Seperti hujan yang pamit dalam rintik-rintik laun
hatiku mengundurkan diri dari pertarungan ini
Kata hati ku lukiskan dalam selengkungan bianglala beraneka warna
yang berujung pada horizon
Tak peduli betapa gelapnya perjalanan kita
kamu telah memberikan warna-warni dalam hidupku
Kutitipkan kamu pada-Nya
Kugantungkan kebahagiaanmu pada-Nya
Biar nanti kita bertemu lagi
bukan hanya dalam sekadar kesenangan tapi kebahagiaan
Selasa, 28 Agustus 2012
Kamis, 09 Agustus 2012
Hingga Ujung Waktu
“Nemuin Arman lagi?”
“Iya Ma, hari ini jadwal dia
terapi.”
“Mama doain biar dia cepet sembuh,
jadi kamu ga repot kayak gini lagi?”
“Ma.. please..”
“Loh, bener kan . Emangnya mau sampai kapan kamu ngurusin
dia? Inget Sas, kamu bentar lagi tunangan sama Edo .”
Lagi Sasti menghela napas. “Aku
berangkat ya Ma.”
**
Sepulang merayakan pomosi jabatan
bersama teman-temannya, Edo sang kekasih sudah
menawarkan untuk menjemputnya tapi Sasti lebih memilih menyetir jazznya sendiri. Jalanan yang lenggang
karena saat itu sudah menunjukkan pukul 23.40 WIB. Sasti memacu kendaraanya
dengan kencang. Badannya sudah letih, matanya sudah cukup berat. Hanya kasur
dan guling yang ada di pikirannya. Untung besok hari Sabtu dan tidak ada klien
yang harus ditemui jadi dia bisa tidur sepuasnya.
Dari jauh Sasti melihat lampu lalu
lintas sudah berwarna kuning, Sasti menginjak pedal gasnya. Sayang sekali
rupanya lampu merah lebih dahulu menyala sebelum Sasti tiba di perempatan.
Melihat jalanan yang sepi tanpa pikir panjang ia menginjak lagi gasnya. Dari
arah kiri sebuah motor melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Tabrakan tidak
bisa dihindari. Mobil Sasti menabrak motor itu dan membuat pengendaranya
terpelanting sekitar lima
meter sebelum akhirnya motornya ikut terbang dan jatuh tepat di tubuhnya.
*
Mama dan Papa berada di samping
Sasti ketika ia sadar setelah tiba di Rumah Sakit. Tidak ada luka berarti
selain sedikit memar di tangannya.
“Ma, tadi Sasti…” kalimatnya
terhenti, badannya baru terasa sakit.
“Iya sayang, tadi kamu tabrakan.”
“Iya Sasti inget. Ama motor bukan?
Trus dia gimana?”
“Lagi ditanganin dokter. Udah
jangan dipikirin, semua pasti baik-baik aja.”
Tidak berapa lama Edo
tiba. Sasti meraung dipelukannya. Menyesal tidak menuruti tawaran Edo untuk menjemputnya.
**
“Sore Tante, Armannya udah siap?”
“Belum Sas, biasa masih di kamar.
Tante gak bisa ngebujuknya.”
“Biar Sasti coba ya.”
Marini, Ibunya Arman mempersilakan
Sasti masuk ke kamar Arman. Tampak Arman masih terbaring di sudut ranjang. Perlahan
dia mengganti posisinya, menghadap tembok. Membelakangi Sasti.
“Assalamualaikum, Arman.”
“Waalaikum salam.” Jawabnya masih
memunggungi Sasti.
“Kok masih tiduran sih, ayo bangun kan sekarang jadwal ke
dokter.”
Pria yang dipanggil tidak juga
bergeming. Sasti perlahan mendekat, diusapnya bahu Arman.
“Man, udah sore nih. Nanti keburu
penuh pasiennya.”
Arman menepis tangan Sasti.
“Arman. Jangan gitu dong. Sasti
udah repot-repot kesini jemput kamu kok malah gitu sih.” Seru Ibunya.
“Pergi kamu.” Kata Arman melirik
Sasti.
**
Duniaku
hancur. Karierku hancur. Hidupku hancur. Perempuan itu telah mengambil
semuanya. Merenggut semua harapan dan cita-citaku.
Perempuan
bodoh yang doyan minum dan suka melanggar lalu lintas. Sialan!
Mana
ada pengacara yang kakinya lumpuh seperti aku.
**
Sasti memainkan bola basket yang
tergeletak di samping sofa. Marini tersenyum menghampiri sambil membawakan
secangkir teh hangat.
“Bolanya udah kempes. Gak pernah
dipake lagi sama Arman. Aku udah ngehancurin hidupnya Arman ya Tante.”
“Sasti, jangan ngomong kaya gitu.
Semua udah ada jalannya. Sasti, Tante dan semua orang udah berbuat yang terbaik
untuk Arman. Sekarang kita tinggal menyerahkannya kepada Allah.”
Sasti tertunduk, untuk kesekian
ribu kali air matanya mengalir. Sudah tujuh bulan semenjak kecelakaan itu. Arman
terluka parah terutama di bagian kaki dan tangannya. Bahkan dokter menyarankan
agar mengamputasi kaki kanannya. Banyak saraf dan otot yang hancur di area
betis kanannya. Arman bergeming, dia tak ingin kehilangan kakinya.. Dokter
sudah memperingatkan bahwa terapi dan obat-obatan memang sedikit membantu tapi
tidak akan menyembuhkan kakinya seperti sedia kala.
