jawabnya.
“Terserah lo deh, hidup-hidup lo, lo yang jalanin..” klik. Kututup ponselku.

Mario dan Priska benar-benar tidak ingin berlama-lama lagi. Mereka akan menikah bulan depan. Jujur, aku tidak setuju dengan pernikahan mendadak ini. Atau mungkin aku tidak akan pernah setuju dengan pernikahan ini.

Semua persiapan sudah berjalan. Aku diminta untuk menjadi pendamping mempelai pria. Sebenarnya Priska cukup baik, atau memang cewek baik-baik, tak sedikitpun dia berulah macam-macam padaku, tapi tetap saja aku tidak menyukainya. Apakah aku cemburu? Entahlah, aku bersahabat dengan Mario lebih dari sepuluh tahun, hamper sebelas tahun. Selama ini dialah tempatku berbagi, suka-duka telah kami jalani bersama. Dialah yang paling mengerti aku, dan akulah yang paling memahaminya. Jadi bagaimana mungkin seorang cewek tiba-tiba datang dan merebutnya dariku begitu saja.  Inginku gagalkan pernikahan ini, tapi melihat suka cita Mario aku tak tega.

Mario memintaku untuk fitting baju. Aku diberikan batik yang sama dengan Mama, Papa dan adiknya. Entah harus bahagia atau sedih, aku bahagia karena begitu diterima oleh keluarga Mario, di sisi lain sebenarnya aku ingin menjadi pendamping Mario di hidupnya, bukan sebagai pendamping mempelai pria di pernkahannya ini. Malam sebelum acara pernikahan aku tetap bersamanya, aku tak ingin kehilangan momen-momen terakhir bersamanya, sebelum dia resmi menjadi milik Priska.
Aku akan menyatakan perasaanku padanya.

Mario sedang berada sendirian di kamarnya. Menurut Marsya, adiknya, dia ingin sendiri. Mungkin sedang galau menghadapi pernikahannya esok. Aku memberanikan diri. Kuketuk pintunya, tak dikunci, aku mengintip.

“Masuk, An.” Serunya.
Aku melangkah masuk. Dia menawarkan rokoknya. Kuambil sebatang, lalu kunyalakan.
“Stres ya?” tanyaku.
Dia tertawa kecil.
“Masih mo lanjut?” godaku.
“Apa? Acara besok?” dia balik tanya. Aku mengangguk. “Lanjutlah.” Sambungnya sambil merebahkan diri di ranjang. Ah aku tak tahan melihatnya terlentang begitu. Aku menelan ludah.

“Yo, gw mo ngaku sesuatu sama lo?” ujarku tanpa basa basi.
“Apa?” katanya sambil berbalik mengetukkan abu rokoknya. Aku terdiam.
Dia lalu bangun menghampiriku. “Kenapa sih, An?”  tanyanya.

“Yo, gw suka sama lo, gw sayang sama lo, gw cinta sama lo.” Kataku hampir tak bisa bernapas.
“Hah?!” Mario terserentak.
“Tapi, gw ngomong gini bukan untuk ngerusak acara pernikahan lo, bukan, gw hanya ngungkapin perasaan gw aja. Bener Yo.”

...

“Sejak kapan?” tanyanya.
“Sejak SMA, sejak kita pertama ketemu.”
“What?!” Mario seakan tak percaya apa yang baru kukatakan, dia melangkah mundur. “An, please, tinggalin gw sendiri.” Sedikit tertatih aku mengangguk segera keluar.


**

Priska dan Mario baru saja selesai menandatangani buku nikah mereka. Seluruh keluarga mengantre untuk mengucapkan selamat. Aku ikut saja dalam antrean. Mario tak banyak bicara padaku setelah kejadian semalam.

Setelah acara ramah tamah dengan keluarga, aku bergabung dengan mama papa Mario dan Marsya.

“Eh ini anak mama satu lagi kapan dong nyusul?” Tanya mamanya.
“Iya, koq cewek kamu gak dibawa?” sambung papanya.
“Ah, Bang Anwar kan nunggu Marsya lulus SMA ya kan. Soalnya Mama sama Papa kan gak ngijinin Marsya pacaran sebelum lulus SMA. Hehe..” cerocos Marsya, adik Mario.
Aku hanya tersenyum, menunduk. Andai mereka tahu kalau aku tak pernah tertarik pada Marsya atau wanita manapun. Karena yang kucintai hanya Mario...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar