Tititrip. Tiba-tiba ngetrip kali
ini: GARUT!
Sabtu sore yang cerah, sepulang
lembur, daku gegoleran manja di ranjang tercinta sampai kemudian telepon dari
sang partner in crime masuk. Desye lagi perjalanan menuju Bandung.
PIC (Partner in Crime): 9a, wisata alam apa ya di Bandung?
FaN (Fani alias Na9a): Emmhhh
byasaa dehhh…
PIC: bla..bla..bla..
FaN: bla..bla..bla
Long sort story (labil banget
sih, mo cerita lengkap tapi keburu males) ceritanya si PiC jemput daku di malam
minggu. Daku yang mengira kami hanya akan jalan di seputaran Bandung ternyata
dikejutkan dengan perubahan tujuan.
Emang sih ya.. Kan, dalam hidup
ini suka adaaa aja perubahan tujuan. Awalnya mau membangun hubungan bersama
sampai ke jenjang pernikahan eh tiba-tiba ada yang ingin mengubah haluan. Gak,
ini bukan curcol. Oke lanjut!
Ketika jam digital memampangkan
angka 09:20, nasi kuning di pinggir
jalan pasir koja itu telah habis masuk ke dalam perut. Perjalanan dimulai. Kami
cus menuju tol moh toha. Jam sebelasan kita sudah ada di persimpangan ke arah
Kampung Sampireun. Sesuai feeling kami ambil jalan lurus, gak belok ke
arah Kampung Sampireun.
Dipandu GPS, kami berjalan di
tengah kegelapan dan keheningan malam Garut. Teruuus aja lurus, biarpun gak
yakin. Sampai bertemu dengan jembatan besar, ketidakpedean itu makin menjadi.
Kendaraan makin sedikit, manusia tidak kami jumpai, jam juga sudah menyentuh
angka dua belas. OMG untung kami berada di dalam mobil, kalo di kandang ayam
pasti sudah digerebek hansip. *apeu*
Gak seru kan ya kalo ngetrip ga
ada drama, nah ketidakpedean itu membawa kami balik arah. Iya, balik lagi,
karena takut tiba-tiba udah ada di Jawa Tengah aja gitu..
Sekitar 4 KM balik arah, akhirnya
di gang sempit ketemu juga sama manusia (mudah-mudahan sih ya dia beneran
manusia), dia ngasih tahu jalan menuju Darajat. Ternyata…… jalan yang kita
tempuh tadi itu memang benar. Yuks mareee kita balik lagi ke jalanan yang sama.
Yang makin sepi. Karena gak pede lagi, kami memutuskan kembali bertanya, kali
ini kepada seorang penjual martabak.
Me: “Kang, ai Darajat ka palih
mana nya?”
Kang Martabak Tengah Malem Masih
Jualan (KMTMMJ): Oh ka palih ditu (nunjuk ke arah kami datang)
Me: Oh kelewatan ya?
KMTMMJ: Kelewatan gimana sih
maksud kamu? Aku kan Cuma nunjukin jalan biasa aja iya teh, kembali lagi ka
pasar teras lurus weh sampe ka aya ieu tah nu kieu naon namina? BNI, ATM BNI
langsung belok kiri, teraaas we ka luhur.
Me: Oh kitu, hatur nuhun atuh nya
KMTMMJ: Muhun mangga teh.
Lalu kami pun kembali balik arah,
melewati pasar, mencari jejak-jejak kehidupan yang tersisa. *halah*
Pasar, kampung, sawah sudah kami
lewati, tak ada satupun ATM BNI yang kami jumpai. Ketidakpedean kembali muncul
setelah setengah jam perjalanan kami tak menemui petunjuk apapun. Malam makin
mencekam, desir angin kian berhembus kencang lalu tiba-tiba…….