**
“Di mana Sayang?”
“Aku di Rumah Sakit, jadwal
terapinya Arman, Sayang.”
“Arman lagi Arman lagi. Denger ya
Sas, udah berapa kali sih aku bilang,
aku udah muak liat kamu terus-terusan merhatiin cowok lain dibanding
aku!”
“Do, jangan gitu dong. Kamu tau kan Arman kayak gini
karena aku.. jadi udah sewajarnya aku ngurusin dia sampai sembuh. Lagian
sekarang kemajuanya udah pesat kok. Arman udah bisa…”
“Stop Sas! Aku gak mau denger soal
Arman lagi. Aku juga udah gak mau denger apa-apa lagi dari kamu. Sekarang
silakan kamu urus aja cowok itu.”
“Maksud kamu apa Do?”
“Putus. Kita putus Sas, sekarang
kamu bebas merhatiin dia.”
“Do..”
**
“Ihhh itu sih bukan huruf S, itu
sih Z tau!”
“Hahahahaa kebalik ya, oh harusnya
dimulai dari titik ini.”
“Iya, ditarik ke kiri, nah gitu.”
“Kamu jangan cuma
gini-gitu-gini-gitu. Ikut nulis juga dong.”
“Iyaaaa…. Siniin bolpennya.”
Marini tersenyum dari balik pintu
kamar. Sudah sebulan ini sikap Arman mencair. Usaha Sasti tidak sia-sia, dia
mau pergi terapi. Seminggu tiga kali, bahkan Sasti harus izin dari kantornya
agar bisa pulang lebih cepat dan bisa menjemput Arman. Sikapnya terhadap Sasti
juga melunak, bahkan kini mereka sedang belajar menulis menggunakan tangan
kiri.
Kondisi tangan Arman memang tidak
separah kakinya. Tapi akibat tertimpa badan CBR berwarna hitam itu,
pergelangannya sedikit retak. Masih harus digips hingga beberapa minggu ke
depan.
**
“Ma, aku sayang sama Arman.”
“Sayang sama kasihan itu beda tipis
Sas.”
“Gak Ma, ini bukan kasihan. Ini
memang sayang. Aku sayang dia selayaknya seorang wanita terhadap seorang pria.”
Mamanya hanya menggeleng pelan.
“Sekarang gimana keadaannya?”
“Alhamdulillah, sesekali udah bisa
pakai kruk. Cuma karena tangannya juga masih sakit jadi sekarang masih pakai
kursi roda.”
“Kalo kesana, salamin buat Arman dan
Ibunya ya. Bilang maaf karena Mama gak pernah jenguk lagi.”
Sasti tersenyum senang.
**
Arman meringis, kakinya kembali sakit.
Sasti dan Ibunya segera membawa Arman ke Rumah Sakit.
“Bu, obat-obatan ini cuma membantu
meringankan sakitnya. Arman harus dioperasi lagi.”
“Gak dok, saya gak mau diamputasi.
Saya akan sembuh tanpa harus kehilangan kaki saya!”
**
“Tante, nanti kita ijin jalan ke
luar ya.”
“Apa? Arman mau pergi ke luar?”
“Iya Tante, kemaren Arman telepon,
ada undangan makan-makan gitu sama teman-teman kuliahnya dulu.”
“Trus dia mau?”
“Iya, Alamdulillah sekarang Arman
udah mau melihat dunia luar.”
“Berkat kamu Sas, semuanya karena
kamu. Kegigihan kamu. Makasih ya sayang.”
“Bukan cuma aku Tante, Tante juga
berperan sangat besar. Juga Arthur.”
“Iya nih, ngomong-ngomong Arthur
kok minggu ini gak pulang ya?”
“Lagi sibuk nyelesein thesisnya
kali Tan.”
“Gak tau tuh katanya tinggal revisi
akhir tapi kok masih sibuk terus.”
“Wah berarti bentar lagi jadi dong
bikin firma hukum. Arman and Brother apa Arthur and Brother? Atau the Brother
namanya?”
“Lah kok jadi kayak nama band. Kamu
tuh bisa aja Sas.”
“Hahahahaa iya, trus udah dihubungin
pulang apa gak gitu?”
“Tadi sih udah sms tapi belum
bales. Padahal kita mau ada syukuran.”
“Syukuran apa Tan?”
“Syukuran kesembuhan Arman. Tante
pengen kumpul juga sama keluarga besar. Apalagi sekarang Arman udah mau membuka
diri. Gak diem terus di kamar.”
“Iya, dari tadi juga tuh asik duduk
di teras belakang, main sama kucingnya.”
**
“Cowok tuh ya kalo dasarnya udah
ganteng, mau di kursi roda sekalipun tetep ganteng ya.”
“Iya, Arman emang ganteng dari
dulu, mantannya aja ada berapa coba? Gua aja sempet klepek-klepek ama dia.”
“Hihihiii iya ya, agak gemukan dia
sekarang. Mungkin karena diem di rumah ya belum kerja. Padahal dulu dia sibuk
bener deh. Diajakin ketemu aja susah.”
“Bener, gemukan terus ada
jambangnya segala. Messy-messy gimana gitu ya. Duh kalo gak liat ceweknya itu
gua mau nyekil lgi deh.”
