Senin, 18 Juni 2012

Flash Fiction: Senja di Metropolis

"Sayang, bisa jemput gak sekarang?"
"Lho tumben udah pulang? Masih jam 3 ini."
"Iya, agak mules mau PMS jadi aku ijin pulang.."
"Ya udah, tunggu sebentar ya."

**
Aku mematung di trotoar tepat di antara gedung BPK dan BCA. Sudah sekitar lima belas menit. Tas yang kukepit di legan kiri serta goodie bag yang terselempang di bahu kanan berisi print out data yang harus segera kubuat laporannya dalam power point untuk kupresentasikan besok jam sembilan pagi.

Charles Π Keith berhak delapan sentimeter. Agak menyesal tadi kutinggalkan sendal teplek bertabur mute-mute yang dulu kubeli di Pasar Sukowati itu di kolong kubikel. Tapi tak apa, kemeja ruffle lengan pendek yang kupadu rok span dua sentimeter di bawah lutut memang membutuhkan padanan pantofel yang akan membuat kakiku tampak jenjang. Rambut yang tadi pagi kucatok gelombang, kini tercepol sekenanya. Beberapa helai terurai begitu saja.

Sesekali kulirik swiss army di lengan kanan. Dia tak kunjung datang. Dua puluh menit, tiga puluh menit, empat puluh menit... Aku menghela napas.

Senja bergerak menuju temaram. Lampu-lampu hazard mulai menyilaukan. Klakson dan deru gas bersahutan, asap knalpot menari di antaranya.

Wajah-wajah merindu terselip pada ketidaksabaran orang-orang dibalik kemudi. Kepada keluarganya, kekasihnya, kasurnya, rumahnya. 

Sebuah motor merapat ke trotoar, menghampiriku. Pria itu, mengangkat sedikit helm fullfacenya. Menampilkan senyuman, melipat keletihannya. Lalu memberikan helm bermotif garfield yang disangkut di samping jok belakang.

"Kok telat?"
"Tadi ada mesin yang rusak, jadi aku beresin dulu. Produksi lagi banyak jadi ga bisa ditunda. Untung aja ga perlu lembur."
Aku tersenyum.

Senja saatnya pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar