“Emangnya
si Rama ngapain elu sih?”
“Umm..”
“Sebrengsek
apa sih dia? Dia nyakitin elu? Selingkuh? Punya cewek lagi? Bohongin elu? Atau..berbuat
gak senonoh?”
Tak ada
satupun pertanyaan Katy yang bisa kujawab. Aku hanya bisa termenung di samping
jendela bus yang kutumpangi dengan ponsel yang masih bertengger di kuping kiri.
Ini hari pertamaku bekerja.
Pagi tadi
Katy mengabari kalau muka Rama bonyok. Entah apa yang dilakukannya sehingga
seorang pria melayangkan bogem mentah di muka Rama hingga hidung mancungnya patah
dan harus dibawa ke Rumah Sakit. Rumor yang beredar karena Rama sudah membuat
patah hati adiknya. Usut punya usut pria itu adalah Malik. Kakakku.
*
Aku
memutuskan untuk mengambil tawaran pekerjaan di Jogja. Kota yang menurutku
sangat tepat untuk keadaanku saat ini. Cukup tenang, tidak terlalu bising
seperti Bandung apalagi Jakarta.
Mama, Papa
dan Kak Malik melepas kepergianku dengan penuh tanda tanya. Aku si gadis manja
yang dua puluh tahun lebih hidup nyaman di Bandung, di tengah pelukan kehangatan
keluarga tiba-tiba memutuskan untuk bekerja dan pindah ke luar kota.
*
Apa salah
Rama? Entahlah. Yang kuingat setelah hari-hari yang begitu indah kemudian
semuanya terasa hambar. Rama tak pernah lagi menemuiku, sekadar menjemputku
atau menghubungiku. Dia hanya hilang. Lenyap begitu saja.
Dari Katy
kutahu dia sedang dinas di luar kota. Kota yang menurutku sudah cukup modern,
tidak akan miskin sinyal, terjamah internet dan hanya memakan empat jam
perjalanan pulang. Tapi dia tak ada kabar.
Aku bukannya
tanpa usaha menghubungi dia. BBM, SMS, telepon semua tidak ada sahutan.
Pencarianku terhenti ketika menghubungi telepon rumahnya. Ibunya yang
mengangkat, “Dari Kirana? Kirana siapa ya?”
Iya, Kirana
siapa? Kirana siapanya Rama?
Setelah
berbulan-bulan jalan bareng dan bersikap seperti pacar.. Eh wait, seperti pacar? Ini kata kuncinya. Mungkin memang kami ini
baru hanya seperti pacar. Belum pacaran. Rama memang belum menembakku, tapi
please deh, kami bukan anak SMA lagi yang perlu kalimat tembakan “kamu mau jadi
pacarku?” untuk jadi sepasang kekasih, bukan? Bukan. E n t a h.
Sejak saat
itu aku berhenti mencarinya.
Hingga
suatu hari semesta mempertemukan aku dan Rama. Di sebuah café, saat itu aku
bersama Katy sedang berbuka puasa. Rama yang datang bersama teman-teman
sekolahnya menghamipiri meja kami sejenak, mengobrol dan bercanda seolah tidak
ada apa-apa. Atau mungkin memang tidak ada apa-apa? Katy menyangka hubungan
kami berjalan baik. Entah definisi baik seperti apa yang dia pikirkan.
Honestly, aku bingung dengan sikapnya.
Kenapa dia bisa setenang itu. Tidak pernah ada kabar, tidak pernah menjawab
pesan-pesanku tapi ketika bertemu bersikap biasa saja.
*
“Kamu ke
mana aja? Ditelepon, sms, bbm. Semua gak ada jawaban. Kamu ngehindarin aku? Salah
aku apa?” cecarku.
“Aku
dijodohin..” jawabnya menunduk.
Seketika aku
tersedak. “Kalau mau ninggalin aku, cari alasan yang gak sekonyol ini.” Lalu aku
meninggalkannya.
**