“Ah lo ada-ada aja. Eh iya, itu
katanya cewek yang nabrak dia ya? Trus si Amel ceweknya dulu gimana? Terakhir
ama dia kan
kita ketemu sebelum kecelakaan.”
“Si Amel udah kemana kali, gak mau
nerima Arman setelah kecelakaan. Jodoh emang gak kemana ya, eh ternyata
sekarang Arman pacaran ama cewek yang nabrak dia.”
Tiba-tiba ada suara flush dari toilet ujung. Sasti berdehem
lalu ke luar dari toilet. Tiga wanita yang sedang bercakap-cakap di depan
wastafel segera menutup mulutnya.
“Mampus lo, ceweknya Arman dari
tadi ada di situ!”
**
Bendera kuning sudah dipasang
Arthur sejak pagi. Sofa dan meja dikeluarkan.. Karpet digelar. Pukul delapan
pagi jenazah Arman sudah dimandikan dan dikafani, seluruh keluarga dan kerabat
berkumpul bersiap menyolatkannya.
Infeksi telah menjalar ke seluruh
saraf kakinya. Perintah dokter untuk mengamputasi kaki Arman memang tidak
dihiraukan.
Sasti masih terdiam di ranjang
Arman, memeluk sweater yang terakhir
dipakai Arman. Subuh tadi dia masih bercakap dengannya. Semalaman mereka
berbicara di telepon. Sampai akhirnya Arman menutup telepon setelah menyuruh
Sasti menunaikan salat shubuh. Dia membaca berulang kali pesan yang dikirim
Arman. Aku mencintaimu. Hingga ujung
waktu.
***
Senin, 06 Agustus 2012
Fan Fiction: Lex (Smallville)
Lex: Sepenggal Kisah
“Lex kau harus tenang, ini tak akan menyakitimu..” seru dr. John.
Lex tetap meronta-ronta mencoba melepaskan pengaman jaketnya.
“Sudah suntik saja di mana kau suka dok..! Jangan biarkan dia melepaskan ikatannya” seru Lionel kepada dokter John.
“Tapi akan berbahaya jika menyuntikannya bukan pada bagian yang tepat Mr. Luthor” seru dr. Silver sambil memegang tangan Lex.
“Ini bukan serum sembarangan! Akan fatal akibatnya jika kita salah tempat” dokter John menimpali.
“Jadi kau akan membiarkan dia melepaskan pengamannya? Cepat berikan padaku!” Teriak Lionel seraya mengambil jarum suntik dari tangan dokter Silver.
Dan blesss… Lionel dengan segera menyuntikan serum yang ada di tangannya ke dada kiri Lex.
“No….” Pekik dr. Silver
“Aaaaa….” Lex berteriak kesakitan.
“Kkkaauu sengajakan
Yah….menyuntikan serum itu ke jantungku…?” erang Lex.
“Aku tak punya pilihan lain anakku..”
Seketika kesadaran lex hilang. Kini pikiran alam bawah sadarnya yang menguasai.
“Lex kau harus tenang, ini tak akan menyakitimu..” seru dr. John.
Lex tetap meronta-ronta mencoba melepaskan pengaman jaketnya.
“Sudah suntik saja di mana kau suka dok..! Jangan biarkan dia melepaskan ikatannya” seru Lionel kepada dokter John.
“Tapi akan berbahaya jika menyuntikannya bukan pada bagian yang tepat Mr. Luthor” seru dr. Silver sambil memegang tangan Lex.
“Ini bukan serum sembarangan! Akan fatal akibatnya jika kita salah tempat” dokter John menimpali.
“Jadi kau akan membiarkan dia melepaskan pengamannya? Cepat berikan padaku!” Teriak Lionel seraya mengambil jarum suntik dari tangan dokter Silver.
Dan blesss… Lionel dengan segera menyuntikan serum yang ada di tangannya ke dada kiri Lex.
“No….” Pekik dr. Silver
“Aaaaa….” Lex berteriak kesakitan.
“Kkkaauu sengaja
“Aku tak punya pilihan lain anakku..”
Seketika kesadaran lex hilang. Kini pikiran alam bawah sadarnya yang menguasai.
Lex berada di sebuah taman, duduk di bangku tepat di depan
danau buatan di sisi kota
Smallville. Anak-anak kecil sedang berlarian saling mengejar,
“Dee ..tunggu..”
“Ayo Bee cepetan larinya..”
Di sampingnya dr. Keane seorang psikiater terbaik dari Belle Reeve yang sengaja ditugasi untuk membantu penyembuhan Lex.
“Apakah tugasmu menemani orang gila dokter Keane?” tanya Lex.
“Secara job desk sih gitu lex..” jawab dr. Keane datar.
“Apakah aku termasuk orang gila itu dok?” tanyanya lagi.
“Ya…secara prosedur sih gitu lex..” jawabnya lagi tetep datar.
“Iya juga ya, masa aku yang dokter dan kamu yang gilanya…” goda lex.
“Secara logika sih emang gitu lex…”jawabnya lagi masih datar.
“Dok, secara ya..aku ini dianggap gila dan kamu adalah dokternya, kenapa dari tadi aku yang bertanya, bukan dokter? Bukankah secara prosedur harusnya aku yang ditanyai oleh dokter, dokter menggali isi hati dan pikiranku, bukan aku yang nanya dokter te
“
“Ayo Bee cepetan larinya..”
Di sampingnya dr. Keane seorang psikiater terbaik dari Belle Reeve yang sengaja ditugasi untuk membantu penyembuhan Lex.