Ada sebuah mobil bak terbuka yang
lampunya menyala, tampaknya sang pengemudi hendak meninggalkan parkiran. Dengan
penuh kehati-hatian kami pun kembali bertanya, apakah jalan yang kami tempuh
ini benar atau tidak.
Me: Kang, pami ka Darajat leres
ka dieu?
Sang Pengemudi Bak Terbuka
(SPBT): Iya Iya
Me: Jalannya masih lurus?
SPBT: Bisa Jadi Bisa Jadi
Me: Masih jauh?
SPBT: Tidak Tidak
Setelah melempar helm eat bulaga
Sang Pengemudi Bak Terbuka pun mengatakan kalau perjalanan tinggal sekitar
sejaman lagi. HAH? Sejam? Udah tengah malem gini masih harus sejam lagi…. Nanti
di pasar belok kiri, ada plang “Pasir Berbisik Wangi”.
Sekitar 2 kilometer kemudian kami
menemukan sebuah ATM BRI. ATM BRI sodarah-sodarahhh bukan ATM BNI seperti yang
dikatakan Kang Martabak Tengah Malem Masih Jualan tea. Di situ ada dua tukang
ojek, kami pun kembali bertanya. Ah tak apalah ya, banyak bertanya, dari pada
banyak utang. (?)
Tukang ojek mengiyakan arah kami,
benar, kami belok kiri di situ, menuju puncak gemilang cahaya mengukir cita
seindah asa Darajat. Ya namanya puncak, berarti emang harus naik gunung.
Tinggiii tinggi sekali.
Setelah melawati tanjakan super,
bertemu dengan AKASI-AKASI yang ngebut seenaknye, AKHIRNYA KAMI SAMPAI DAN OH
MY GOD DINGIN BINGIT OH MY GOD! Bahkan lantai rumah tempat kami menginap pun
dinginnya serasa es batu. Untunglah di rumah sewa seharga 450 ribu/malam ini
banyak karpet, jadi daku bisa memasangnya dan melompat-lompat melewati lantai
keramik seolah sedang bermain benteng takeshi. *apeu*
Rumahnya lumayan enak, terdiri
dari 2 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 ruang tv, 1 dapur lengkap dengan kompor dan
lain-lain, 1 kamar mandi yang airnya super dingin dan juga rumah ini banyak
selimut. Oya ada kasur Palembang juga yang disediakan, jadi bisa nampung
banyakan lah. Nginep di Darajat artinya harus prepare jaket dan kaos kaki,
karena eh karena rencana ini mendadak dan kami tak terlalu memahami medan maka
tak satupun dari kami berempat yang membawanya. Alhasil semalaman kami menggigil
kedinginan.
Setengah enam pagi daku terbangun
untuk shalat dan melihat keadaan di luar. Maklum, kami kan datengnya menjelang
dini hari jadi tak ada satupun pemandangan yang kami lihat. Dan inilah yang
terlihat…
Jajanan di warung sekitar masih
sangat murah, gorengan seperti bala-bala, pisang goreng dan ubi goring masih
seharga 500 rupiah. Huwow! Tepat jam 7 pagi kami ke area pemandian air hangat,
gak nyangka kalau tempatnya sebesar ini..
Bukit yang masih berselimut kabut....
Gak sia-sia kan perjalanan jauh dan penuh drama kalau pemandangannya kayak giniiii...
Wahahaha saya baru tahu ada cokelat enteng jodoh :D, pemandangannya indah ih buat sejuk.
BalasHapushihihi iya cokelat lokal, banyak macemnya gitu, lucu-lucu :)
Hapuspemandangannya emang baguss.. gak sia-sia perjalanan jauh
itu coklat atau status FB, ko keren gitu judulnya.
BalasHapushehe
ada cokelat anti galau juga ihihihihi
HapusHahaha, cokelatnya lucu-lucu. Blognya nano-nano!
BalasHapus*salim*
aakkkk dikomen blogger idola :3
Hapusmakasi yaa *salim*