Sekali lagi kubilang, mimpi aja aku gak pernah bisa
menginjakkan kaki ke Baitullah. Ka’bah yang selama ini cuma kulihat di sajadah
ketika bersujud menghadap-Nya, kini berdiri tepat di hadapanku.
*
Mengambil miqat dari Bir Ali, perjalanan umrah dari Madinah
ke Mekkah dimulai selepas shalat Zuhur di Masjid Nabawi. Perasaanku tak karuan,
takut sekali jika melakukan kesalahan. Istighfar dan talbiyah dilantunkan
bergantian di dalam hati, sering air mata tiba-tiba mengalir begitu saja.
Sampai di Mekkah kami langsung ke hotel untuk bersiap,
karena sudah dalam keadaan ihram maka tidak disarankan untuk mandi, jadi kami
hanya makan dan mengambil wudhu. Setelah semua siap, tepat tengah malam kami
berjalan menuju Masjidil Haram, formasi barisan untuk tawaf disiapkan, pria
berdiri di barisan luar untuk menjaga sepuh-sepuh. Aku? Karena kebanyakan
jamaah di rombonganku adalah perempuan yang sudah lanjut usia, jadi aku juga
ditaruh di barisan luar, ikut menjaga rombongan.
Di depanku seorang bapak membawa ibunya yang sudah sepuh. Si
Nenek ini sengaja dibelikan kursi roda ketika akan berangkat umrah, tapi beliau
bersikeras bahwa ketika tawaf ingin berjalan, tak mau didorong. “Ngke wae mun
sa’i.” Nanti aja kalau sa’i. ketika
di Gate 1 Masjidil Haram, Askar mengambil kursi rodanya, karena kursi roda
hanya diijinkan di lantai atas. Si Bapak menyerahkannya pasrah, karena sang
ibunda keukeuh ingin ikut rombongan tawaf di bawah.
Beberapa jamaah memelukku dan menangis terharu, “Neng, Ibu
bisa liat langsung Baitullah..”. aku hanya memeluknya, ingin rasanya ikutan
menangis tapi kutahan saja. Setiap langkah diiringi talbiyah hingga kami sampai
tepat di hadapan Ka’bah. Air mata yang kutahan sedari tadi tak bisa kubendung
lagi, semuanya tumpah ruah, rasanya campur aduk.
Tak ada yang keluar dari mulutku selain rasa syukur, lagi,
doa yang sudah disiapkan lupa semuanya. Aku hanya bisa bersyukur, bersyukur dan
bersyukur. “Makasih ya Allah sudah dikasih kesempatan bisa lihat Ka’bah..”
Tawaf di malam hari memang tidak sepenuh pagi atau sore
hari, tapi bukan berarti lowong. Kami tetap berdesakan, terutama ketika menuju
Hijr Ismail. Melihat kerumunan yang berjejal, sempat merasa tidak yakin,
apalagi di sampingku banyak ibu yang sudah sepuh. Bismillah kulangkahkan kaki
menyusuri batas marmer itu. “Terus pegang sini ya bu, ikutin Yayang.” Kataku pada
mereka.
Setiap ada space untuk shalat kusuruh mereka isi, lalu ada
space di sebelah wanita Arab yang duduk di kursi sambil berdoa. Kutunaikan shalat
sunat dua rakaat, kulantunkan doa dalam sujudku secepatnya, karena takut jika
ada yang mendorong atau menginjak. Sampai kututup amiin, tak ada satupun yang
bahkan mendorongku, kulihat di sebelah, ternyata ada dua perempuan Arab juga
yang memakai kursi diam di sisi kiri dan belakangku. Aku jadi terlindungi oleh
mereka. Kesempatan ini tak disia-siakan, kuteruskan doa dan syukur kepada-Nya.
Lalu aku bergerak ke Multazam, aku tidak ikut
dorong-dorongan seperti yang lain. Ingat pesan atasanku di kantor, “Jangan
memaksakan diri ingin duluan, yang duluan belum tentu baik. Sabar.” Aku
mengikuti gerakan massa, benar, tak lama ada space kosong dan aku bisa berdiri
menyentuh Multazam. Sebenarnya pintu Ka'bah ini cukup tinggi, kalau dilihat
secara logika, tak mungkin aku bisa menggapainya. Tapi entah karena dorongan
dari mana, aku bisa menyentuh dan berdoa cukup lama. Di sampingku ada salah
satu nenek yang satu rombongan denganku. Nenek yang kursi rodanya diambil
Askar. “Ibu mau maju?” beliau
mengangguk. Bismillah, kutarik beliau dan ternyata beliau juga bisa sampai
menyentuh Multazam. Alhamdulillaah.
Selesai di Multazam, peer berikutnya adalah keluar dari Hijr
Ismail, jamaah semakin penuh. Aku harus bawa nenek ini keluar area tawaf. “Bu,
peluk Yayang ya, kita keluar lewat sini.” Kataku memintanya memelukku dari
belakang. Beliau mengangguk, lalu melingkarkan tangannya ke dadaku. Kukepit erat
lalu berjalan menerobos lautan jamaah. Rasanya seperti terbang, dengan
istighfar dan keyakinan kepada-Nya kami bisa sampai ke luar area tawaf. Si Nenek
memelukku sambil menangis, “Nuhun nya, Neng..” Aku mengangguk dan memeluknya. “Emak
teh, da teu tiasa papah. Ieu sampean teh nyeri. Tapi di dieu jadi tiasa papah
deui..” Emak sebenernya gak bisa jalan
karena sakit kaki tapi di sini jadi bisa jalan lagi.
Sampai kami kembali ke Indonesia, kursi roda itu tak
kembali, tapi si Nenek bisa berjalan kembali. Keajaiban? Kurasa.
Ps: Foto-foto lainnya bisa dilihat di IG: @tetehna9a