“Apakah tugasmu menemani orang gila dokter Keane?” tanya Lex.
“Secara job desk sih gitu lex..” jawab dr. Keane datar.
“Apakah aku termasuk orang gila itu dok?” tanyanya lagi.
“Ya…secara prosedur sih gitu lex..” jawabnya lagi tetep datar.
“Iya juga ya, masa aku yang dokter dan kamu yang gilanya…” goda lex.
“Secara logika sih emang gitu lex…”jawabnya lagi masih datar.
“Dok, secara ya..aku ini dianggap gila dan kamu adalah dokternya, kenapa dari tadi aku yang bertanya, bukan dokter? Bukankah secara prosedur harusnya aku yang ditanyai oleh dokter, dokter menggali isi hati dan pikiranku, bukan aku yang nanya dokter te
rus…” seru Lex kesal.
“Hahahaa…baguskan caraku menggali isi hati dan pikiranmu lex…kamu jadi kepancing kaann? Secara gitu loh Keane…”ujar dr. Keane bangga.
Lex hanya berkerut seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil membuang muka.
“Ya ampun gitu aja marah Lex…Okay tadi aku cuma ngetes aja, apa kamu bener introvert dan anti social seperti yang Lionel katakan.”
“daaannn??”
“Ah menurutku sih gak juga, buktinya kamu udah berani goda-goda aku, sayang ya secara status kamu tuh orang gila, padahal kalo diliat-liat kamu lumayan juga..putih, kurus, pribadinya juga oke” ujar dr. Keane sambil tersenyum matre.
“Maksud lo?”
Dokter Keane dan Lex terdiam untuk sesaat dan tertawa kemudian.
“Hahahaaa..secarra secarra melulu.. kamu tau dok kalo aku jarang tertawa? Bahkan anak-anak Smallville dulu sampe taruhan untuk siapa yang bisa foto aku sambil tertawa..”
“Masa?”
“Yaaa…begitulah…kebetulan aku tinggal di Mansion yang gak jauh dari perkampungan Smallville, sebenernya aku gak punya banyak temen. Waktu aku kecil aku banyak ngabisin waktu untuk baca buku dan main anggar, kadang ikut les piano..”
Sesaat Lex berhenti dan mengambil kopinya. Sambil mengingat pengalaman masa kecilnya.
“Hahahaa…baguskan caraku menggali isi hati dan pikiranmu lex…kamu jadi kepancing kaann? Secara gitu loh Keane…”ujar dr. Keane bangga.
Lex hanya berkerut seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil membuang muka.
“Ya ampun gitu aja marah Lex…Okay tadi aku cuma ngetes aja, apa kamu bener introvert dan anti social seperti yang Lionel katakan.”
“daaannn??”
“Ah menurutku sih gak juga, buktinya kamu udah berani goda-goda aku, sayang ya secara status kamu tuh orang gila, padahal kalo diliat-liat kamu lumayan juga..putih, kurus, pribadinya juga oke” ujar dr. Keane sambil tersenyum matre.
“Maksud lo?”
Dokter Keane dan Lex terdiam untuk sesaat dan tertawa kemudian.
“Hahahaaa..secarra secarra melulu.. kamu tau dok kalo aku jarang tertawa? Bahkan anak-anak Smallville dulu sampe taruhan untuk siapa yang bisa foto aku sambil tertawa..”
“Masa?”
“Yaaa…begitulah…kebetulan aku tinggal di Mansion yang gak jauh dari perkampungan Smallville, sebenernya aku gak punya banyak temen. Waktu aku kecil aku banyak ngabisin waktu untuk baca buku dan main anggar, kadang ikut les piano..”
Sesaat Lex berhenti dan mengambil kopinya. Sambil mengingat pengalaman masa kecilnya.
“Waktu itu aku baru selesai les piano, ayahku lupa menyuruh sopir untuk menjemputku. Sebenarnya aku senang karena aku jadi bisa jalan kaki sambil melihat anak-anak di sekitar Smallville bermain. Tiba-tiba hujan turun aku dan Sean temanku lari mencari tempat berteduh. Setelah berlari sekitar 1 blok, aku memutuskan berteduh di depan pintu sebuah toko coklat yang sudah tutup. Tak berapa lama ketika kami sedang berdiri di
“Apa yang kalian lakukan?” tanyanya.
“Kami sedang berteduh, bolehkan?” jawab Sean.
“Tapi kenapa kalian berteduh di depan sini?” tanyanya lagi.
“Ya masa kita berteduh di bawah pohon bambu itu..
“maksudku, Kkenapa kalian tidak memijit bel ini, ayo masuk nanti kalian masuk angin!” serunya.
Ternyata tempat itu adalah sebuah ruko, bagian bawah dipakai sebagai toko dan lantai atas merupakan rumah yang ditinggali oleh keluarga ini.
“Kamu bukannya putra Lionel Luthor?” Tanya wanita itu.
Lex hanya mengangguk.
“Aku Laura Lang suamiku Lewis Lang bekerja di Luthor Corp. Dan ini Lana.” sambungnya lagi.
“Lana?” Tanya Lex lagi.
Tiba-tiba seorang gadis cantik bermata indah keluar dari pintu kamar. Rambutnya hitam sebahu. Matanya abu kecoklatan dengan senyuman yang sangat manis.
“Lana..” gadis itu mengulurkan tangannya ke arah Lex.
“Lex”
“Sean”
“Kalian mau aku buatkan coklat hangat?” tanyanya halus.
Sean mengangguk. Lex hanya terpaku melihat Lana.
Belum sempat Lex puas menatap Lana, Sean sudah menghabiskan coklat hangatnya, ponsel Lex bergetar. Ayahnya baru inget kalo dia lupa untuk menyuruh sopir menjemput Lex. Setelah menyebutkan alamat ruko itu, tidak lama Porsche Lionel sudah sampai untuk menjemputnya. Setelah berpamitan mereka bertiga pulang.
“Aku belum pernah melihat gadis secantik dia” ujar Lex setelah mengantar Sean.
“Siapa Lex? Sean?” tanya Mr Xavi sopirnya, heran.
“Bukan…tapi Lana..ah sudahlah ayo cepat jalan! Kau menyetir seperti nenek-nenek saja!”
“Sorry Lex”
***
Sejak awal perjumpaan dengan Lana. Lex sangat yakin, dengan kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki, dan fakta bahwaLewis Lane ayah Lana bekerja di Luthor
Corp tentu dia akan dapat memiliki Lana dengan mudah.
Sejak awal perjumpaan dengan Lana. Lex sangat yakin, dengan kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki, dan fakta bahwa
Tapi ternyata keluarga Lana bukan gadis yang matre dan mudah untuk dipengaruhi.
Bukan tanpa perlawanan, Lex dapat membuat Keluarga Lang terpaksa untuk menjual ruko dan dia beli untuk kemudian dia jadikan kedai yang sekarang terkenal dengan nama Talon. Lex tidak pernah mendapatkan hati Lana.
Sampai suatu hari Lex bertemu seorang gadis cantik berkaca mata, berlesung pipit dan mampunyai senyum yang sangat menawan. Suaranya lembut dan agak sedikit pemalu. Bukan hanya kecantikan luar yang memukau Lex tapi kepintaran dan hati gadis itu yang dapat mambuat Lex jatuh cinta lagi dan dapat melupakan Lana.
***
“Layla namanya dok.. Dia sangat….ah..aku sangat mencintainya dok..”
sambungnya. “Tak ada lagi yang mampu menggantikan dia..” Lex menunduk
sedih.
Dokter Keane hanya menganggut. “Wah gak ada kesempatan buat gue dong..” ujarnya dalam hati.
“Apa yang terjadi dengannya?”
Lex hanya terdiam.
“Apa dia juga mencintai orang lain?”
“Tidak, kami saling mencintai….”
“Tapi?”
“Dia meninggal, dia mengidap penyempitan katup jantung. Meninggal setelah pemasangan balloon valvuloplasty. Kami sedang mempersiapkan pernikahan..” Lex semakin menunduk.
Dokter Keane hanya menganggut. “Wah gak ada kesempatan buat gue dong..” ujarnya dalam hati.
“Apa yang terjadi dengannya?”
Lex hanya terdiam.
“Apa dia juga mencintai orang lain?”
“Tidak, kami saling mencintai….”
“Tapi?”
“Dia meninggal, dia mengidap penyempitan katup jantung. Meninggal setelah pemasangan balloon valvuloplasty. Kami sedang mempersiapkan pernikahan..” Lex semakin menunduk.
“Apa dia yang membuatmu menjadi pasienku?”
“Dok… apa menurutmu aku ini gila? Aku rasa aku hanya
sedikit putus asa. Apa karena aku sempat tinggal di jalanan, berjalan tidak
tahu arah, aku disebut gila?”
“Kau tau dok? Ketika Layla meninggal dunia, aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku merasa Tuhan tidak adil. Dia tidak pernah membiarkan aku bersama orang yang kucintai. Ibuku, Lana dan sekarang Layla. Setelah pemakamannya aku berjalan tanpa tujuan. Aku berjalan sampai ayahku sendiri tidak mengetahui keberadaanku. Aku masuk dan keluar dari setiapkota sampai akhirnya sampai di kota kecil bernama Jatinangor, entah di mana
itu. Aku baru sadar kalau bajuku sudah kumal, bau badanku tidak sedap, ternyata
parfum yang kupakai hanya bertahan beberapa minggu saja. Berat badanku susut,
mungkin karena aku jarang makan, aku bahkan tidak ingat terakhir kali aku makan
di mana..”
Sesaat Lex membenarkan posisi duduknya.
“Kau tau dok? Ketika Layla meninggal dunia, aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku merasa Tuhan tidak adil. Dia tidak pernah membiarkan aku bersama orang yang kucintai. Ibuku, Lana dan sekarang Layla. Setelah pemakamannya aku berjalan tanpa tujuan. Aku berjalan sampai ayahku sendiri tidak mengetahui keberadaanku. Aku masuk dan keluar dari setiap
Sesaat Lex membenarkan posisi duduknya.
“Aku mulai tak peduli dengan keadaan sekitar, kadang aku ingin tertawa, kadang aku ingin menangis. Kadang orang yang kebetulan lewat melemparkan beberapa koin ke arahku. Pernah seorang wanita berbaju merah dan membawa tas besar berwarna merah juga melemparkan sekeping koin 50 sen. Mungkin dia anggap aku ini gelandangan, emangnya aku terlihat seperti gelandangan?”
“Aku sedang duduk di pinggir sawah ketika anak buah ayahku menemukanku. Mereka menyeretku ke dalam mobil, beberapa orang menyaksikan kejadian itu, sebagian jijik, sebagian tertawa dan sebagian tak peduli.”
“Seorang pria menyuntikan sesuatu ke dalam tubuhku, dan aku baru tersadar ketika sudah sampai di Belle Reeve.”
Sejenak Lex membuang pandangannya ke arah dua gadis cilik yang masih bermain.
“Apa yang sekarang kau inginkan Lex?” tanya dokter Keane.
“Menyusulnya, dia bilang dia akan selalu setia kepadaku dan akan selalu mencintaiku. Dia wanita yang sangat tulus.”
***
“Lex sadarlah lex…!”seru dr. Silver.
“Kita harus mengejutkannya!” jawab dr. John tak kalah kencang.
Semua peralatan kedokteran tercanggih digunakan untuk menyadarkan Lex..
***
Pada hari pemakamannya, tidak banyak orang yang diizinkan hadir. Hanya ada Lionel yang tertunduk menyesali perbuatannya dan baru sadar bahwa dia tidak memiliki siapapun lagi di dunia.
Minggu, 05 Agustus 2012
Cinta Segitiga
Tuhan, aku
serahkan jalanku kepada-Mu. Biarkan serakan hati ini menyublim menjadi zat yang
lebih kuat. Apa yang kau beri, apapun akan kuterima. Ku yakin, Kau punya
rencana besar untukku.
Aku tak pernah berpikir bagaimana
nanti aku bertemu dengan jodohku. Tidak, kejadian ditabrak mobil mewah ketika
nyebrang di jalanan sepi oleh pria
cakep-muda-single-galak-tapi-lama-lama-sayang-dan-posesif atau nyasar di desa
lalu naik delman yang dikusiri pemuda
tampan-bersih-pinter-lucu-yang-ternyata-anak-bangsawan-tapi-lagi-nyamar-jadi-orang-miskin-untuk-dapetin-gadis-tidak-matre
seperti di FTV tidak pernah terlintas di benakku. Akupun tak pernah
mengkondisikan. Tidak seperti salah seorang sahabatku yang sengaja cabut ke Bali agar siapa tahu bisa ketemu Bli yang menyelamatkannya
saat belajar surfing lalu mereka.. ah sudahlah tidak usah dibahas. Hehehe.
Sore itu aku terpaksa berjalan kaki
menyusuri jalanan berbatu miring-miring di sisi kiri Jalan Cihampelas. Tak
kuasa rasanya lidah ini menamakan trotoar. Baru saja aku meraih tiang spanduk
karena hampir terpeleset, suara klakson
motor meneriaki karena kakiku hampir menyenggol bannya. Apa? Kakiku yang
hampir menyenggol bannya? Entahlah, kalimatku meluncur tak keruan, sekacau lalu
lintas sore itu, seruwet pikiranku hari itu.
Aku terpaksa turun dari angkot karena
jalanan macet total, aku harus ke Ciwalk membeli sekotak donat pesanan Ibu yang
akan segera diberikan kepada menantu kesayangannya yang sedang ngidam. Untuk
sekadar info, titah Ibu setara dengan titah Presiden. Harus segera dilaksanakan
dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Maka, aku yang sedang berleha-leha di
kost temanku di sekitaran Cisitu lalu segera beranjak. Berhubung motor sedang
diservis, jadi aku harus rela ngetem hampir sejam di angkot yang sedang
kutumpangi. Dan menghadapi macet di Cihampelas yang sudah menjadi pemandangan
sehari-hari, tak kuasa aku harus segera turun dan berjibaku di antara lautan
kendaraan. Oke, ini lebay. Tapi biarkanlah drama queen yang satu ini bebas
menyuarakan kekesalannya.
Salahku sendiri sih lupa mengganti
oli, jadi tadi pagi kuserahkan motor kesayanganku itu kepada montir-montir di
bengkel langganan. Runtutan audit internal, eksternal, mengurus ISO membuatku
kewalahan berbulan-bulan ini. Jangankan untuk merawat motor, merawat diri
sendiripun sudah tak sempat.
Potongan rambut yang sudah tak keruan
membuatku harus mencepolnya setiap hari. Kuikat sekenanya, yang penting tidak
terlalu awut-awutan. Beberapa teman mengomentari penampilanku sebagai apresiasi
patah hati setelah ditinggal menikah oleh kekasih hati. Ya begitulah, awal
tahun ini pacarku, maaf, mantan pacarku menikah dengan wanita lain. Saat itu
kami baru putus sekitar tiga bulan. Entah dewa move on mana yang membuatnya secepat itu bisa memutuskan segera
menikah, sementara aku masih dalam suasana kalut dengan asa kembali padanya.
Sudah berpacaran selama dua tahun
tentu saja bukan hal mudah bagiku untuk berpisah dengannya. Bahkan aku sudah
berkhayal akan menikah dengannya akhir tahun ini. Aaakkkkk…. Tidak adil
sungguh! Air mataku bisa langsung mengalir deras jika ingat hal ini. Maka
pekerjaanlah yang menjadi pelarianku. Semua audit dan ISO kulahap dengan rakus.
Ada beberapa
yang mencibir kalau aku sedang mengincar posisi di samping general manager. Peduli setan, terserah mereka bilang apa, aku
hanya ingin mengenyampingkan sakit di hati ini.
Lalu disinilah aku sekarang, bermuram
durja dengan sekotak donat di lengan kanan. Ibu baru saja menelepon kalau donat
pesanannya sudah dibelikan abangku. Kakiku tadi hampir terkilir ketika harus
berjalan dari SMA 2 sampai sini. Ditambah beberapa kali tersenggol motor yang
pengemudinya tak dianugerahi kesabaran.
“Ra, Rara!”
Seseorang memanggilku. Saat kutoleh,
ternyata ada Lisa teman SMP dulu. Di sampingnya seorang pria tampan berkemeja
coklat dengan kacamata frameless.
Cobaan apalagi Tuhan, di saat keadaanku kacau begini aku dipertemukan dengan
sepasang manusia yang begitu sempurna. Lisa adalah sahabatku yang paling
cantik. Semenjak bangku SMP dia sudah menjajal dunia modelling. Dan sekarang nampaknya berpacaran dengan pria super
tampan yang pernah kutemui. Oke, ini lebay. Pria ini sebenarnya termasuk pria
dengan standar ketampanan normal, tinggi sekitar seratus tujuh puluh lebih
dikit, berkulit coklat, berhidung mancung, alis tebal dan mata coklat yang
berbingkai kacamata. Dan satu lagi, dia looks
totally straight. Ngerti kan ?
“Hei Lis, apa kabar? Makin cantik aja
deh.” Kataku tulus. Dia memang makin memesona. Badannya ramping, kulitnya
mulus, rambutnya hitam tergerai dengan sedikit wave di bagian bawahnya. Olesan make
up tersapu tipis, tapi tetap stunning.
“Bisa aja si neng.” Katanya tersenyum ramah.
“Sendirian?” lanjutnya. Eerghh kenapa pertanyaan basa basi kedua tertinggi
versi wanita cantik ini-dan-mungkin-hampir-seratus-juta-rakyat-indonesia adalah
Sendirian atau Ama siapa?!
“Iya, disuruh Ibu beli ini.” Jawabku
sambil memperlihatkan keresek donat.
“Duh emang anak baik lu yaa, apa
kabar Ibu? Sehat? “
“Alhamdulillah sehat Lis.”
“Oiya, kenalin nih Bayu.”
Pria yang dipanggil Bayu menyodorkan
tangannya, senyum tipis dilemparkan kepadaku. Oh tidak, kenapa paham tanaman
tetangga indah rupawan muncul lagi di benakku. Seketika adrenalinku memuncak,
aliran darah terpompa lebih kencang dan sepertinya agak tersendat di otakku.
Tak ada oksigen yang dapat kuhirup. Tatapan pria itu seperti menghunus
jantungku. Tidak, kenapa aku selalu tertarik pada pacar orang?!
Sedikit kubocorkan ya, entah kenapa
pria yang sudah punya pacar selalu mendapat perhatian lebih dariku. Mereka
seperti mempunyai magnet lebih yang bisa menarik pikiranku dan lalu menyumbat
otakku. Begitulah, lalu aku akan jatuh cinta pada mereka. Berkali-kali aku
terjebak dalam cinta segitiga. Kadang aku mengutuki diri sendiri mengapa selalu
ingin bersama pacar orang lain. Tapi aku tak pernah jatuh cinta pada kekasih
temanku. Harap dicatat baik-baik. Sammy, mantan pacar terakhirku, itu loh yang
baru tiga bulan putus dariku lalu menikah dengan perempuan lain, itupun dulunya
pacar orang lain. Maksudnya, ketika pertama kali bertemu sampai PDKT dia masih
berstatus pacar orang. Ketika dia meninggalkanku aku merasa itu karma terbaik
yang kudapat. Dan kini, hati dungu ini kembali merasa klepek-klepek melihat
pacar orang, pacar temanku sendiri. Tidak!!
Setelah melanjutkan basa-basi, Lisa
pamit pulang. Diciumnya kedua pipiku dan tak lupa menyampaikan salam untuk
ibuku.
“Eh Ra ampe lupa, minta pin bb dong.”
“Oh, nih invite gua.” Kataku seraya
menyebutkan delapan digit kombinasi angka dan huruf.
**
Raraaaa…
Iya Lis…. Kenapose?
Aku kasi pin bb kamu yahhh
Ke siapa?
Bayu… masi inget ga?
DEG. Bayu, ya masi inget lah! Pria
yang seminggu ini ada di benakku. Mengisi otakku di sela tumpukan pekerjaan.
Senyumnya terpatri setiap aku hendak memejamkan mata. Acap kali membuatku
merona sampai kemudian senyum Lisa ikut melompat-lompat di antaranya.
Menghancurkan semuanya. Ummm bukan gitu maksudku sih, aku gak bermaksud jahat
pada Lisa, makanya pemikiran tentang si Bayu ini berat-berat kuusir sejauh
mungkin. Ya tapi apa mau dikata, makin kuat kudorong, makin kokoh dia
bertengger di pikiranku.
Oiya, masi inget.
Ngapain pacar kamu minta pin aku?
Pacar?
?
Huahuahahahahhaaaa =)) kamu
ngira Bayu pacar aku??
?
Hahahahahahahhahaa =))
Lisa…..
Sorry.. sorry.. Gak kok, Bayu
bukan pacarku. Dia sahabat aku waktu kuliah…
Ohh… kirain hehe
Jadi gimana nih, boleh kan aku kasi pin kamu?
Hehehe
Apa lu hehe hehe?? Suka juga
yaaaaa…..
Paan sik Lis!
Jie jie….
Tring. Tak lama blackberryku bunyi.
Notifikasi ajakan berteman, di situ tertera nama Bayu Rahmadi. Setengah mati
aku mencoba untuk bernapas normal. Tubuhku mengigil. Entah sudah berapa lama
tubuhku tidak senorak ini. Dengan bibir tergigit kutekan accept. Jantungku berdegup kencang. Entah apa yang harus kulakukan.
Tidak, aku tidak akan memulai percakapan duluan. Biar dia saja yang duluan, toh
dia juga yang meminta pin bb-ku bukan? Jawab iya saja ya sodara-sodara!
Bersamanya aku seperti menemukan Rara
yang dulu. Ceria, bersemangat, ramah pokoknya semua hal-hal positif dariku yang
dulu sempat lenyap terbawa patah hati mendalam setelah ditinggal Sammy. Dulu
kupikir dunia akan berhenti berputar setelah dicampakkan Sammy, tapi rupanya
jalan hidup tak berakhir setragis itu.
Bisakah aku
singgah di hatimu
Berharap
sebentuk tempat yang tulus
Sesuatu yang
kupercaya ada tersimpan di sana
Hampir setahun dekat dengannya, kami
lalu berpacaran. Tak mudah bagiku untuk menerima seorang pria lagi dalam
hidupku. Dia pria yang sungguh menyenangkan. Berada di dekatnya aku merasa aman
tanpa kehilangan rasa nyaman. Keseriusannya akan hubungan kami sudah ditunjukannya
sedari awal. Ia menemui orang tuaku, abangku, juga membawaku menemui
keluarganya. Dia adalah pria terbaik yang pernah kutemui. Dia selalu
mengingatkanku salat, dia rajin berpuasa. Ahhh tidakkah kalian setuju kalau dia
memang dikirim Tuhan untuk membawaku ke jalan kebenaran? Iya iya, jatuh cinta
sering membuat orang jadi lebay bukan? Atau hanya aku saja yang begitu.
Terserahlah, yang pasti hidupku jauh lebih baik setelah bersamanya.
Kami selalu terbahak setiap mengingat
awal pertemuan. Aku menyangka kalau dia pacar Lisa. Padahal saat itu Bayu
sedang menemani Lisa mencarikan kado untuk Ramon kekasih Lisa yang juga sahabat
Bayu.
Aku selalu menyelipkan namanya dalam
setiap percakapanku dengan Tuhan. Bagaimana tidak, setelah kebandelanku selama
ini Tuhan denganmurah hatinya memberiku sosok Bayu. Pria yang membuatku tak
hanya jatuh cinta padanya, tapi juga pada Tuhan. Dia selalu mengingatkanku
bahwa semua ini memang rencana Yang Maha Kuasa.
Pertemuan kami bukanlah suatu
kebetulan. Mulai dari patah hatiku, lalu aku tenggelam dalam rentetan audit dan
tektek bengek pekerjaan yang membuatku lupa menyervis motor, maka ketika Ibu
menyuruhku membeli donat, aku harus susah payah menuju ciwalk. Waktu pertemuan
kami sudah diatur oleh-Nya. Coba kita runut lagi, kalo misalnya Sammy tidak
cepat move on dan malah kembali
denganku tentu aku tidak akan bersama Bayu saat ini. –Yaiyalah-. Lalu aku juga
tidak akan bekerja sekeras itu untuk mengalihkan sakit hatiku. Dan mungkin aku
takkan lupa untuk menyervis motorku, jadi kalaupun aku disuruh Ibu ke Ciwalk,
aku tidak akan terjebak macet. Dan aku akan lebih cepat sampai. Dan aku takkan bertemu Lisa dan Pria di hadapanku
ini.
**
Terlalu lama
aku harus terdiam
Atau mungkin
ku tak percaya sungguh
Akan
kesempatan dan kemungkinan yang akan terjadi nanti
Karena ku
yakin ada pintu yang terbuka
Di antara
hatiku dan hatimu
It’s been
years since we’ve met
And days had
gone by
Now it’s time
to make up my mind
And I hope
that we can make it to the end
Bila firasat
ini memang benar memilikimu adalah maksud
Dari sebuah
rencana besar merubah hidupku
Jikalau aku
harus berhitung benar
Akan
kemungkinan yang bisa ada
Bila ku bisa
memilikimu bahagialah aku
Bayu menyematkan cincin emas putih ke
jari manisku. Setelahnya, giliranku. Bayu mencium lembut keningku kubalas
dengan kecupan hangat di punggung kanannya. Seisi ruangan tersenyum bahagia,
air mata yang menetes dari kedua orang tua kami sebagai tanda jatuhnya restu
dari mereka. Seorang sahabat yang kupinta menjadi fotografer meminta kami menunjukkan buku akta nikah ke
arah kamera.
Ahh, betapa Tuhan mempunyai rencana
besar yang sempurna. Dia menuntunku lagi-lagi dalam cinta segitiga. Kali ini antara Aku,
Bayu dan Tuhan.
Btw kalian tahu gak kalau aku dipromosikan menjadi vice general manager? Hahahahahahahaa =))
Btw kalian tahu gak kalau aku dipromosikan menjadi vice general manager? Hahahahahahahaa =))
~Terinspirasi
dari lagu Rencana Besar milik Padi
Langganan:
Postingan (Atom)